Selasa, 09 November 2021

Orang Tua Kita, Idolah Kita


 

“Orang Tua Kita, Idolah Kita”

 

                Seorang anak kecil tiba-tiba datang menghampiri bapak gurunya. Ia bertanya pada gurunya : “Pak, saya sekarang ini membawa seekor anak ayam, yang saya taruh dibelakang punggung saya. Tahukah bapak, apakah anak ayam yang saya pegang ini, hidup atau mati ?”.

                Demikian sebuah pertanyaan yang tiba-tiba diajukan oleh seorang anak kecil yang ditujukan kepada gurunya. Bapak guru senior itu terdiam sejenak dengan pertanyaan yang tiba-tiba tersebut. Apa maksud muridnya, sehingga begitu datang ia bertanya akan sesuatu yang aneh tersebut ?

                Guru tersebut berfikir, apakah muridnya itu sekedar bertanya, ataukah ada sesuatu yang melatarbelakanginya? Namun setelah berdiam beberapa saat, sang guru menjawab dengan jawaban yang cukup bijak.

                Guru: “ Nak apa maksud pertanyaanmu ? Wah, begitu cerdasnya engkau nak ! kalau aku jawab anak ayam itu hidup, pastilah engkau akan membunuhnya dengan genggamanmu yang kuat itu. Tetapi apabila aku jawab bahwa anak ayam itu mati, tentulah akan engkau biarkan hidup anak ayam itu”.

                Murid: “ maaf guru, jadi apa yang saya tanyakan ini tidak ada jawabannya?”          

                Guru: “ oh, tentu ada jawabannya anakku ! sebenarnya apa yang kamu tanyakan itu, adalah sebuah nasehat untuk dirimu sendiri. Ketahuilah bahwa hidup dan matimu dalam berkarir, sukses dan gagalmu dalam meniti kehidupan ini sepenuhnya ada di tanganmu. Engkaulah menghendakinya.

إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.                (Q.S Ar Ra’d : [13] 11)

 

                Itulah sekedar dialog “kebetulan” dari seorang murid dan seorang guru yang bijaksana. Saya mendengar cerita ini                 ketika mengikuti sebuah pelatihan sekitar tahun 1980an.

                Sebuah gambaran betapa seorang tua haruslah selalu bijaksana dalam berdialog dengan anak-anaknya. Zaman sekarang ini, rupanya telah memberikan dampak yang cukup positif bagi intelektual anak-anak kita.

                Saya masih teringat ketika masih kecil, pertanyaan yang kita ajukan kepada orangtua kita, sungguh sangat biasa. Tidak ada muatan intelektualnya. Tidak ada nilai kritisnya. Tetapi sekarang ini para orangtua akan menghadapi anak-anaknya yang sangat kritis dalam bertanya maupun menjawab persoalan.

                Karenanya, sebagai orangtua kita harus memiliki nilai lebih. Baik dalam hal kesabaran, kearifan maupun ketawadhu’an. Agar dihadapan anak-anaknya orangtua akan tetap mempunyai kewibawaan. Baik kewibawaan akhlak atau budi pekerti maupun kewibawaan dalam hal menjalankan perintah-perintah agama yang akan di anut oleh anak-anaknya.

                Sehingga orangtua akan menjadi primadona atau menjadi idola bagi sang anak. Dan insya Allah anak-anak pun akan selalu menghargai jerih payah orangtuanya sampai kapanpun.

                Beberapa tahun yang lalu, ketika saya naik bus ke surabaya, disebelah saya duduk seorang ibu yang sudah berumur enam puluh tahun. Badannya masih tampak sehat. Raut mukanya selalu berseri. Sehingga beliau kelihatan lebih muda dibanding usianya.

                Setelah agak lama kami duduk bersebelahan, rasanya tidak enak juga kalau tidak saling bertegur sapa. Akhirnya setelah berbasa basi, kami terlibat dalam perbincangan  yang menarik. Sebagai seorang tua beliau banyak bercerita tentang kehidupannya yang cukup sukses dalam mendidik anak-anaknya.

                Saya menjadi semakin tertarik, apalagi waktu itu anak saya baru berumur satu tahun. Sehingga cerita dan pengalaman tentang mendidik anak, sungguh akan sangat mengesankan.

