PENDIDIKAN POLITIK ISLAM
SEJARAH
PEMIKIRAN DAN PENDIDIKAN POLITIK
ERA
DAWLAH ‘ABBASIYAH
Oleh : Eri Rizaldi Dan Risna
Agustina
A.
PENDAHULUAN
Dalam lintasan sejarah umat islam
akan terlihat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayyah dengan bani Abbasiyah.
Pemerintahan Bani Umayyah menguasai seluruh dunia islam dan berpusat
didamaskus, karena mereka memegang politik kekeuasaan dan ekspansi. Sementara
Bani Abbasiyah yang berpusat dibaghdad lebih mengutamakan pembinaan peradaban
dan kebudayaan, tidak mengutamakan politik.
Pemerintahan Abbasiyah adalah berketurunan dari pada
al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW pendiri kerajaan al-Abbas ialah Abdullah
as-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas, dan pendirinya
dianggap suatu kemenangan bagi idea yang dianjurkan oleh kalangan Bani Hasyim
setelah kewafatan Rasulullah SAW, agar jabatan khalifah diserahkan kepada
keluarga Rasul dan sanak saudaranya. Tetapi idea ini telah dikalahkan di zaman
permulaan Islam, di mana pemikiran Islam yang sehat menetapkan bahwa jabatan
khalifah itu adalah milik kepunyaan seluruh kaum Muslimin, dan mereka berhak
melantik siapa saja antara kalangan mereka untuk menjadi ketua setelah mendapat
dukungan. Tetapi
orang-orang Parsi yang masih berpegang kepada prinsip tersebut, sehingga mereka
berhasil membawah Bani Hasyim ke tampuk pemerintahan. Selama dinasti ini
berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, dan budaya.
Zaman pemerintahan Abbasiyah yang
pertama merupakan puncak zaman sejarah Islam. Di zaman ini kaum Muslimin mulai
berhubungan dengan kebudayaan-kebudayaan asing seperti kebudayaan parsia,
kebudayaan hindu, dan kebudayaan Greek, dan telah menterjemahkan karya-karya
penyelidikan yang terpenting kedalam bahasa arab. Walaupun banyak sumber-sumber
asli yang diterjemahkan itu telah hilang, dan yang tertinggal hanya
terjemahan-terjemahan dalam bahasa arab saja, namun terus terpelihara sebagai
kebudayaan-kebudayaan yang amat tinggi tinggi nilainya.
B.
Sejarah Lahirnya Dinasti Abbasiyah
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah
melanjutkan kekuasaan Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah. pemerintahan
abbasiyah adalah berketurunan dari pada al – abbas, paman Nabi SAW Pendiri
kerajaan al – abbas, ialah Abdullah as – Saffah bin Muhammad bin Ali bin
Abdullah bin al – abbas.[1] Kemunculan
pemerintahan Abbasiyah dianggap sebagai suatu kemenangan pemikiran dikalangan
Bani Hasyim (Alawiyun) yang berpendapat setelah Rasulullah SAW wafat,
keturunan beliau yang berhak diangkat untuk jabatan khalifah.
Pemikiran seperti itu mendapat tantangan diawal masa
islam, yang berpendapat bahwa kekuasaan adalah hak semua kaum muslimin,
siapapun berhak selama mampu memegang amanah sebagai khalifah.[2] Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,dari tahun 132 H (750 M) s. d 656
H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.[3]
Pada pandangan publik umumya, golongan alawiyun adalah
lebih dekat kepada Rasulullah SAW, karena kedudukan Fatimah yang menjadi anak
baginda, dan juga karena kedudukan Ali yang menjadi sepupu dan menantu baginda.
Kemudian
karena keutamaan Ali yang telah memeluk agam islam lebih dahulu dari yang lain
– lain serta perjuangannya yang terkenal untuk menegakkan islam. Tetapi
golongan Abbasiyah setelah berkuasa lantas mengumumkan bahwa mereka lebih utama
dari Bani Hasyim untuk mewarisi Rasulullah SAW karena moyang mereka adalah
paman baginda dan pusaka peninggalan tidak boleh diperoleh oleh pihak sepupu,
jika ada paman dan keturunan dari anak perempuan tidak mewarisi pusaka datuk
dengan adanya pihak ‘ashabah.
Pada tahun 656 H, kaum tatar melanggar dunia islam,
membunuh khalifah Abbasiyah serta kaum keluarganya dan mengumumkan berakhirnya
pemerintahan Abasiyah. tempo yang begitu lama dinikmati oleh golongan Abbasiyah
ketika memegang tampuk pemerintahan, tidak bearti bahwa kekuasaan para khalifahnya
sama sejajar. Sebaliknya
kekuasaan tersebut adalah berbeda-beda yang menyebabkan para pengkaji
membagikan tempo pemerintahan Abbasiyah kepada beberapa priode.[4]
Secara garis besar bani Abbasiyah
terbagi atas empat priode yaitu : Priode
pertama, pemerintahan berada ditangan khalifah yang terdiri dari
orang-orang arab, pendiri abbasiyah (Arab):
1) Abu
Abbas al-Saffah 132-136 H/749-774M.
2) Abu
Ja’far al-Manshur 136-158H/753-774M.
3) Abu
Abdullah Muhammad al-Mahdi 158-169H/774-785M.
4) Abu
Musa al-Hadi 169 -170H/785-786M.
5) Abu
Ja’far Harun al-Rasyid 170-193H/786-808M.
6) Abu
Musa Muhammad al-Amin 193-198H/808-813M.
7) Abu
Ja’far Abdullah al-Ma’mun 198-218H/813-833M.
8) Abu
Ishak Muhammad al-Mu’tashim 218-227H/833-841M.
9) Abu
Ja’far Harun al-Watsiq 227-232H/841-846M.
10) Abu
Fadhl Ja’far al-Muttawakkil 232-247H/846-867M.[5]
Periode kedua, ini kekuasan politik
berpindah dari tangan para khalifah kepada golongan ( kaum turki, Golongan Bani
Buwaih dan Golongan Saljuq ).
1) Abu
Ja’far Muhammad al-Muntasir 247 H.
2) Abu
Abbas Ahmad al-Musta’in 248 H.
3) Abu
Abdullah Muhammad al-mu’taz 252 H.
4) Abu
Ishak Muhammad al-Muhtadi 255 H.
5) Abu
Abbas Ahmad al-Mu’tamid 256 H.
6) Abu
Abbas Ahmad al-Mu’tadhid 279 H.
7) Abu
Muhammad Ali al-Muktafi 289 H.
8) Abdul Fadhl Ja’far al-Muqtadir 295 H.
9) Abu
Mansur Muhammad al-Qahir 320 H.
10) Abu
Abbas Ahmad ar-Radhi 322 H.
11) Abu
Ishak Ibrahim Al-Muttaqi 329 H.
12) Abu
Qosim Abdullah al-Mustakfi 333 H.[6]
Periode ketiga, Apabila
sultan-sultan bani Saljuq menjadi lemah, kerajaan mereka mulai mengalami
keruntuhan dan pecah belah, dan segala urusan pemerintah diurus oleh sekelompok
para pemerintah yang banyak diantaranya dikenali dengan gelar Syah dan Atbak. Adapun nama-nama
khlaifaf pada priode ini ialah :
1) Abu
Qasim al-Mufadhdhal al-Muthi’ 333 H
2) Abu
Fadhl Abdul karim at-tha’I 334 H
3) Abu
Abbas Ahmad al-Qadir 381 H
4) Abu
Ja’far Abdulah al-Qa’im 422 H.[7]
Periode keempat, pemerintahan
dikendalikan Saljuq, Khalifah hanya simbol, tidak memiliki kekuasaan sama
sekali.
1) Abul
Qasim Abdullah al-Muqtadi 467-487 H/1075-1094 M.
2) Abul
Abbas Ahmad al-Mustazhir 487-512H/1094-1118 M.
3) Abu
Manshur al-fadl al-Mustarsyid 512-529 H/1118-1135 M.
4) Abu
Ja’far al-Mansur ar-Rasyid 529-530 H/1135-1136 M.
5) Abu
Abdullah Muhammad al-Muqtafi 503-555H/1136-1160M
6) Abul
Muzhaffar al-Mustanjid 555-566 H/1160-1170M.
7) Abu
Muhammad al-Hasan al-Mustadi’ 566-575H/1170-1179M
8) Abu
Abbas Ahmad an-Nashir 575-622 H/1179-1225M
9) Abu
Nasr Muhammad az-Zahir 622-623 H/1225-1226M
10) Abu
Ja’far al-Mansur al-Muntasir 623-640 H/1226-1242 M
11) Abu
Ahmad Abdullah al-Musta’shim 640-656H/1242-1258M.[8]
C.
Kemajuan Dinasti Abbasiyah
Puncak kejayaan daulah Abbasiyah terjadi pada masa
Khalifah Harun al-Rasyid dan putranya, al-Ma’mun serta khalifah-khalifah
sesudahnya hingga sampai masa Al-Mutawakkil. Pada masa Harun al-Rasyid,
kekayaan negara yang banyak sebagian besar dipergunakan untuk mendirikan rumah
sakit, membiayai pendidikan kedoteran dan farmasi. Sementara pada masa
al-Ma’mun, digunakan untuk menggaji penterjemah dari golongan Kristen, Sabi,
dan bahkan penyembah binatang untuk menterjemahkan buku bahasa asing kedalam bahasa
arab serta mendirikan Bait al-Hikmah sebagai pusat penterjemah dan akademi yang
dilengkapi dengan perpustakaan.[9]
Kemajuan peradaban Islam sebagian
disebabkan oleh stabilitas politik dan kemajuan ekonomi kerajaan yang pusat
kekuasaannya terletak di Baghdad. Adapun kemajuan peradaban Islam yang dibuat
oleh Dinasti Abbasiyah ialah :
1.
Bidang Politik dan Pemerintahan
Kemajuan
politik dan pemerintahan yang dilakukan oleh dinasti Abbasiyah ialah
memindahkan pusat pemerintahan dari damaskus ke Baghdad. Kemudian dijadikannya
sebagai pusat kegiatan politik ,ekonomi, sosial dan kebudayaan.[10]
2. Ilmu
Pengetahuan Dan Lembaga Pendidikan
Terjadinya
asimilasi antara bahasa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Bangsa Persia banyak
berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra. Bangsa India terlihat
dalam bidang ilmu kedokteran, matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh
Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan di berbagai bidang ilmu, terutama
filsafat.
Gerakan
penerjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa
khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Buku-buku yang banyak diterjemahkan
adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua, pada
masa al-Makmun hingga tahun 300 H. Buku-buku dalam bidang filsafat dan
kedokteran adalah yang paling banyak diterjemahkan. Fase ketiga, berlangsung
setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Selanjutnya
bidang-bidang ilmu lainnya yang diterjemahkan semakin meluas.[11]
Kemajuan
ilmu pengetahuan pada masa dinasti Abbasiyah ialah ilmu pengetahuan agama.
Maksudnya ialah ilmu-ilmu yang muncul ditengah-tengah suasana hidup keislaman
berkaitan dengan agama dan bahasa Al-qur’an. Misalnya dalam bidang Ilmu tafsir,
ilmu hadis, ilmu kalam dan ilm fiqh.[12]
a) Ilmu
Tafsir
Pada
masa Abbasiyah ilmu tafsir mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan
dilakukannya penafsiran secara sistematis, berangkai dan menyeluruh serta
terpisah dari hadis. [13]
b) Ilmu
Hadis
Pada
masa Abbasiyah, kegiatan dalam bidang pengkodifikasian hadis dilakukan pula
denga giat sebagai kelanjutan dari usaha para ulama sebelumnya. Perlu diketahui
bahwa pengkodifikasian hadis sebelum masa abbasiyah dilakukan tampa mengadakan
penyaringan sehingga bercampur antara hadis Nabi saw dan yang bukan dari Nabi.
Sebelum
penyaringan hadis dilakukan, sebenarnya imam malik telah menyusun kitabnya yang
terkenal, al-Muwaththa’ yang telah tersusun secara bab per bab. Namun masih
bercampur antara hadis Rasulullah, perkataan sahabat dan fatwa tabiin. Pada
abad ke-3 H, para ulama islam mulai berusaha secara maksimal untuk menyeleksi
dan menyaring hadis dengan melakukan pemilahan antara hadis yang sahih dengan
yang daif, serta menjelaskan kulitas perawi hadisnya.[14]
c) Ilmu Kalam
Ilmu kalam terlahir karena dorongan untuk membela islam
dengan pemikiran-pemikiran filsafat dari serangan orang-orang Kristen Yahudi
yang mempergunakan senjata filsafat, dan untuk mmemecahkan persoalan-persoalan
agama dengan kemampuan akal pikiran dan ilmu pengetahuan.
Perkembangan
ilmu kalam pada masa ini telah berjasa besar dalam upaya memelihara dan
membentengi aqidah islam dengan menggunakan argumentasi manthiqi dan
filosofis rasional.[15]
d) Ilmu
Fiqh
Diantara
kebanggaan zaman pemerintahan Abbasiyah pertama adalah terdapatnya empat imam
mazhab fiqh yang ulung. Mereka adalah Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafii, dan
Imam Ahmad bin Hanbal. Keempat imam mazhab ini adalah merupakan para ulama fiqh
yang paling agung dan tiada tandinginya didunia islam.
D.
Kemunduran Bani Abbasiyah
1)
Faktor Internal
1. Perbedaan Paham Para Ahli
Teologi
Intelektual
dizaman daulah Abbasiyah diawali dengan berkembangnya perhatian pada dua sumber
utama dalam islam yaitu Al-Qura’an dan Hadis. Dari dua sember utama inilah lalu
lahir berbagai ilmu seperti halnya teologi. Teologi yang merupakan ilmu yang
membahas tentang Tuhan, dan juga kedudukan manusia dalam kekuasaan mutlak Tuhan
seperti kebebasan berkehendak, kedudukan akal dan lain-lain. Persoalan ini melahirkan para ahli dengan berbagai ragam
perbedaan-perbedaan pendapat mereka.
Terbukti
bahwa keberadaan berbagai macam pemikiran yang melahirkan aliran-aliran
keagamaan menimbulkan polemik internal pada Pemerintahan Daulah Abbasiyah.
Masing-masing para ahli dan ulama mengklaim bahwa pemikirannya adalah yang
paling benar untuk dijadikan ideologi dalam pemerintahan. Seperti konflik yang
terjadi antara Syi’ah dan Sunni. Pada masa Khalifah al-Mutawakkil (847-861M.),[16] beliau memerintahkan agar makam Husein di
Karbela dihancurkan. Namun anaknya al-Muntashir (861-862 M.) kembali memperkenankan orang Syi’ah menziarahi makam Husein tersebut.[17]
Bahkan al-Muntashir turut membantu dalam pembunuhan ayahnya (al-Mutawakkil)
agar dia dapat menduduki jabatan khalifah. Namun baru 6 bulan dia menjadi khalifah,
ia mati diracun oleh para jenderalnya sendiri.
Demikian
juga aliran Muktazilah yang pernah menjadi ideologi pemerintahan pada masa
al-Makmun, Khalifah ke tujuh Daulah Abbasiyah.[18]
Muktazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bidah oleh golongan
salaf. Pada masa al-Mutawakkil, aliaran Muktazilah dibatalkan sebagai aliran
negara dan digantikan oleh aliran Salaf. Akan tetapi pada masa pemerintahan
dipimpin oleh Bani Buwaih (945-1055 M). Muktazilah kembali menjadi ideologi
negara. Dan pada periode berikutnya ketika pemerintahan dikuasai oleh suku
Seljuk (1055-1258 M). Aliran Asy’ariyah menjadi ideologi pemerintahan setelah
menyingkirkan aliran Muktazilah dengan dukungan para penguasa yang berpaham
Asy’ariyah.
Demikian
juga konflik yang terjadi antara orang beriman dengan golongan Zindiq (Tidak
Bertuhan) berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran sampai kepada konflik
bersenjata yang menumpahkan darah di antara kedua belah pihak.[19]
2. Perebutan Kekuasaan Di Pusat Pemerintahan
Sudah menjadi kewajiban bahwa
setiap kekuasaan akan dipimpin oleh orang-orang yang berpengaruh secara
bergantian, baik secara konstitusional ataupun pemberontakan bahkan pemaksaan. Daulah
Abbasiyah, yang berkuasa sampai 5 abad, tak terlepas dari suksesi khalifah yang
masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan dalam mengembangkan
pemerintahan.
Pada masa pemerintahan
Daulah Abbasiyah perebutan kekuasaan secara mencolok terlihat pada periode
kedua dan seterusnya. Disini tidak ada usaha untuk merebut jabatan kekhalifahan
dari Bani Abbas, yang ada adalah usaha merebut kekuasannya dengan membiarkan
jabatan khalifah tetap di pegang oleh Bani Abbas. Hal ini terjadi karena
khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa
diganggu gugat lagi.
3. Gaya
Hidup Mewah Para Penguasa
Puncak keemasan Daulah Abbasiyah terjadi
pada periode pertama, kalaupun ada konflik politik yang terjadi tidaklah
berakibat fatal bagi integritas pemerintahan karena para khalifah sebagai
kepala pemerintahan dapat menyelesaikannya secara bijaksana. Masa
keemasan ini terjadi dengan berkembangnya peradaban dan kebudayaan serta ilmu
pengetahuan.
Pada periode selanjutnya
terjadilah perubahan kebiasaan para khalifah ke arah kehidupan yang serba mewah
dan berfoya-foya bahkan cenderung
mencolok. Gaya hidup ini ditiru oleh para pejabat dan keluarga istana. Kondisi
ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki untuk mengambil alih
kendali pemerintahan. Dan secara bergantian kendali pemerintahan di pegang oleh
suku-suku non arab yang bukan dari keturunan Bani Abbas.[20]
4. Dinasti-dinasti kecil yang Memerdekakan Diri
(Disintegrasi)
Berbagai kemelut yang terjadi di dalam pemerintahan
Daulah Abbasiyah, menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi
miskin. Perekonomian negara mengalami penurunan karena tidak seimbangnya
pendapatan negara dengan pengeluaran yang disebabkan oleh para pejabat yang
bergaya hidup mewah serta kurangnya pendapatan pajak dari daerah.
Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional yang berasal dari
suku non arab mengambil kendali pemerintahan. Sehingga kekuasaan sesungguhnya
berada di tangan mereka. Silih berganti mereka mengendalikan pemerintahan
selama ± 400 tahun. Hingga akhirnya kelemahan pemerintahan terjadi yang
menyebabkan terjadinya disintegrasi dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah.
Situasi ini menyebabkan lahirnya pemimpin yang berupaya
mendirikan kerajaan baru di daerahnya dan terlepas dari pengaruh Abbasiyah
seperti Daulah Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Marokko. Selain itu gubernur yang awalnya merupakan jabatan yang
diberikan khalifah, karena kedudukannya semakin kuat sementara khalifah di
pusat pemerintahan semakin lemah, mengambil kesempatan untuk membuat kerajaan
sendiri.
Disintegrasi memuncak pada daulah Abbasiyah ketika
para khalifah menjadi boneka dalam tangan tentara pengawal. Daerah-daerah yang
jauh letaknya dari pusat pemerintahan di Damaskus dan di Bagdad melepaskan diri
dari kekuasaan khalifah di pusat dan bermunculanlah dinasti-dinasti kecil.
Golongan Syi’ah yang pada mulanya sekutu Bani Abbas,
mulai melancarkan aksi penentangan terhadap pemerintahan. Di tahun 869 M timbul
pemberontakan kaum Zanj di bawah pimpinan Ali Ibn Muhammad. Kaum Zanj adalah
budak-budak yang didatangkan dari Afrika untuk bekerja di pertambangan di Irak.
Dari tahun 870 M sampai 883 M kekuasaan Bani Abbas dikacau oleh pemberontakan
Zanj ini.[21]
Gerakan lain adalah gerakan Qaramitah yang dimulai
tahun 874 M oleh Hamdan Qarmat, seorang penganut faham Syi’ah Ismailiyah di
Irak. Mereka membentuk negara merdeka di
Teluk Persia, yang kemudian menjadi pusat kegiatan mereka dalam menentang
pemerintahan Daulah Abbasiyah. Di tahun 930 serangan mereka meluas sampai ke
Mekkah. Sewaktu pulang mereka membawa lari al-Hajr al-Aswad yang dikembalikan baru 20 tahun kemudian.[22]
5.
Kemerosotan Ekonomi
Sejalan
dengan kemunduran di bidang politik, Daulah Abbasiyah juga mengalami
kemerosotan di bidang ekonomi. Pada periode awal Daulah Abbasiyah adalah
kerajaan yang kaya dan yang masuk lebih besar dari dana yang keluar sehingga
Bait al-Mal penuh dengan harta. Yang berasal dari Pajak daerah kekuasaan dan
pajak hasil bumi.
Setelah
khalifah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun, sementara
pengeluran meningkat lebih besar. Hal ini disebabkan oleh makin sempitnya
wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi pemberontakan yang mengganggu
perekonomian, dan banyaknya dinasti-dinasti yang memerdekakan diri sehingga
mereka tidak lagi membayar pajak ke pemerintahan.
Faktor-faktor
internal ini lebih banyak berperan sebagai faktor penyebab kehancuran
kekhalifahan ketimbang faktor eksternal. Serangan bangsa Mongol kendati begitu
dahsat nyatanya cuma berperan sebagai
senjata pamungkas yang meruntuhkan
kekhalifahan.
2)
Faktor EKternal
1. Perang Salib
Terjadinya perang salib adalah dipicu oleh rasa
kebencian ummat kristen kepada ummat Islam. Puncak kebencian itu adalah ketika
Daulah Abbasiyah di kuasai oleh bani Seljuk. Ketika Bani Seljuk berhasil
merebut Bait al-Maqdis dari dinasti Fatimiyah yang berkedudukan di Mesir.
Penguasa Seljuk menetapkan beberpa peraturan bagi ummat kristen yang ingin
berziarah ke sana. Peraturan ini dirasakan sangat menyulitkan mereka. Maka
untuk mengambil kembali keleluasaan untuk berziarah ke tanah suci mereka itu,
pada tahun 1095 M Paus Urbanus II berseru kepada ummat kristen di eropa supaya
melakukan perang suci. Perang ini kemudian dikenal dengan nama Perang Salib.
Disebutkan bahwa Hulagu Khan sangat membenci Islam
karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen, Gereja-gereja
kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam. Tentara Mongol
setelah menghancur leburkan pusat-pusat
Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.
Akibat dari perang salib ini adalah kerugian yang
dialami ummat Islam besar sekali karena perang salib terjadi di wilayah
kekuasaan ummat Islam. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik
ummat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian, mereka bukannya bersatu tapi
malah terpecah belah. Banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri dari
pemerintahan pusat Daulah Abbasiyah di Baghdad.
2. Serangan Bangsa Mongol
Sebagai mana biasanya bangsa nomad, bangsa Mongol
mempunyai watak yang kasar, suka berperang, dan berani menghadapi maut dalam
mencapai keinginannya. Akan tetapi mereka sangat patuh kepada pimpinannya.
Mereka menganut agama Syamaniah menyembah binatang-binatang dan sujut kepada
matahari yang sedang terbit. Mereka menjadikan posisi wanita sama dengan
laki-laki dalam tugas di medan perang. Kemajuan bangsa Mongol secara
besar-besaran terjadi pada masa kepemimpinan Yasugi Bahadur Khan. [23]
Pada tahun 656H/1258M, tentara Mongol yang berkekuatan
sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad, khalifah al-Mu’tashim,
penguasa terakhir Daulah Abbasiyah di Baghdad betul-betul tidak mampu
membendung tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Pada saat krisis tersebut
wazir khalifah Abbasiyah Ibnu al-Aqlami ingin mengambil kesempatan denganmenipu
khalifah. Ia mengatakan kepada khalifah:”Saya telah menemui mereka untuk
perjanjian damai. Raja Hulagu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya dengan
Abu Bakr putra khalifah. Dengan demikian Hulagu Khan akan menjamin posisimu. Ia
tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu
terhadap sultan-sultan Seljuk.[24]
Dengan pembunuhan yang
kejam ini , berakhirlah kekuasaan Abbasiyah
di Baghdad. Kota Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan tanah. Akan
tetapi walaupun sudah hancur Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad
selama dua tahun sebelum melanjutkan gerakannya ke Mesir dan Syiria.
E. Kehidupan keluarga Dan gaya Kehidupan Masyarakat
Sistem
kesukuan premitif yang menjadi pola organisasi sosial arab paling mendasar
runtuh pada masa dinasti Abbasiyah, yang didirikan dari berbagai unsur asing.
Bahkan dalam persoalan memilih istri dan ibu untuk anak-anak mereka, para
khalifah tidak menjadikan darah keturunan arab sebagai patokan Di antara
keluarga Abbasiyah hanya tiga khalifah yang terlahir dari ibu yang merseka
yaitu Abu al-Abbas,al-Mahdi, dan al-Amin yang terakhir memiliki keistimewaan
karena ayah dan ibunya keturunan nabi. [25]
Salah
satu gaya hidup dan kebiasaan masyarakat pada priode abasiyah adalah berendam
ditempat pemandian umum. Tempat pemandian umum (hammâm) telah
sedemikian populer, bukan saja untuk bersuci, tapi juga sebagai tempat untuk
bersenang-senang dan bagian dari kemewahan.[26]
Hal
lain yang bisa menunjukkan tingkat kemakmuran dan peradaban dimasa itu adalah
pemanfaatan waktu luang. Misalnya catur (Syitranjâ) yang dimasyarakatkan
pertama kali oleh al-Rasyîd dimasa kekhalifahannya. Begitupun panahan, polo ( juka>m,
dari bahasa persia, Chawgan, yang berarti tongkat bengkok), bola dan
pemukul (Sawlajân, mirip kriket dan hokey), lempar lembing (Jarîd), memelihara
sekaligus melatih elang dan cheetah untuk berburu, lomba berkuda dan
berburu. Al-Mu’tashim adalah salah seorang khalifah yang senang bermain polo.[27]
Pada
masa kemundurannya, praktik perseliran secara berlebihan banyak dilakukan
petinggi-petinggi pemerintahan, merosotnya moralitas seksual, berpoya-poya
dalam kemewahan, posisi perempuan menukik tajam seperti yang disebutkan dalam
kisah seribu satu malam, dan Minuman beralkohol sering disajikan dalam
perjamuan-perjamuan.
F. Perbudakan dan Perseliran diera Bani Abbasiyah
Ada
dua hal yang sangat dibenci islam, tetapi diharuskan terjadi, yaitu :
a. perceraian
( talaq ) dan
b. perbudakkan
( ar – riqqu )
Diantara keluaga Abbasiyah, hanya tiga khalifah yang
terlahir dari ibu yang merdeka : Abû al-Abbâs,al-Mahdî dan al-Amîn.Ibu
al-Manshûr adalah seorang budak Berber,ibu al-Ma’mûn adalah budak persia,ibu
al-Watsîq dan al-Muhtadî berasal dari yunani,ibu al-muktafi dan muqtadir adalah
budak dari turki dan ibu al-Mustadhi berasal dari armenia,ibu harun juga budak
dari negri lain .
Asal
mulanya perbudakkan, yaitu karena terjadi perperangan antara kerajaan (Daulah)
islam dengan Negara non islam. Orang – orang tawanan (pria, wanita, dan anak –
anak ) dianggap sama dengan harta rampasan, yang boleh diperjual – belikannya
karena kebanyakan wanita – wanita tawanan dari Persia dan Romawi adalah cantik
– cantik, maka mereka dikawini oleh para pembesar islam, sehingga istana –
istana atau rumah – rumah gedung mereka penuh dengan jariyah – jariyah yang
cantik jelita, yang kemudian pada suatu waktu rumah tempat para jariyah itu
dinamakan harem.
Maka
terjadilah perdagangan budak sangat ramai pada saat itu, tidak saja dalam
daulah islamiyah, tapi juga dalam kerajaan – kerajaan lain, dan dikota bagdad
terdapat satu jalan yang bernama syari Daar ar – Raqiq (jalan gedung budak).
Oleh karena budak wanita yang akan diperjual – belikannya akan mendapat harga
yang lebih tinggi kalau mereka bernyanyi, pandai menari, pandai merayu dan
pandai serba pekerjaan sulam dan lukis, maka oleh para saudagar budak,
diajarlah mereka dengan pengetahuan atau keahlian – keahlian tersebut. Dan
terjadilah tempat – tempat pendidikan khusus bagi mereka. Dengan sebab itu,
maka berkembanglah dalam kalangan para jariyah itu berbagai macam cabang
kesenian campuran. Yang kemudian menjelma menjadi satu bentuk (corak) kesenian
yang indah tersendiri.[28]
Para
pembantu itu hampir semuanya budak yang direkrut secara paksa dari kalangan non
muslim. Baik yang ditawan pada masa perang atau pada masa damai. Beberapa
diantaranya adalah orang negro, dan ada juga orang kulit putih dan turki. Budak
berkulit putih (mamâlik) kebanyakan kebangsaan yunani, Slavia, Armenia,
dan Berber. Budak-budak yang bekerja di keputren adalah laki – laki yang telah
dikebiri (khishyân). Budak – budak lainnya yang juga dikebiri, yang
dikenal dengan sebutan Ghilmân. Yang menjadi kesayangan bagi tuannya,
mengenakan busana yang mahal dan menarik, dan sering berhias dan mengahrumkan
tubuh mereka mirip dengan prempuan. Para ghilmân ini muncul pada masa
al-Rasyid.[29]
Gadis
– gadis muda (jawâri) dalam kelompok budak biasanya menjadi penyanyi, penari,
dan selir. Beberapa diantara mereka memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap
khalifah yang menjadi tuan mereka. Dzât al-khâl (sang mata-mata) merupakan
contoh budak semacam itu, yang dibeli oleh al-Rasyîd seharga 70.000 dirham dan
dieserahkan kepada pembantu
laki-lakinya. Setelah bersumpah akan memenuhi apapun permintaan prempuan itu,
al-Rasyîd diriwayatkan mengangkat suami prempuan itu sebagai gubernur diparis
selama tujuh tahun.
Agar
tidak lagi tertarik dengan biduanita lain, istri al-Rasyîd, Zubaydah
menghadiahi suaminya 10 gadis muda, yang salah seorang diantaranya menjadi ibu
al-Ma’mûn, dan yang lainnya menjadi ibu al-Mu’tashim, kisah legendaris tentang
Tawaddud, yaitu seorang budak prempuan yang cantik dan berbakat dalam kisah
seribu satu malam ( malam ke437-462) yang hendak dibeli seharga 100.000 dinar
oleh al-Rasyîd setelah ia lulus dengan sangat memuaskan didepan para sarjana
kedokteran, hukum, astronomi, filsafat musik dan matematika, termasuk retorika,
tata bahas, puisi, sejarah, dan al-qur’an melukiskan betapa tingginya peradaban
para gadis muda itu.[30]
Gagasan
tentang maraknya praktik perbudakkan bisa dilihat dari tingginya budak yang
dimiliki oleh keluarga kerajaan. Diriwayatkan bahwa istana al-Mitaqdir
(908-932) memiliki 11.000 laki-laki yunani dan sudan yang dikebiri.
Al-Mutawakkil diriwayatkan memiliki 4.000 orang selir yang semuanya diajak tidur
menemaninya. Pda suatu kesempatan al-Mutawakkil menerima sebuah hadiah sebanyak
100 budak dari salah satu jendralnya.
Telah
menajdi tradisi bagi para gubernur dan jendral untuk mengirim hadiah, termasuk
didalamnya para gadis yang direkrut secara suka rela atau paksa dari para
penduduk, kepada khalifah atau wazir. Tidak member hadiah dinilai sebagai tanda
pembrontakan. Al-Ma’mûn menggunakan para budak memata-matai penerimaanya yang
ia curigai atau untuk menghabisinya jika diperlukan.[31]
Kini
kita tiba pada pembahasan tentang fenomena yang jamakdilakukan oleh generasi
pendahulu kita, yaitu soal poligami. Fenomena itu tidak hanya dianggap oleh
secara agama, tetapi juga ditunjang oleh gaya hidup saat itu. Bahkan Hasan bin
Ali bin Abi Thalib, misalnya sangat tersohor dengan kebiasaanya menghimpun
banyak istri. Dala sebuah riwayat dituturkan, bahwa ia menikahi 70 orang
prempuan. Bahkan ada yang menyebutkan angka lebih, 90 orang. Ia biasanya menikahi
empat orang, lalu ia mencerai empat lainnya dalam waktu bersamaan.
Kebiasaanya
ini lantas diketahui oleh Ali bin Abi Thalib, dan ia khawatir justru akan
merusak struktur sosial kesukuan masyarakat arab di kuffah lantaran terlalu
banyak prempuan yang diceraikannya. Karena itu ia mengeluarkan seruan kepada
waarga kuffah, “ wahai warga kuffah, jangan bersedia dinikahi Hasan, karena ia
adalah situkang cerai ”. Namun seruan Ali tidak dipedulikan oleh kebanyakan
warga kuffah, sebab setiap mereka terobsesi untuk menjadi bagian dari kelurga
Rasulullah.[32]
Disampung
itu, maraknya praktik poligami juga didorong oleh dua faktor penting lainnya.
Kedua faktor ini telah membuka kesemptan kepada setiap peria dewasa untuk
mereguk kenikmatan hidup dan hidup dalam kenikmatan. Faktor pertama tidak lagi
diperselisihkan keabsahannya yaitu pergundikkan, meskipun orang-orang modern
kini sudah tidak dapat menerima, bahkan tidak sanggup mempertimbangkannya.
Sedangkan faktor kedua masih masih dalam perselisihan sengit diantara para ulama
soal nikah kontrak atau mut’ah.
Faktor
pertama, yaitu soal kepemilikan selir (járiyah) merupakan salah satu aspek yang
terkait erat dengan sistem perbudakkan kala itu. Perlu diingat, tatkala islam
datang, sistem perbudakan sudah merupakan bagian penting dari kehidupan bangsa
arab. Islam tidak hadir untuk melarang maupun membenarkannya. Namun islam
sangat menyarankan praktik pembebasan terhadap mereka (‘itqh raqabah). [33]
Secara
sosial kepemilikan budak bersumber dari dua arah. Pertama, sistem
perdagangan budak, dan kedua hasil pampas an perang. Dari sumber kedua
inilah fenomena kepemilikan budak berkembang pesat dikalangan masyarakat arab
pada masa awal impremium arab islam. Asal usul pkawasan para selir itupun
bermacam-macam. Mereka berdatangan dari banyak bangsa sebagai konsekuensi dari
proses penaklukkan-penaklukkan ke berbagai wilayah, sehingga ada gindik Romawi,
Persia, dan Ethiopia.
Lantas
perkembangan ini menyebabkan terjadinya surplus budak didalam masyarakat.
Penawaran dipasaran budak melebihi permintaan. Dalam bahasa ekonomi, inilah
kondisi ketika tingkat supply melebihi demand. Dan karena
pesediaan selir melimpah-ruah, maka fenomena saling menghadiahi selir pun
menjadi kebiasaan umum. Dari buku-buku sejarah kita dapat menemukan betapa mudahnya seorang
member satu atau dua orang gundik sebagai bagian dari hadiah. Bahkan, sejarah
mencatat bahwa Ali bin Abi Thalib pun, seorang khalifah yang paling asketis
dalam hidupnya, wafat dengan meninggalkan 4 orang istri dan 19 orang selir.
Jumlah
gundik-gundik ini semakin berkembang dalam sejarah imperium islam. Menjadi
puluhan pada masa umayyah, mencapai ratusan pada masa Yazid bin Abdul Malik,
dan menembus angka ribuan pada masa Abbasiyah. Bahkan menembus angka ribuan
pada masa Abbasiyah. Yaitu mencapai angka 4.000 orang sebagaimana kita singgung
dalam pembahasan tentang al-Mutawakkil. Khalifah ini konon meniduri 4.000
gundik selama seperempat abad masa kepemimpinannya tentu ini merupakan rekor
tertinggi kepemimpinan gundik yang pernah tercatat dalam sejarah.
G. Citra Negatif Khalifah-Khalifah Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah tidak perlu diperkenalkan lagi.karena
ia telah memperkenalkan dirinya dengan sendirinya lewat figur pendirinya
al-Saffah(SiPenjagal),khalifah pertama Bani Abbasiyah.al-Saffah sungguh layak
menyebut dirinya “Si Penjagal”.kepemimpinannya bermula bermula dari dua
keputusan penting yang tidak ada taranya dalam sejarah.Tak ada orang setelah
al-Saffah yang mampu menandingi apalagi melampaui “prestasi”
kebengisannya.yaitu titahnya untuk mencari kuburan dan memburu apa yang tersisa
dari jenazah para pemimpin bani Umayyah,melecut,menyalib,membakar,dan menabur
abunya ke udara.sejarah mencatatkan apa yang berhasil ia temukan.[34]Kita mulai kisah ini
dengan babak sinopsis sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Atsir.Disaat al-Saffah
sedang melakukan perjamuan yang ramah terhadap Sulaiman bin Hisyam bin Abdul
Malik,Sudaif sang penyair datang sembari melantunkan syairnya :
Jangan silau akan tampilan seorang
Jika sumsum simpan penyakit mematikan
Hunuskan pedang,sediakan lecutan
sampai tak tersisa keluarga Umayyah pun seorang
Kontan ,Sulaiman tertegun seketika,lalu berkata :” Anda
benar-benar telah memnuhku,wahai Syekh (Sudaif) ! “ al-Saffah pun beranjak
masuk keruang pribadinya sambil menarik Sulaiman. Ia menghabisi nyawanya.
Riwayat lain diawali tentang jaminan keamanan yang
diberikan al-Saffah kepada Umayyah yang berjumlah lebih dari 90 orang.seting
peristiwa masih tetap berada di tempat perjamuan makan yang sama.Dan
sepanjang pembuat acara adalah khalifah,kemurahan hati dipastikan akan
terjaga.Rasa aman pun tak pantas di
sangka-sangka.tapisecaramengejutkan,seorangpenyair datang,memprovokasi
pembalasan dendam.
al-saffah lalu memerintahkan untuk menghantam kepala
semua mereka dengan pentungan besi.sebagian pecah kepala,tapi jasadnya tetap
bernyawa,dalam kondisi yang mengenaskan.Tatkala al-Saffah menyaksikan sekitar
90 orang yang sedang meregang nyawa,ia meninggikan suara sambil menuturkan
titah “ Gelar permadaniku untuk bersantap secara lesehan diatas mereka! Ia dan
orang-orangnya memulai santapan malam,sementara permadani menari kekanan dan ke
kiri.Tatkala permadani tidak lagi bergerak,mereka pun selesai dari kunyahan
mereka sambil mengucap alhamdulillah dan tahniah kepada tentara dan kerabatnya.
Minum-minuman beralkohol sering dikonsumsi bareng-bareng
atau sendiri-sendiri.berdasarkan kisah-kisah yang tidak terhitung jumlahnya tentang
perjamuan dalam berbagai karya seperti Aghânî dan seribu satu malam,dan
dari berbagai nyanyian,dan puisi yang memuji-muji arak minuman anggur (khamrîyát)
oleh Abu Nuwas,khalifah sehari,Ibn al-Mu’tazz dan para penyair semasanya. Hukum
haram yang menjadi salah satu ciri khas hukum islam,tidak lagi diterapkan
seperti halnya amandemen konstitusi Amerika abad ke-18.Bahkan para
khalifah,wazir,putra mahkota,dan para hakim tidak lagi peduli dengan ketentuan
agama.para sarjana, penyair, penyanyi,dan musisi sering berkumpul bersama.
Praktik ini, yang berasal dari persia,telah melembaga pada masa awal Dinasti
Abbasiyah dan menjadi profesi pada masa harun al-rasyîd.selain al-Rasyid, al-Hadi,al-Amîn,al-Ma’mûn,al-Mu’tasim
al-Watsîq,dan al-Mutawakkil terbiasa meminum arak.[35]
Pesta persahabatan yang menyajikan arak dan nyanyian
menjadi hal yang lazim di jumpai.para biduanita yang berpartisipasi dalam
perjamuan semacam itu kebanyakan adalah para budak tuna susila.gambaran tentang
sebuah rumah khusus di kufah selama pemerintahan al-Manshûr terdengar mirip sebuah cafe
chantant,dengan Sallâma al-Zarqâ (bermata biru) sebagai ratunya.
Gagasan
tentang maraknya praktik perbudakkan bisa dilihat dari tingginya budak yang
dimiliki oleh keluarga kerajaan. Diriwayatkan bahwa istana al-Mitaqdir
(908-932) memiliki 11.000 laki-laki yunani dan sudan yang dikebiri.
Al-Mutawakkil diriwayatkan memiliki 4.000 orang selir yang semuanya diajak tidur
menemaninya. Pda suatu kesempatan al-Mutawakkil menerima sebuah hadiah sebanyak
100 budak dari salah satu jendralnya.
Didalam kerajaan para pembantu hampir semuanya budak yang
direkrut secara paksa dari kalangan non muslim,baik yang ditawan pada masa
perang atau dibeli pada masa damai.budak-budak yang bekerja di keputren adalah
laki-laki yang telah dikebiri (khishyân)budak-budak lainya yang juga
dikebiri,yang dikenal dengan sebutan ghilmân menjadi kesayangan para
tuannya,mengenakan busana yang mahal dan menarik,dan sering berhias dan
mengharumkan tubuh mereka mirip perempuan.Dari sumber bacaan yang kita miliki,para
ghilmân ini muncul pada masa harun al-Rasyid,namun al- Amîn adalah
khalifah pertama yang mengikuti tradisi persia,dengan memperkenalkan praktik ghilmân
ke dunia Arab untuk menyalurkan kebiasaan seksual yang tidak wajar.[36]
Kontribusi al- Amîn di antara nya adalah memperkenalkan
korps pembantu perempuan,yang para anggotanya menampilkan rambut bergaya
bob,berpakaian seperti laki-laki,dan mengenakan sorban sutera.Inovasi tersebut
kemudian menjadi populer di kalangan masyarakat kelas tinggi maupun kelas
rendah.seorang saksi mata melaporkan bahwa pada pesta minggu ketika ia memenuhi
undangan al-Ma’mûn,ia menyaksikan 20 orang gadis muda Yunani,semuanya memakai
hiasan,sedang menari mengenakan kalung salib emas dan melambaikan tangkai pohon
zaitun dan daun kurma.uang sebesar 3.000 dinar untuk para penari itu menjadikan
atraksi tersebut memikat hingga akhir.
H. Citra positif khalifah Abbasiyah
Dari wacana tentang banyaknya citra negatif para khalifah
Abbasiyah, tentu pasti terdapat kepribadian yang positif yang ada pada diri
khalifah yaitu diantanya Harun al-Râsyid.Ketika khalifah Harun ar-Rasyid selesai membangun salah
satu istana yang megah, ia mengundang seorang penyair bernama Abul ‘Atahiyah
datang ke istananya untuk membacakan syair-syairnya yang indah. Maka Abul
‘Atahiyah membacakan sebuah syair[37]:
“Hiduplah sesuka hatimu
di bawah naungan megahnya istanamu;
Engkau mendapatkan apa yang engkau senangi
di waktu pagi maupun sore hari;
Namun jika tiba waktu sekaratnya jiwa
karena sempitnya nafas di dalam dada;
Saat itu barulah engkau sadari
bahwa engkau dalam kelalaian selama ini.”
di bawah naungan megahnya istanamu;
Engkau mendapatkan apa yang engkau senangi
di waktu pagi maupun sore hari;
Namun jika tiba waktu sekaratnya jiwa
karena sempitnya nafas di dalam dada;
Saat itu barulah engkau sadari
bahwa engkau dalam kelalaian selama ini.”
Setelah
mendengar syair tersebut, Harun ar-Rasyid langsung menangis tersedu-sedu.
Di lain kesempatan Harun ar-Rasyid memanggil Abul ‘Atahiyah lalu
berkata : “Nasihatilah saya dengan sebuah syair.” Maka Abul ‘Atahiyah berkata[38]
:
“Janganlah engkau merasa selamat sekejap
pun dari kematian
Walaupun engkau mempunyai para penjaga dan para pasukan;
Ketahuilah bahwa panah kematian pasti akan tepat sasaran
Meskipun seseorang berada dalam benteng perlindungan.”
Walaupun engkau mempunyai para penjaga dan para pasukan;
Ketahuilah bahwa panah kematian pasti akan tepat sasaran
Meskipun seseorang berada dalam benteng perlindungan.”
Setelah
mendengar syair itu, Harun ar-Rasyid langsung pingsan.
Demikianlah beberapa episode kehidupan Harun ar-Rasyid. Tidak seperti yang diceritakan dalam kisah-kisah dusta dalam buku dongeng berjudul Alfu Lailatin wa Lailah (cerita 1001 malam) yang menggambarkan Harun ar-Rasyid seorang yang gemar berfoya-foya dan bermaksiat.
Demikianlah beberapa episode kehidupan Harun ar-Rasyid. Tidak seperti yang diceritakan dalam kisah-kisah dusta dalam buku dongeng berjudul Alfu Lailatin wa Lailah (cerita 1001 malam) yang menggambarkan Harun ar-Rasyid seorang yang gemar berfoya-foya dan bermaksiat.
Al-Imam Ibnu Katsir
dalam kitabnya al-Bidayah wan Nihayah Jilid 14 menceritakan tentang khalifah Harun
ar-Rasyid :
“Perjalanan bidupnya
sangat mulia. Beliau seorang raja yang paling banyak berjihad dan menunaikan
ibadah haji. Setiap hari beliau bersedekah dengan hartanya sendiri sebanyak
seribu dirham. Jika beliau pergi haji maka ia juga menghajikan seratus ulama
dan anak-anak mereka. Jika beliau tidak pergi haji maka ia menghajikan tiga
ratus orang. Beliau sangat gemar bersedekah. Beliau mencintai ulama dan
pujangga. Cincin beliau bertuliskan La ilaha Ilallah.”
Khalifah Harun
ar-Rasyid wafat dalam peperangan di Khurasan pada tahun 193 Hijriah dalam usia
45 tahun. Ketika kabar kematiannya sampai ke telinga seorang ahli ibadah
bernama Fudhail bin 'Iyadh, maka beliau berkata : “Tidak ada kematian seorang
pun yang memuatku sangat terpukul melebihi kematian amirul mukminin Harun
ar-Rasyid. Sungguh aku ingin seandainya Allah menambah umurnya dengan sisa
umurku”. Perkataan Fudhail tadi
KESIMPULAN
Dinasti Abbasiyah adalah pengubah
peradaban dunia Islam setelah Dinasti Ummawiyah. Yakni selama lima abad, dari
750-1258 M. Dinasti ini pun berasal dari nama keluarga Bani Hasyim, yang
seketurunan dengan nabi Muhammad SAW. Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan
(pemerintahan) berkembang sebagai sistem politik. Pola pemerintahan yang
diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan
budaya. Selama lima abad, pemerintahan ini pun ada 37 khalifah yang menjalankan
amanah menjadi pemimpin muslimin. Pemerintahan Dinasti Abbasiyah dapat dibagi
dalam dua periode. Periode I adalah masa antara tahun 750-945 M, yaitu mulai
pemerintahan Abu Abbas sampai al-Mustakfi. Periode II adalah masa 945-1258 M,
yaitu masa al-Mu’ti sampai al-Mu’tasim. Dalam menjalankan pemerintahan,
Khalifah Dinasti Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh wazir (perdana menteri)
yang jabatannya disebut wizaraat. Wizaraat ini dibagi menjadi 2 yaitu: pertama,
wizaraat tafwid (memliki otoritas penuh dan tak terbatas), periode Bani
Abbasiyah membawa peradaban keemasan Islam di penjuru dunia. Sedangkan pada
abad ke 10 M ini sistem kekhalifahan akhirnya menjadi terpecah menjadi tiga
bagian, yakni Bagdad, Afrika Utara, dan Spanyol. Di Mesir, Muhammad ikhsyid
berkuasa atas nama Bani Abbas. Di Halb dan Mousil, Bani Hamdan muncul, begitu
pula di Yaman, syiah Zaydiyah semakin kuat dengan kelompoknya. Di Bagdad, bani
Buhawiyah berkuasa secara de Facto dan menjalankan pemerintahan Bani Abbas,
sehingga khalifah hanya tinggal nama saja. Faktor-faktor yang menjadi sebab
kemunduran Dinasti Abbasiyah adalah: 1. Faktor internal, dari keluarga khalifah,
untuk merebutkan kekuasaan. 2. Kehilangan kendali dan munculnya dinasti-dinasti
kecil. Dengan ketidak seimbangnya kekuasaan dalam negeri maka tibalah pasukan
Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan, menumbangkan Dinasti Abbasiyah. Sehingga
runtuhlah Dinasti yang telah berkibar selama lima Abad
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Taufik, Ensiklopedi Tematis Duania Islam
: Khilafah, PT Ichtiyar Baru Van Hoeve, 2003
Fouda Faraq, Kebenaran Yanga Hilang, Dar wa Matabi’
al-Mustaqbal, Aleksandria : Mesir, 2003
Hitti Philip, History Of The Arabs, From the Earliest
Times to the Present (cet. X; New York: Palgrave Macmillan, 2002), ter: R.
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, History of The Arabs, PT
Serambi Ilmu Semesta, 2014
Lapidus ira, Sejarah Sosialt Islam, Rajawali Press:
Jakarta, 1999
Munthoha,
Pemikiran dan Peradaban Islam, UII Press:Yogyakarta, 1998
Nasution Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya ; Jilid I, UI Press: Jakarta, 1985
Siregar Hidayat, Sejarah Peradaban Islam Klasik, Citapustaka
Media Perintis:Bandung, 2010
Supriadi Dedi, Sejarah Peradaban Islam,
Pustaka Seti: Bandung, 2008
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1 PT. Al Husna :
Jakarta, 1997
Yatim Badri Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada:
Jakarta, 1998
http://faidah-ilmu.blogspot.co.id/2011/01/harun-ar-rasyid-khalifah-yang-berhati.html
[2] Hidayat Siregar, Sejarah
Peradaban Islam Klasik, (Citapustaka Media Perintis:Bandung, 2010), 90
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2001), 49
[4] Syalabi. A, Sejarah
dan Kebudayaan Islam 1 (PT. Al Husna : Jakarta, 1997), 2
[5] Hidayat Siregar, Sejarah
Peradaban Islam Klasik, (Citapustaka Media Perintis:Bandung, 2010), 91
[6] Syalabi. A, Sejarah
dan Kebudayaan Islam 1 (PT. Al Husna : Jakarta, 1997)4-5
[7] Syalabi. A, Sejarah
dan Kebudayaan Islam , 5
[8] Hidayat Siregar, Sejarah
Peradaban Islam Klasik, (Citapustaka Media Perintis:Bandung, 2010), 92
[9] Munthoha, Pemikiran
dan Peradaban Islam, ( UII Press:Yogyakarta,1998), 41-42
[10] Ira Lapidus, Sejarah Sosialt Islam, (Jakarta :
Rajawali Press, 1999), 193
[12] Munthoha, Pemikiran
dan Peradaban Islam, ( UII Press:Yogyakarta,1998), 49
[13] Ibid, 50
[14] Ibid, 52
[15] Ibid,
53-54
[16] Taufik Abdullah,
Dkk., Ensiklopedi Tematis Duania Islam : Khilafah, (PT Ichtiyar Baru Van
Hoeve, 2003), 84.
[17] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam,( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), 83.
[18] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, 84
[19] Taufik Abdullah,
Dkk., Ensiklopedi Tematis Duania Islam : Khilafah, (PT Ichtiyar Baru Van
Hoeve, 2003), 84-85
[20] Dedi Supriyadi, Sejarah
Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia,2008), 137
[21] Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya ; Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1985), 75
[22] Harun Nasution,76
[23] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), 111
[24] Badri Yatim, 114
[25] Philip
K. Hitti, History Of The Arabs, From the Earliest Times to the Present
(cet. X; New York: Palgrave Macmillan, 2002), ter: R. Cecep Lukman Yasin
dan Dedi Slamet Riyadi, History of The Arabs (Cet I, Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta, 2014), 415
[28] Syalabi. A, Sejarah
dan Kebudayaan Islam 1 (PT. Al Husna : Jakarta, 1997),247
[31] Ibid, 428
[32] Faraq Fouda, Kebenaran Yanga Hilang, (Dar wa Matabi’
al-Mustaqbal, Aleksandria : Mesir, 2003), 143
[33] Faraq Fouda, Kebenaran Yanga Hilang, 144
[34] Faraq Fouda, Kebenaran Yanga Hilang, (Dar wa Matabi’ al-Mustaqbal, Aleksandria :
Mesir, 2003),117
[35] Philip K. Hitti, History Of The Arabs,
From the Earliest Times to the Present (cet. X; New York: Palgrave
Macmillan, 2002), ter: R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, History
of The Arabs (Cet I, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2014), 420
[37]http://faidah-ilmu.blogspot.co.id/2011/01/harun-ar-rasyid-khalifah-yang-berhatilembut.html