Jumat, 20 Mei 2016

PENDIDIKAN POLITIK ISLAM SEJARAH PEMIKIRAN DAN PENDIDIKAN POLITIK ERA DAWLAH ABBASIYAH




PENDIDIKAN POLITIK ISLAM
SEJARAH PEMIKIRAN DAN PENDIDIKAN POLITIK
ERA DAWLAH ‘ABBASIYAH

Oleh : Eri Rizaldi Dan Risna Agustina


A.        PENDAHULUAN

Dalam lintasan sejarah umat islam akan terlihat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayyah dengan bani Abbasiyah. Pemerintahan Bani Umayyah menguasai seluruh dunia islam dan berpusat didamaskus, karena mereka memegang politik kekeuasaan dan ekspansi. Sementara Bani Abbasiyah yang berpusat dibaghdad lebih mengutamakan pembinaan peradaban dan kebudayaan, tidak mengutamakan politik.
Pemerintahan Abbasiyah adalah berketurunan dari pada al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW pendiri kerajaan al-Abbas ialah Abdullah as-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas, dan pendirinya dianggap suatu kemenangan bagi idea yang dianjurkan oleh kalangan Bani Hasyim setelah kewafatan Rasulullah SAW, agar jabatan khalifah diserahkan kepada keluarga Rasul dan sanak saudaranya. Tetapi idea ini telah dikalahkan di zaman permulaan Islam, di mana pemikiran Islam yang sehat menetapkan bahwa jabatan khalifah itu adalah milik kepunyaan seluruh kaum Muslimin, dan mereka berhak melantik siapa saja antara kalangan mereka untuk menjadi ketua setelah mendapat dukungan. Tetapi orang-orang Parsi yang masih berpegang kepada prinsip tersebut, sehingga mereka berhasil membawah Bani Hasyim ke tampuk pemerintahan. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
Zaman pemerintahan Abbasiyah yang pertama merupakan puncak zaman sejarah Islam. Di zaman ini kaum Muslimin mulai berhubungan dengan kebudayaan-kebudayaan asing seperti kebudayaan parsia, kebudayaan hindu, dan kebudayaan Greek, dan telah menterjemahkan karya-karya penyelidikan yang terpenting kedalam bahasa arab. Walaupun banyak sumber-sumber asli yang diterjemahkan itu telah hilang, dan yang tertinggal hanya terjemahan-terjemahan dalam bahasa arab saja, namun terus terpelihara sebagai kebudayaan-kebudayaan yang amat tinggi tinggi nilainya.


B.        Sejarah Lahirnya Dinasti Abbasiyah

Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah melanjutkan kekuasaan Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah. pemerintahan abbasiyah adalah berketurunan dari pada al – abbas, paman Nabi SAW Pendiri kerajaan al – abbas, ialah Abdullah as – Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al – abbas.[1] Kemunculan pemerintahan Abbasiyah dianggap sebagai suatu kemenangan pemikiran dikalangan Bani Hasyim (Alawiyun) yang berpendapat setelah Rasulullah SAW wafat, keturunan beliau yang berhak diangkat untuk jabatan khalifah.
Pemikiran seperti itu mendapat tantangan diawal masa islam, yang berpendapat bahwa kekuasaan adalah hak semua kaum muslimin, siapapun berhak selama mampu memegang amanah sebagai khalifah.[2] Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,dari tahun 132 H (750 M) s. d 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.[3]
Pada pandangan publik umumya, golongan alawiyun adalah lebih dekat kepada Rasulullah SAW, karena kedudukan Fatimah yang menjadi anak baginda, dan juga karena kedudukan Ali yang menjadi sepupu dan menantu baginda. Kemudian karena keutamaan Ali yang telah memeluk agam islam lebih dahulu dari yang lain – lain serta perjuangannya yang terkenal untuk menegakkan islam. Tetapi golongan Abbasiyah setelah berkuasa lantas mengumumkan bahwa mereka lebih utama dari Bani Hasyim untuk mewarisi Rasulullah SAW karena moyang mereka adalah paman baginda dan pusaka peninggalan tidak boleh diperoleh oleh pihak sepupu, jika ada paman dan keturunan dari anak perempuan tidak mewarisi pusaka datuk dengan adanya pihak ‘ashabah.
Pada tahun 656 H, kaum tatar melanggar dunia islam, membunuh khalifah Abbasiyah serta kaum keluarganya dan mengumumkan berakhirnya pemerintahan Abasiyah. tempo yang begitu lama dinikmati oleh golongan Abbasiyah ketika memegang tampuk pemerintahan, tidak bearti bahwa kekuasaan para khalifahnya sama sejajar. Sebaliknya kekuasaan tersebut adalah berbeda-beda yang menyebabkan para pengkaji membagikan tempo pemerintahan Abbasiyah kepada beberapa priode.[4]
Secara garis besar bani Abbasiyah terbagi atas empat priode yaitu :  Priode pertama, pemerintahan berada ditangan khalifah yang terdiri dari orang-orang arab, pendiri abbasiyah (Arab):
1)       Abu Abbas al-Saffah 132-136 H/749-774M.
2)      Abu Ja’far al-Manshur 136-158H/753-774M.
3)      Abu Abdullah Muhammad al-Mahdi 158-169H/774-785M.
4)     Abu Musa al-Hadi 169 -170H/785-786M.
5)      Abu Ja’far Harun al-Rasyid 170-193H/786-808M.
6)      Abu Musa Muhammad al-Amin 193-198H/808-813M.
7)      Abu Ja’far Abdullah al-Ma’mun 198-218H/813-833M.
8)      Abu Ishak Muhammad al-Mu’tashim 218-227H/833-841M.
9)     Abu Ja’far Harun al-Watsiq 227-232H/841-846M.
10)   Abu Fadhl Ja’far al-Muttawakkil 232-247H/846-867M.[5]

Periode kedua, ini kekuasan politik berpindah dari tangan para khalifah kepada golongan ( kaum turki, Golongan Bani Buwaih dan Golongan Saljuq ).
1)       Abu Ja’far Muhammad al-Muntasir 247 H.
2)      Abu Abbas Ahmad al-Musta’in 248 H.
3)      Abu Abdullah Muhammad al-mu’taz 252 H.
4)     Abu Ishak Muhammad al-Muhtadi 255 H.
5)      Abu Abbas Ahmad al-Mu’tamid 256 H.
6)      Abu Abbas Ahmad al-Mu’tadhid 279 H.
7)      Abu Muhammad Ali al-Muktafi 289 H.
8)      Abdul  Fadhl Ja’far al-Muqtadir 295 H.
9)     Abu Mansur Muhammad al-Qahir 320 H.
10)   Abu Abbas Ahmad ar-Radhi 322 H.
11)    Abu Ishak Ibrahim Al-Muttaqi 329 H.
12)   Abu Qosim Abdullah al-Mustakfi 333 H.[6]

Periode ketiga, Apabila sultan-sultan bani Saljuq menjadi lemah, kerajaan mereka mulai mengalami keruntuhan dan pecah belah, dan segala urusan pemerintah diurus oleh sekelompok para pemerintah yang banyak diantaranya dikenali dengan gelar Syah dan Atbak. Adapun nama-nama khlaifaf pada priode ini ialah :
1)       Abu Qasim al-Mufadhdhal al-Muthi’ 333 H
2)      Abu Fadhl Abdul karim at-tha’I 334 H
3)      Abu Abbas Ahmad al-Qadir 381 H
4)     Abu Ja’far Abdulah al-Qa’im 422 H.[7]

Periode keempat, pemerintahan dikendalikan Saljuq, Khalifah hanya simbol, tidak memiliki kekuasaan sama sekali.
1)       Abul Qasim Abdullah al-Muqtadi 467-487 H/1075-1094 M.
2)      Abul Abbas Ahmad al-Mustazhir 487-512H/1094-1118 M.
3)      Abu Manshur al-fadl al-Mustarsyid 512-529 H/1118-1135 M.
4)     Abu Ja’far al-Mansur ar-Rasyid 529-530 H/1135-1136 M.
5)      Abu Abdullah Muhammad al-Muqtafi 503-555H/1136-1160M
6)      Abul Muzhaffar al-Mustanjid 555-566 H/1160-1170M.
7)      Abu Muhammad al-Hasan al-Mustadi’ 566-575H/1170-1179M
8)      Abu Abbas Ahmad an-Nashir 575-622 H/1179-1225M
9)     Abu Nasr Muhammad az-Zahir 622-623 H/1225-1226M
10)   Abu Ja’far al-Mansur al-Muntasir 623-640 H/1226-1242 M
11)    Abu Ahmad Abdullah al-Musta’shim 640-656H/1242-1258M.[8]

C.       Kemajuan Dinasti Abbasiyah

Puncak kejayaan daulah Abbasiyah terjadi pada masa Khalifah Harun al-Rasyid dan putranya, al-Ma’mun serta khalifah-khalifah sesudahnya hingga sampai masa Al-Mutawakkil. Pada masa Harun al-Rasyid, kekayaan negara yang banyak sebagian besar dipergunakan untuk mendirikan rumah sakit, membiayai pendidikan kedoteran dan farmasi. Sementara pada masa al-Ma’mun, digunakan untuk menggaji penterjemah dari golongan Kristen, Sabi, dan bahkan penyembah binatang untuk menterjemahkan buku bahasa asing kedalam bahasa arab serta mendirikan Bait al-Hikmah sebagai pusat penterjemah dan akademi yang dilengkapi dengan perpustakaan.[9]
Kemajuan peradaban Islam sebagian disebabkan oleh stabilitas politik dan kemajuan ekonomi kerajaan yang pusat kekuasaannya terletak di Baghdad. Adapun kemajuan peradaban Islam yang dibuat oleh Dinasti Abbasiyah ialah :
1.        Bidang Politik dan Pemerintahan
Kemajuan politik dan pemerintahan yang dilakukan oleh dinasti Abbasiyah ialah memindahkan pusat pemerintahan dari damaskus ke Baghdad. Kemudian dijadikannya sebagai pusat kegiatan politik ,ekonomi, sosial dan kebudayaan.[10]

2.       Ilmu Pengetahuan Dan Lembaga Pendidikan

Terjadinya asimilasi antara bahasa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra. Bangsa India terlihat dalam bidang ilmu kedokteran, matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan di berbagai bidang ilmu, terutama filsafat.
Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua, pada masa al-Makmun hingga tahun 300 H. Buku-buku dalam bidang filsafat dan kedokteran adalah yang paling banyak diterjemahkan. Fase ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Selanjutnya bidang-bidang ilmu lainnya yang diterjemahkan semakin meluas.[11]
Kemajuan ilmu pengetahuan pada masa dinasti Abbasiyah ialah ilmu pengetahuan agama. Maksudnya ialah ilmu-ilmu yang muncul ditengah-tengah suasana hidup keislaman berkaitan dengan agama dan bahasa Al-qur’an. Misalnya dalam bidang Ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu kalam dan ilm fiqh.[12]
a)      Ilmu Tafsir
Pada masa Abbasiyah ilmu tafsir mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan dilakukannya penafsiran secara sistematis, berangkai dan menyeluruh serta terpisah dari hadis. [13]
b)     Ilmu Hadis
Pada masa Abbasiyah, kegiatan dalam bidang pengkodifikasian hadis dilakukan pula denga giat sebagai kelanjutan dari usaha para ulama sebelumnya. Perlu diketahui bahwa pengkodifikasian hadis sebelum masa abbasiyah dilakukan tampa mengadakan penyaringan sehingga bercampur antara hadis Nabi saw dan yang bukan dari Nabi.
Sebelum penyaringan hadis dilakukan, sebenarnya imam malik telah menyusun kitabnya yang terkenal, al-Muwaththa’ yang telah tersusun secara bab per bab. Namun masih bercampur antara hadis Rasulullah, perkataan sahabat dan fatwa tabiin. Pada abad ke-3 H, para ulama islam mulai berusaha secara maksimal untuk menyeleksi dan menyaring hadis dengan melakukan pemilahan antara hadis yang sahih dengan yang daif, serta menjelaskan kulitas perawi hadisnya.[14]

c)  Ilmu Kalam
Ilmu kalam terlahir karena dorongan untuk membela islam dengan pemikiran-pemikiran filsafat dari serangan orang-orang Kristen Yahudi yang mempergunakan senjata filsafat, dan untuk mmemecahkan persoalan-persoalan agama dengan kemampuan akal pikiran dan ilmu pengetahuan.
Perkembangan ilmu kalam pada masa ini telah berjasa besar dalam upaya memelihara dan membentengi aqidah islam dengan menggunakan argumentasi manthiqi dan filosofis rasional.[15]
d) Ilmu Fiqh
Diantara kebanggaan zaman pemerintahan Abbasiyah pertama adalah terdapatnya empat imam mazhab fiqh yang ulung. Mereka adalah Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Keempat imam mazhab ini adalah merupakan para ulama fiqh yang paling agung dan tiada tandinginya didunia islam.


D.       Kemunduran Bani Abbasiyah

1)       Faktor Internal
1. Perbedaan Paham Para Ahli Teologi
        Intelektual dizaman daulah Abbasiyah diawali dengan berkembangnya perhatian pada dua sumber utama dalam islam yaitu Al-Qura’an dan Hadis. Dari dua sember utama inilah lalu lahir berbagai ilmu seperti halnya teologi. Teologi yang merupakan ilmu yang membahas tentang Tuhan, dan juga kedudukan manusia dalam kekuasaan mutlak Tuhan seperti kebebasan berkehendak, kedudukan akal dan lain-lain. Persoalan ini  melahirkan para ahli dengan berbagai ragam perbedaan-perbedaan pendapat mereka.
        Terbukti bahwa keberadaan berbagai macam pemikiran yang melahirkan aliran-aliran keagamaan menimbulkan polemik internal pada Pemerintahan Daulah Abbasiyah. Masing-masing para ahli dan ulama mengklaim bahwa pemikirannya adalah yang paling benar untuk dijadikan ideologi dalam pemerintahan. Seperti konflik yang terjadi antara Syi’ah dan Sunni. Pada masa Khalifah al-Mutawakkil (847-861M.),[16] beliau memerintahkan agar makam Husein di Karbela dihancurkan. Namun anaknya al-Muntashir (861-862 M.)  kembali memperkenankan orang Syi’ah  menziarahi makam Husein tersebut.[17] Bahkan al-Muntashir turut membantu dalam pembunuhan ayahnya (al-Mutawakkil) agar dia dapat menduduki jabatan khalifah. Namun baru 6 bulan dia menjadi khalifah, ia mati diracun oleh para jenderalnya sendiri.
        Demikian juga aliran Muktazilah yang pernah menjadi ideologi pemerintahan pada masa al-Makmun, Khalifah ke tujuh Daulah Abbasiyah.[18] Muktazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bidah oleh golongan salaf. Pada masa al-Mutawakkil, aliaran Muktazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan digantikan oleh aliran Salaf. Akan tetapi pada masa pemerintahan dipimpin oleh Bani Buwaih (945-1055 M). Muktazilah kembali menjadi ideologi negara. Dan pada periode berikutnya ketika pemerintahan dikuasai oleh suku Seljuk (1055-1258 M). Aliran Asy’ariyah menjadi ideologi pemerintahan setelah menyingkirkan aliran Muktazilah dengan dukungan para penguasa yang berpaham Asy’ariyah.
        Demikian juga konflik yang terjadi antara orang beriman dengan golongan Zindiq (Tidak Bertuhan) berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti  polemik tentang ajaran sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di antara kedua belah pihak.[19]

2. Perebutan Kekuasaan Di Pusat Pemerintahan
Sudah menjadi kewajiban bahwa setiap kekuasaan akan dipimpin oleh orang-orang yang berpengaruh secara bergantian, baik secara konstitusional ataupun pemberontakan bahkan pemaksaan. Daulah Abbasiyah, yang berkuasa sampai 5 abad, tak terlepas dari suksesi khalifah yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan dalam mengembangkan pemerintahan.
Pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah perebutan kekuasaan secara mencolok terlihat pada periode kedua dan seterusnya. Disini tidak ada usaha untuk merebut jabatan kekhalifahan dari Bani Abbas, yang ada adalah usaha merebut kekuasannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap di pegang oleh Bani Abbas. Hal ini terjadi karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi.
            3. Gaya Hidup Mewah Para Penguasa
        Puncak keemasan Daulah Abbasiyah terjadi pada periode pertama, kalaupun ada konflik politik yang terjadi tidaklah berakibat fatal bagi integritas pemerintahan karena para khalifah sebagai kepala pemerintahan dapat menyelesaikannya secara bijaksana. Masa keemasan ini terjadi dengan berkembangnya peradaban dan kebudayaan serta ilmu pengetahuan.
        Pada periode selanjutnya terjadilah perubahan kebiasaan para khalifah ke arah kehidupan yang serba mewah dan  berfoya-foya bahkan cenderung mencolok. Gaya hidup ini ditiru oleh para pejabat dan keluarga istana. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki untuk mengambil alih kendali pemerintahan. Dan secara bergantian kendali pemerintahan di pegang oleh suku-suku non arab yang bukan dari keturunan Bani Abbas.[20]
4. Dinasti-dinasti kecil yang Memerdekakan Diri (Disintegrasi)
Berbagai kemelut yang terjadi di dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah, menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Perekonomian negara mengalami penurunan karena tidak seimbangnya pendapatan negara dengan pengeluaran yang disebabkan oleh para pejabat yang bergaya hidup mewah serta kurangnya pendapatan pajak dari daerah.
Kondisi ini memberi peluang  kepada tentara profesional yang berasal dari suku non arab mengambil kendali pemerintahan. Sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka. Silih berganti mereka mengendalikan pemerintahan selama ± 400 tahun. Hingga akhirnya kelemahan pemerintahan terjadi yang menyebabkan terjadinya disintegrasi dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah.
Situasi ini menyebabkan lahirnya pemimpin yang berupaya mendirikan kerajaan baru di daerahnya dan terlepas dari pengaruh Abbasiyah seperti Daulah Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Marokko. Selain itu  gubernur yang awalnya merupakan jabatan yang diberikan khalifah, karena kedudukannya semakin kuat sementara khalifah di pusat pemerintahan semakin lemah, mengambil kesempatan untuk membuat kerajaan sendiri.
Disintegrasi memuncak pada daulah Abbasiyah ketika para khalifah menjadi boneka dalam tangan tentara pengawal. Daerah-daerah yang jauh letaknya dari pusat pemerintahan di Damaskus dan di Bagdad melepaskan diri dari kekuasaan khalifah di pusat dan bermunculanlah dinasti-dinasti kecil.
Golongan Syi’ah yang pada mulanya sekutu Bani Abbas, mulai melancarkan aksi penentangan terhadap pemerintahan. Di tahun 869 M timbul pemberontakan kaum Zanj di bawah pimpinan Ali Ibn Muhammad. Kaum Zanj adalah budak-budak yang didatangkan dari Afrika untuk bekerja di pertambangan di Irak. Dari tahun 870 M sampai 883 M kekuasaan Bani Abbas dikacau oleh pemberontakan Zanj ini.[21]
Gerakan lain adalah gerakan Qaramitah yang dimulai tahun 874 M oleh Hamdan Qarmat, seorang penganut faham Syi’ah Ismailiyah di Irak.  Mereka membentuk negara merdeka di Teluk Persia, yang kemudian menjadi pusat kegiatan mereka dalam menentang pemerintahan Daulah Abbasiyah. Di tahun 930 serangan mereka meluas sampai ke Mekkah. Sewaktu pulang mereka membawa lari al-Hajr al-Aswad  yang dikembalikan baru 20 tahun kemudian.[22]

            5. Kemerosotan Ekonomi
        Sejalan dengan kemunduran di bidang politik, Daulah Abbasiyah juga mengalami kemerosotan di bidang ekonomi. Pada periode awal Daulah Abbasiyah adalah kerajaan yang kaya dan yang masuk lebih besar dari dana yang keluar sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Yang berasal dari Pajak daerah kekuasaan dan pajak hasil bumi.
        Setelah khalifah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun, sementara pengeluran meningkat lebih besar. Hal ini disebabkan oleh makin sempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi pemberontakan yang mengganggu perekonomian, dan banyaknya dinasti-dinasti yang memerdekakan diri sehingga mereka tidak lagi membayar pajak ke pemerintahan.
        Faktor-faktor internal ini lebih banyak berperan sebagai faktor penyebab kehancuran kekhalifahan ketimbang faktor eksternal. Serangan bangsa Mongol kendati begitu dahsat  nyatanya cuma berperan sebagai senjata  pamungkas yang meruntuhkan kekhalifahan.

2)             Faktor EKternal

1. Perang Salib
Terjadinya perang salib adalah dipicu oleh rasa kebencian ummat kristen kepada ummat Islam. Puncak kebencian itu adalah ketika Daulah Abbasiyah di kuasai oleh bani Seljuk. Ketika Bani Seljuk berhasil merebut Bait al-Maqdis dari dinasti Fatimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan beberpa peraturan bagi ummat kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan ini dirasakan sangat menyulitkan mereka. Maka untuk mengambil kembali keleluasaan untuk berziarah ke tanah suci mereka itu, pada tahun 1095 M Paus Urbanus II berseru kepada ummat kristen di eropa supaya melakukan perang suci. Perang ini kemudian dikenal dengan nama Perang Salib.
Disebutkan bahwa Hulagu Khan sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen, Gereja-gereja kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam. Tentara Mongol setelah menghancur leburkan pusat-pusat  Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.
Akibat dari perang salib ini adalah kerugian yang dialami ummat Islam besar sekali karena perang salib terjadi di wilayah kekuasaan ummat Islam. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik ummat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian, mereka bukannya bersatu tapi malah terpecah belah. Banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Daulah Abbasiyah di Baghdad.

2. Serangan Bangsa Mongol            
Sebagai mana biasanya bangsa nomad, bangsa Mongol mempunyai watak yang kasar, suka berperang, dan berani menghadapi maut dalam mencapai keinginannya. Akan tetapi mereka sangat patuh kepada pimpinannya. Mereka menganut agama Syamaniah menyembah binatang-binatang dan sujut kepada matahari yang sedang terbit. Mereka menjadikan posisi wanita sama dengan laki-laki dalam tugas di medan perang. Kemajuan bangsa Mongol secara besar-besaran terjadi pada masa kepemimpinan Yasugi Bahadur Khan. [23]
Pada tahun 656H/1258M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad, khalifah al-Mu’tashim, penguasa terakhir Daulah Abbasiyah di Baghdad betul-betul tidak mampu membendung tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Pada saat krisis tersebut wazir khalifah Abbasiyah Ibnu al-Aqlami ingin mengambil kesempatan denganmenipu khalifah. Ia mengatakan kepada khalifah:”Saya telah menemui mereka untuk perjanjian damai. Raja Hulagu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakr putra khalifah. Dengan demikian Hulagu Khan akan menjamin posisimu. Ia tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap sultan-sultan Seljuk.[24]
Dengan pembunuhan yang kejam ini , berakhirlah kekuasaan Abbasiyah  di Baghdad. Kota Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan tanah. Akan tetapi walaupun sudah hancur Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun sebelum melanjutkan gerakannya ke Mesir dan Syiria.

E. Kehidupan keluarga Dan gaya Kehidupan Masyarakat
Sistem kesukuan premitif yang menjadi pola organisasi sosial arab paling mendasar runtuh pada masa dinasti Abbasiyah, yang didirikan dari berbagai unsur asing. Bahkan dalam persoalan memilih istri dan ibu untuk anak-anak mereka, para khalifah tidak menjadikan darah keturunan arab sebagai patokan Di antara keluarga Abbasiyah hanya tiga khalifah yang terlahir dari ibu yang merseka yaitu Abu al-Abbas,al-Mahdi, dan al-Amin yang terakhir memiliki keistimewaan karena ayah dan ibunya keturunan nabi.  [25]
Salah satu gaya hidup dan kebiasaan masyarakat pada priode abasiyah adalah berendam ditempat pemandian umum.  Tempat pemandian umum (hammâm) telah sedemikian populer, bukan saja untuk bersuci, tapi juga sebagai tempat untuk bersenang-senang dan bagian dari kemewahan.[26]
Hal lain yang bisa menunjukkan tingkat kemakmuran dan peradaban dimasa itu adalah pemanfaatan waktu luang. Misalnya catur (Syitranjâ) yang dimasyarakatkan pertama kali oleh al-Rasyîd dimasa kekhalifahannya. Begitupun panahan, polo ( juka>m, dari bahasa persia, Chawgan, yang berarti tongkat bengkok), bola dan pemukul (Sawlajân, mirip kriket dan hokey), lempar lembing (Jarîd), memelihara sekaligus melatih elang dan cheetah untuk berburu, lomba berkuda dan berburu. Al-Mu’tashim adalah salah seorang khalifah yang senang bermain polo.[27]
Pada masa kemundurannya, praktik perseliran secara berlebihan banyak dilakukan petinggi-petinggi pemerintahan, merosotnya moralitas seksual, berpoya-poya dalam kemewahan, posisi perempuan menukik tajam seperti yang disebutkan dalam kisah seribu satu malam, dan Minuman beralkohol sering disajikan dalam perjamuan-perjamuan.

F. Perbudakan dan Perseliran diera Bani Abbasiyah

Ada dua hal yang sangat dibenci islam, tetapi diharuskan terjadi, yaitu :
a.     perceraian ( talaq ) dan
b.    perbudakkan ( ar – riqqu )
Diantara keluaga Abbasiyah, hanya tiga khalifah yang terlahir dari ibu yang merdeka : Abû al-Abbâs,al-Mahdî dan al-Amîn.Ibu al-Manshûr adalah seorang budak Berber,ibu al-Ma’mûn adalah budak persia,ibu al-Watsîq dan al-Muhtadî berasal dari yunani,ibu al-muktafi dan muqtadir adalah budak dari turki dan ibu al-Mustadhi berasal dari armenia,ibu harun juga budak dari negri lain .
Asal mulanya perbudakkan, yaitu karena terjadi perperangan antara kerajaan (Daulah) islam dengan Negara non islam. Orang – orang tawanan (pria, wanita, dan anak – anak ) dianggap sama dengan harta rampasan, yang boleh diperjual – belikannya karena kebanyakan wanita – wanita tawanan dari Persia dan Romawi adalah cantik – cantik, maka mereka dikawini oleh para pembesar islam, sehingga istana – istana atau rumah – rumah gedung mereka penuh dengan jariyah – jariyah yang cantik jelita, yang kemudian pada suatu waktu rumah tempat para jariyah itu dinamakan harem.
Maka terjadilah perdagangan budak sangat ramai pada saat itu, tidak saja dalam daulah islamiyah, tapi juga dalam kerajaan – kerajaan lain, dan dikota bagdad terdapat satu jalan yang bernama syari Daar ar – Raqiq (jalan gedung budak). Oleh karena budak wanita yang akan diperjual – belikannya akan mendapat harga yang lebih tinggi kalau mereka bernyanyi, pandai menari, pandai merayu dan pandai serba pekerjaan sulam dan lukis, maka oleh para saudagar budak, diajarlah mereka dengan pengetahuan atau keahlian – keahlian tersebut. Dan terjadilah tempat – tempat pendidikan khusus bagi mereka. Dengan sebab itu, maka berkembanglah dalam kalangan para jariyah itu berbagai macam cabang kesenian campuran. Yang kemudian menjelma menjadi satu bentuk (corak) kesenian yang indah tersendiri.[28]
Para pembantu itu hampir semuanya budak yang direkrut secara paksa dari kalangan non muslim. Baik yang ditawan pada masa perang atau pada masa damai. Beberapa diantaranya adalah orang negro, dan ada juga orang kulit putih dan turki. Budak berkulit putih (mamâlik) kebanyakan kebangsaan yunani, Slavia, Armenia, dan Berber. Budak-budak yang bekerja di keputren adalah laki – laki yang telah dikebiri (khishyân). Budak – budak lainnya yang juga dikebiri, yang dikenal dengan sebutan Ghilmân. Yang menjadi kesayangan bagi tuannya, mengenakan busana yang mahal dan menarik, dan sering berhias dan mengahrumkan tubuh mereka mirip dengan prempuan. Para ghilmân ini muncul pada masa al-Rasyid.[29]
Gadis – gadis muda (jawâri) dalam kelompok budak biasanya menjadi penyanyi, penari, dan selir. Beberapa diantara mereka memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap khalifah yang menjadi tuan mereka. Dzât al-khâl (sang mata-mata) merupakan contoh budak semacam itu, yang dibeli oleh al-Rasyîd seharga 70.000 dirham dan dieserahkan kepada pembantu laki-lakinya. Setelah bersumpah akan memenuhi apapun permintaan prempuan itu, al-Rasyîd diriwayatkan mengangkat suami prempuan itu sebagai gubernur diparis selama tujuh tahun.
Agar tidak lagi tertarik dengan biduanita lain, istri al-Rasyîd, Zubaydah menghadiahi suaminya 10 gadis muda, yang salah seorang diantaranya menjadi ibu al-Ma’mûn, dan yang lainnya menjadi ibu al-Mu’tashim, kisah legendaris tentang Tawaddud, yaitu seorang budak prempuan yang cantik dan berbakat dalam kisah seribu satu malam ( malam ke437-462) yang hendak dibeli seharga 100.000 dinar oleh al-Rasyîd setelah ia lulus dengan sangat memuaskan didepan para sarjana kedokteran, hukum, astronomi, filsafat musik dan matematika, termasuk retorika, tata bahas, puisi, sejarah, dan al-qur’an melukiskan betapa tingginya peradaban para gadis muda itu.[30]
Gagasan tentang maraknya praktik perbudakkan bisa dilihat dari tingginya budak yang dimiliki oleh keluarga kerajaan. Diriwayatkan bahwa istana al-Mitaqdir (908-932) memiliki 11.000 laki-laki yunani dan sudan yang dikebiri. Al-Mutawakkil diriwayatkan memiliki 4.000 orang selir yang semuanya diajak tidur menemaninya. Pda suatu kesempatan al-Mutawakkil menerima sebuah hadiah sebanyak 100 budak dari salah satu jendralnya.
Telah menajdi tradisi bagi para gubernur dan jendral untuk mengirim hadiah, termasuk didalamnya para gadis yang direkrut secara suka rela atau paksa dari para penduduk, kepada khalifah atau wazir. Tidak member hadiah dinilai sebagai tanda pembrontakan. Al-Ma’mûn menggunakan para budak memata-matai penerimaanya yang ia curigai atau untuk menghabisinya jika diperlukan.[31]
Kini kita tiba pada pembahasan tentang fenomena yang jamakdilakukan oleh generasi pendahulu kita, yaitu soal poligami. Fenomena itu tidak hanya dianggap oleh secara agama, tetapi juga ditunjang oleh gaya hidup saat itu. Bahkan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, misalnya sangat tersohor dengan kebiasaanya menghimpun banyak istri. Dala sebuah riwayat dituturkan, bahwa ia menikahi 70 orang prempuan. Bahkan ada yang menyebutkan angka lebih, 90 orang. Ia biasanya menikahi empat orang, lalu ia mencerai empat lainnya dalam waktu bersamaan.

Kebiasaanya ini lantas diketahui oleh Ali bin Abi Thalib, dan ia khawatir justru akan merusak struktur sosial kesukuan masyarakat arab di kuffah lantaran terlalu banyak prempuan yang diceraikannya. Karena itu ia mengeluarkan seruan kepada waarga kuffah, “ wahai warga kuffah, jangan bersedia dinikahi Hasan, karena ia adalah situkang cerai ”. Namun seruan Ali tidak dipedulikan oleh kebanyakan warga kuffah, sebab setiap mereka terobsesi untuk menjadi bagian dari kelurga Rasulullah.[32]
Disampung itu, maraknya praktik poligami juga didorong oleh dua faktor penting lainnya. Kedua faktor ini telah membuka kesemptan kepada setiap peria dewasa untuk mereguk kenikmatan hidup dan hidup dalam kenikmatan. Faktor pertama tidak lagi diperselisihkan keabsahannya yaitu pergundikkan, meskipun orang-orang modern kini sudah tidak dapat menerima, bahkan tidak sanggup mempertimbangkannya. Sedangkan faktor kedua masih masih dalam perselisihan sengit diantara para ulama soal nikah kontrak atau mut’ah.
Faktor pertama, yaitu soal kepemilikan selir (járiyah) merupakan salah satu aspek yang terkait erat dengan sistem perbudakkan kala itu. Perlu diingat, tatkala islam datang, sistem perbudakan sudah merupakan bagian penting dari kehidupan bangsa arab. Islam tidak hadir untuk melarang maupun membenarkannya. Namun islam sangat menyarankan praktik pembebasan terhadap mereka (‘itqh raqabah). [33]
Secara sosial kepemilikan budak bersumber dari dua arah. Pertama, sistem perdagangan budak, dan kedua hasil pampas an perang. Dari sumber kedua inilah fenomena kepemilikan budak berkembang pesat dikalangan masyarakat arab pada masa awal impremium arab islam. Asal usul pkawasan para selir itupun bermacam-macam. Mereka berdatangan dari banyak bangsa sebagai konsekuensi dari proses penaklukkan-penaklukkan ke berbagai wilayah, sehingga ada gindik Romawi, Persia, dan Ethiopia.
Lantas perkembangan ini menyebabkan terjadinya surplus budak didalam masyarakat. Penawaran dipasaran budak melebihi permintaan. Dalam bahasa ekonomi, inilah kondisi ketika tingkat supply melebihi demand. Dan karena pesediaan selir melimpah-ruah, maka fenomena saling menghadiahi selir pun menjadi kebiasaan umum. Dari buku-buku sejarah kita dapat menemukan betapa mudahnya seorang member satu atau dua orang gundik sebagai bagian dari hadiah. Bahkan, sejarah mencatat bahwa Ali bin Abi Thalib pun, seorang khalifah yang paling asketis dalam hidupnya, wafat dengan meninggalkan 4 orang istri dan 19 orang selir.
Jumlah gundik-gundik ini semakin berkembang dalam sejarah imperium islam. Menjadi puluhan pada masa umayyah, mencapai ratusan pada masa Yazid bin Abdul Malik, dan menembus angka ribuan pada masa Abbasiyah. Bahkan menembus angka ribuan pada masa Abbasiyah. Yaitu mencapai angka 4.000 orang sebagaimana kita singgung dalam pembahasan tentang al-Mutawakkil. Khalifah ini konon meniduri 4.000 gundik selama seperempat abad masa kepemimpinannya tentu ini merupakan rekor tertinggi kepemimpinan gundik yang pernah tercatat dalam sejarah.


G. Citra Negatif Khalifah-Khalifah Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah tidak perlu diperkenalkan lagi.karena ia telah memperkenalkan dirinya dengan sendirinya lewat figur pendirinya al-Saffah(SiPenjagal),khalifah pertama Bani Abbasiyah.al-Saffah sungguh layak menyebut dirinya “Si Penjagal”.kepemimpinannya bermula bermula dari dua keputusan penting yang tidak ada taranya dalam sejarah.Tak ada orang setelah al-Saffah yang mampu menandingi apalagi melampaui “prestasi” kebengisannya.yaitu titahnya untuk mencari kuburan dan memburu apa yang tersisa dari jenazah para pemimpin bani Umayyah,melecut,menyalib,membakar,dan menabur abunya ke udara.sejarah mencatatkan apa yang berhasil ia temukan.[34]Kita mulai kisah ini dengan babak sinopsis sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Atsir.Disaat al-Saffah sedang melakukan perjamuan yang ramah terhadap Sulaiman bin Hisyam bin Abdul Malik,Sudaif sang penyair datang sembari melantunkan syairnya :
Jangan silau akan tampilan seorang
Jika sumsum simpan penyakit mematikan
Hunuskan pedang,sediakan lecutan
sampai tak tersisa keluarga Umayyah pun seorang

Kontan ,Sulaiman tertegun seketika,lalu berkata :” Anda benar-benar telah memnuhku,wahai Syekh (Sudaif) ! “ al-Saffah pun beranjak masuk keruang pribadinya sambil menarik Sulaiman. Ia menghabisi nyawanya.
Riwayat lain diawali tentang jaminan keamanan yang diberikan al-Saffah kepada Umayyah yang berjumlah lebih dari 90 orang.seting peristiwa masih tetap berada di tempat perjamuan makan yang sama.Dan sepanjang pembuat acara adalah khalifah,kemurahan hati dipastikan akan terjaga.Rasa aman pun tak pantas di sangka-sangka.tapisecaramengejutkan,seorangpenyair datang,memprovokasi pembalasan dendam.
al-saffah lalu memerintahkan untuk menghantam kepala semua mereka dengan pentungan besi.sebagian pecah kepala,tapi jasadnya tetap bernyawa,dalam kondisi yang mengenaskan.Tatkala al-Saffah menyaksikan sekitar 90 orang yang sedang meregang nyawa,ia meninggikan suara sambil menuturkan titah “ Gelar permadaniku untuk bersantap secara lesehan diatas mereka! Ia dan orang-orangnya memulai santapan malam,sementara permadani menari kekanan dan ke kiri.Tatkala permadani tidak lagi bergerak,mereka pun selesai dari kunyahan mereka sambil mengucap alhamdulillah dan tahniah kepada tentara dan kerabatnya.
Minum-minuman beralkohol sering dikonsumsi bareng-bareng atau sendiri-sendiri.berdasarkan kisah-kisah yang tidak terhitung jumlahnya tentang perjamuan dalam berbagai karya seperti Aghânî dan seribu satu malam,dan dari berbagai nyanyian,dan puisi yang memuji-muji arak minuman anggur (khamrîyát) oleh Abu Nuwas,khalifah sehari,Ibn al-Mu’tazz dan para penyair semasanya. Hukum haram yang menjadi salah satu ciri khas hukum islam,tidak lagi diterapkan seperti halnya amandemen konstitusi Amerika abad ke-18.Bahkan para khalifah,wazir,putra mahkota,dan para hakim tidak lagi peduli dengan ketentuan agama.para sarjana, penyair, penyanyi,dan musisi sering berkumpul bersama. Praktik ini, yang berasal dari persia,telah melembaga pada masa awal Dinasti Abbasiyah dan menjadi profesi pada masa harun al-rasyîd.selain al-Rasyid, al-Hadi,al-Amîn,al-Ma’mûn,al-Mu’tasim al-Watsîq,dan al-Mutawakkil terbiasa meminum arak.[35]
Pesta persahabatan yang menyajikan arak dan nyanyian menjadi hal yang lazim di jumpai.para biduanita yang berpartisipasi dalam perjamuan semacam itu kebanyakan adalah para budak tuna susila.gambaran tentang sebuah rumah khusus di kufah selama pemerintahan  al-Manshûr terdengar mirip sebuah cafe chantant,dengan Sallâma al-Zarqâ (bermata biru) sebagai ratunya.
Gagasan tentang maraknya praktik perbudakkan bisa dilihat dari tingginya budak yang dimiliki oleh keluarga kerajaan. Diriwayatkan bahwa istana al-Mitaqdir (908-932) memiliki 11.000 laki-laki yunani dan sudan yang dikebiri. Al-Mutawakkil diriwayatkan memiliki 4.000 orang selir yang semuanya diajak tidur menemaninya. Pda suatu kesempatan al-Mutawakkil menerima sebuah hadiah sebanyak 100 budak dari salah satu jendralnya.

Didalam kerajaan para pembantu hampir semuanya budak yang direkrut secara paksa dari kalangan non muslim,baik yang ditawan pada masa perang atau dibeli pada masa damai.budak-budak yang bekerja di keputren adalah laki-laki yang telah dikebiri (khishyân)budak-budak lainya yang juga dikebiri,yang dikenal dengan sebutan ghilmân menjadi kesayangan para tuannya,mengenakan busana yang mahal dan menarik,dan sering berhias dan mengharumkan tubuh mereka mirip perempuan.Dari sumber bacaan yang kita miliki,para ghilmân ini muncul pada masa harun al-Rasyid,namun al- Amîn adalah khalifah pertama yang mengikuti tradisi persia,dengan memperkenalkan praktik ghilmân ke dunia Arab untuk menyalurkan kebiasaan seksual yang tidak wajar.[36]
Kontribusi al- Amîn di antara nya adalah memperkenalkan korps pembantu perempuan,yang para anggotanya menampilkan rambut bergaya bob,berpakaian seperti laki-laki,dan mengenakan sorban sutera.Inovasi tersebut kemudian menjadi populer di kalangan masyarakat kelas tinggi maupun kelas rendah.seorang saksi mata melaporkan bahwa pada pesta minggu ketika ia memenuhi undangan al-Ma’mûn,ia menyaksikan 20 orang gadis muda Yunani,semuanya memakai hiasan,sedang menari mengenakan kalung salib emas dan melambaikan tangkai pohon zaitun dan daun kurma.uang sebesar 3.000 dinar untuk para penari itu menjadikan atraksi tersebut memikat hingga akhir.

H. Citra positif khalifah Abbasiyah
Dari wacana tentang banyaknya citra negatif para khalifah Abbasiyah, tentu pasti terdapat kepribadian yang positif yang ada pada diri khalifah yaitu diantanya Harun al-Râsyid.Ketika khalifah Harun ar-Rasyid selesai membangun salah satu istana yang megah, ia mengundang seorang penyair bernama Abul ‘Atahiyah datang ke istananya untuk membacakan syair-syairnya yang indah. Maka Abul ‘Atahiyah membacakan sebuah syair[37]:

Hiduplah sesuka hatimu
di bawah naungan megahnya istanamu;
Engkau mendapatkan apa yang engkau senangi
di waktu pagi maupun sore hari;
Namun jika tiba waktu sekaratnya jiwa
karena sempitnya nafas di dalam dada;
Saat itu barulah engkau sadari
bahwa engkau dalam kelalaian selama ini.”

Setelah mendengar syair tersebut, Harun ar-Rasyid langsung menangis tersedu-sedu.
Di lain kesempatan Harun ar-Rasyid memanggil Abul ‘Atahiyah lalu berkata : “Nasihatilah saya dengan sebuah syair.” Maka Abul ‘Atahiyah berkata[38] :
Janganlah engkau merasa selamat sekejap pun dari kematian
Walaupun engkau mempunyai para penjaga dan para pasukan;
Ketahuilah bahwa panah kematian pasti akan tepat sasaran
Meskipun seseorang berada dalam benteng perlindungan.”
Setelah mendengar syair itu, Harun ar-Rasyid langsung pingsan.
Demikianlah beberapa episode kehidupan Harun ar-Rasyid. Tidak seperti yang diceritakan dalam kisah-kisah dusta dalam buku dongeng berjudul Alfu Lailatin wa Lailah (cerita 1001 malam) yang menggambarkan Harun ar-Rasyid seorang yang gemar berfoya-foya dan bermaksiat.
Al-Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya al-Bidayah wan Nihayah  Jilid 14 menceritakan tentang khalifah Harun ar-Rasyid :
“Perjalanan bidupnya sangat mulia. Beliau seorang raja yang paling banyak berjihad dan menunaikan ibadah haji. Setiap hari beliau bersedekah dengan hartanya sendiri sebanyak seribu dirham. Jika beliau pergi haji maka ia juga menghajikan seratus ulama dan anak-anak mereka. Jika beliau tidak pergi haji maka ia menghajikan tiga ratus orang. Beliau sangat gemar bersedekah. Beliau mencintai ulama dan pujangga. Cincin beliau bertuliskan La ilaha Ilallah.”
Khalifah Harun ar-Rasyid wafat dalam peperangan di Khurasan pada tahun 193 Hijriah dalam usia 45 tahun. Ketika kabar kematiannya sampai ke telinga seorang ahli ibadah bernama Fudhail bin 'Iyadh, maka beliau berkata : “Tidak ada kematian seorang pun yang memuatku sangat terpukul melebihi kematian amirul mukminin Harun ar-Rasyid. Sungguh aku ingin seandainya Allah menambah umurnya dengan sisa umurku”. Perkataan Fudhail tadi

























KESIMPULAN

Dinasti Abbasiyah adalah pengubah peradaban dunia Islam setelah Dinasti Ummawiyah. Yakni selama lima abad, dari 750-1258 M. Dinasti ini pun berasal dari nama keluarga Bani Hasyim, yang seketurunan dengan nabi Muhammad SAW. Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan (pemerintahan) berkembang sebagai sistem politik. Pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Selama lima abad, pemerintahan ini pun ada 37 khalifah yang menjalankan amanah menjadi pemimpin muslimin. Pemerintahan Dinasti Abbasiyah dapat dibagi dalam dua periode. Periode I adalah masa antara tahun 750-945 M, yaitu mulai pemerintahan Abu Abbas sampai al-Mustakfi. Periode II adalah masa 945-1258 M, yaitu masa al-Mu’ti sampai al-Mu’tasim. Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Dinasti Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh wazir (perdana menteri) yang jabatannya disebut wizaraat. Wizaraat ini dibagi menjadi 2 yaitu: pertama, wizaraat tafwid (memliki otoritas penuh dan tak terbatas), periode Bani Abbasiyah membawa peradaban keemasan Islam di penjuru dunia. Sedangkan pada abad ke 10 M ini sistem kekhalifahan akhirnya menjadi terpecah menjadi tiga bagian, yakni Bagdad, Afrika Utara, dan Spanyol. Di Mesir, Muhammad ikhsyid berkuasa atas nama Bani Abbas. Di Halb dan Mousil, Bani Hamdan muncul, begitu pula di Yaman, syiah Zaydiyah semakin kuat dengan kelompoknya. Di Bagdad, bani Buhawiyah berkuasa secara de Facto dan menjalankan pemerintahan Bani Abbas, sehingga khalifah hanya tinggal nama saja. Faktor-faktor yang menjadi sebab kemunduran Dinasti Abbasiyah adalah: 1. Faktor internal, dari keluarga khalifah, untuk merebutkan kekuasaan. 2. Kehilangan kendali dan munculnya dinasti-dinasti kecil. Dengan ketidak seimbangnya kekuasaan dalam negeri maka tibalah pasukan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan, menumbangkan Dinasti Abbasiyah. Sehingga runtuhlah Dinasti yang telah berkibar selama lima Abad









DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Taufik, Ensiklopedi Tematis Duania Islam : Khilafah, PT Ichtiyar Baru Van Hoeve, 2003

Fouda Faraq, Kebenaran Yanga Hilang, Dar wa Matabi’ al-Mustaqbal, Aleksandria : Mesir, 2003

Hitti Philip, History Of  The Arabs, From the Earliest Times to the Present (cet. X; New York: Palgrave Macmillan, 2002), ter: R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, History of The Arabs, PT Serambi Ilmu Semesta, 2014

 Lapidus ira, Sejarah Sosialt Islam, Rajawali Press: Jakarta, 1999

Munthoha, Pemikiran dan Peradaban Islam, UII Press:Yogyakarta, 1998

Nasution Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya ; Jilid I, UI Press: Jakarta, 1985

Siregar Hidayat, Sejarah Peradaban Islam Klasik, Citapustaka Media Perintis:Bandung, 2010

Supriadi Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Seti: Bandung, 2008

Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1 PT. Al Husna : Jakarta, 1997

Yatim Badri Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1998

http://faidah-ilmu.blogspot.co.id/2011/01/harun-ar-rasyid-khalifah-yang-berhati.html




[1] Syalabi. A, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1 (PT. Al Husna : Jakarta, 1997), 1
[2] Hidayat Siregar, Sejarah Peradaban Islam Klasik, (Citapustaka Media Perintis:Bandung, 2010),  90
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 49
[4] Syalabi. A, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1 (PT. Al Husna : Jakarta, 1997), 2
[5] Hidayat Siregar, Sejarah Peradaban Islam Klasik, (Citapustaka Media Perintis:Bandung, 2010), 91
[6] Syalabi. A, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1 (PT. Al Husna : Jakarta, 1997)4-5
[7] Syalabi. A, Sejarah dan Kebudayaan Islam , 5
[8] Hidayat Siregar, Sejarah Peradaban Islam Klasik, (Citapustaka Media Perintis:Bandung, 2010), 92
[9] Munthoha, Pemikiran dan Peradaban Islam, ( UII Press:Yogyakarta,1998), 41-42
[10] Ira Lapidus, Sejarah Sosialt Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 1999), 193
[11] Dr. Badri Yatim M.A, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 55-56.
[12] Munthoha, Pemikiran dan Peradaban Islam, ( UII Press:Yogyakarta,1998), 49
[13] Ibid, 50
[14] Ibid, 52
[15] Ibid, 53-54
[16] Taufik Abdullah, Dkk., Ensiklopedi Tematis Duania Islam : Khilafah, (PT Ichtiyar Baru Van Hoeve, 2003), 84.
[17] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), 83.
[18] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 84
[19] Taufik Abdullah, Dkk., Ensiklopedi Tematis Duania Islam : Khilafah, (PT Ichtiyar Baru Van Hoeve, 2003), 84-85
[20] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia,2008), 137
[21] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya ; Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1985), 75
[22] Harun Nasution,76
[23]  Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), 111
[24] Badri Yatim, 114
[25] Philip K. Hitti, History Of  The Arabs, From the Earliest Times to the Present (cet. X; New York: Palgrave Macmillan, 2002), ter: R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, History of The Arabs (Cet I, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2014), 415
[26] Philip K. Hitti, History Of  The Arabs, 422
[27] Philip K. Hitti, History Of  The Arabs, 424
[28] Syalabi. A, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1 (PT. Al Husna : Jakarta, 1997),247
[29] Philip K. Hitti, History Of  The Arabs, 426
[30] Philip K. Hitti, History Of  The Arabs , 427
[31] Ibid, 428
[32] Faraq Fouda, Kebenaran Yanga Hilang, (Dar wa Matabi’ al-Mustaqbal, Aleksandria : Mesir, 2003), 143
[33] Faraq Fouda, Kebenaran Yanga Hilang, 144
[34] Faraq Fouda, Kebenaran Yanga Hilang, (Dar wa Matabi’ al-Mustaqbal, Aleksandria : Mesir, 2003),117
[35] Philip K. Hitti, History Of  The Arabs, From the Earliest Times to the Present (cet. X; New York: Palgrave Macmillan, 2002), ter: R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, History of The Arabs (Cet I, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2014), 420
[36] Philip K. Hitti, History Of  The Arabs,426
[37]http://faidah-ilmu.blogspot.co.id/2011/01/harun-ar-rasyid-khalifah-yang-berhatilembut.html

[38] http://faidah-ilmu.blogspot.co.id/2011/01/harun-ar-rasyid-khalifah-yang-berhati.html