 

                Dari perbincangan sana sini itu ada beberapa point yang benar-benar merasuk dalam hati saya, sehingga selalu saya ingat untuk seterunya.

 

                Kata beliau : “ Seorang anak itu, setinggi apapun ilmunya, apakah sudah lulus S1, ataukah S2, atau bahkan sudah S3 ,ia tetap kalah dengan orang tua yang telah mendidiknya sejak kecil”.

                 Lanjut beliau : “ Jika seorang anak mengantongi ijazah S1 ,maka sebenarnya orang tuanya telah mengantongi ijazah S2. Kalau sang anak sudah S2, orang tuanya minimal sudah pada tingkatan S3. Demikian pula jika sang anak bisa selesai program S3 nya, sebenarnya orang tuanya telah mencapai ‘Guru Besar’ saya cukup terkesima dengan pendapatnya yang sangat brilian itu.

                Sungguh sangat masuk di akal. Tetapi memang agak aneh juga pendapat itu. Katanya seterusnya, orang tua selalu lebih pintar, dan lebih tinggi ilmunya daripada anaknya. Kalau ada orang tua yang berhasil menyekolahkan anaknya, maka sebenarnya itulah ‘ijazah dari kepintarannya”.

                Saya bertambah tertarik dengan ungkapan-ungkapannya           yang sangat dalam. Saya pun trenyuh dengan ucapannya. Sebab saya sendiri menjadi mengenang masa lalu saya ketika masih ditunggui oleh ayah ibunda. Begitulah masing-masing diri kita.

                Kita semua mungkin menyadari, bahwa ketika selesai menjadi sarjana, baik strata satu, maupun strata dua, atau bahkan pada jenjang strata tiga, kiranya ketinggalan ilmu yang kita dapatkan ternyata, ‘biasa-biasa’ saja. Tidak akan melebihi ilmunya orang tua kita.

                Mengapa? Sebab para orang tua kita begitu hebat usahanya. Mereka berupaya tak kenal lelah sepanjang umur kita. Jika kita berumur 10 tahun selama itu pula orang tua kita berdoa dan berusaha demi kita. Jika kita berumur 40 tahun pun beliau tak henti-hentinya tetap berdo’a dan berusaha demi keberhasilan anak-anak tercintanya.

                Usaha   yang dilakukan orangtua untuk membuat kita sukses, sungguh di luar dugaan. Kita sebagai anak saat itu hanya menjalani hidup dengan mengalir begitu saja. Padahal untuk itu, semua orangtua kita mengorbankan apa yang bisa dilakukannya.

                Mungking berhutang, mungkin menggadaikan barang, atau mungkin akan menjual barang meskipun terhadap barang yang dicintainya sekalipun.

                Dan yang lebih hebat, usahanya adalah usaha do’a yang tak kenal waktu. Kapan saja ada waktu disitulah orangtua kita berdo’a untuk kita, bahkan juga untuk anak-anak kita.

                Perjuangan tak kenal waktu itulah mungkin yang dikatakan oleh ibu di dalam bus tadi sebagai usaha yang prestasinya lebih tinggi dari gelar akademik apapun.

                Lalu Sebagai anak. Apa yang bisa kita berikan kepada orangtua kita itu? Merekalah guru-guru kita yang luarbiasa hebatnya. Yang luarbiasa cintanya. Yang luarbiasa kepeduliannya. Dan yang luarbiasa bijaknya.

                Sekarang ini, kalaulah kita sudah menjadi orang tua yang memiliki keluarga dan anak, ingatlah bahwa diri kita juga masih tetap sebagai seorang anak, yang tetap akan didoa’kan oleh orangtua kita. Mungkin hari ini mereka sudah tua atau sedang menunggu kita di alam keabadian sana. Dialah idola kita yang sesungguhnya.

                Kalau kita menginginkan anak-anak kita kelak akan menjadikan diri kita sebagai idolanya, mari kita berbuat sebagai anak yang shalih, yang selalu berdo’a untuk kedua orangtua kita...!

وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunyamengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".(Q.S Al Ahqaf [46] : 15 ).

 

 

 

 

 

Sumber : 24 Jam Bersama Allah

 Oleh HM  Taufik Djafri                                                                                                              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar