“Orang
Tua Kita, Idolah Kita”
Seorang anak kecil tiba-tiba
datang menghampiri bapak gurunya. Ia bertanya pada gurunya : “Pak, saya
sekarang ini membawa seekor anak ayam, yang saya taruh dibelakang punggung
saya. Tahukah bapak, apakah anak ayam yang saya pegang ini, hidup atau mati ?”.
Demikian sebuah pertanyaan yang
tiba-tiba diajukan oleh seorang anak kecil yang ditujukan kepada gurunya. Bapak
guru senior itu terdiam sejenak dengan pertanyaan yang tiba-tiba tersebut. Apa
maksud muridnya, sehingga begitu datang ia bertanya akan sesuatu yang aneh
tersebut ?
Guru tersebut berfikir, apakah
muridnya itu sekedar bertanya, ataukah ada sesuatu yang melatarbelakanginya? Namun
setelah berdiam beberapa saat, sang guru menjawab dengan jawaban yang cukup
bijak.
Guru: “ Nak apa maksud
pertanyaanmu ? Wah, begitu cerdasnya engkau nak ! kalau aku jawab anak ayam itu
hidup, pastilah engkau akan membunuhnya dengan genggamanmu yang kuat itu. Tetapi
apabila aku jawab bahwa anak ayam itu mati, tentulah akan engkau biarkan hidup
anak ayam itu”.
Murid: “ maaf guru, jadi apa
yang saya tanyakan ini tidak ada jawabannya?”
Guru: “ oh, tentu ada
jawabannya anakku ! sebenarnya apa yang kamu tanyakan itu, adalah sebuah nasehat
untuk dirimu sendiri. Ketahuilah bahwa hidup dan matimu dalam berkarir, sukses
dan gagalmu dalam meniti kehidupan ini sepenuhnya ada di tanganmu. Engkaulah
menghendakinya.
إِنَّ
اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri. (Q.S
Ar Ra’d : [13] 11)
Itulah
sekedar dialog “kebetulan” dari seorang murid dan seorang guru yang bijaksana.
Saya mendengar cerita ini ketika
mengikuti sebuah pelatihan sekitar tahun 1980an.
Sebuah
gambaran betapa seorang tua haruslah selalu bijaksana dalam berdialog dengan
anak-anaknya. Zaman sekarang ini, rupanya telah memberikan dampak yang cukup
positif bagi intelektual anak-anak kita.
Saya
masih teringat ketika masih kecil, pertanyaan yang kita ajukan kepada orangtua
kita, sungguh sangat biasa. Tidak ada muatan intelektualnya. Tidak ada nilai
kritisnya. Tetapi sekarang ini para orangtua akan menghadapi anak-anaknya yang
sangat kritis dalam bertanya maupun menjawab persoalan.
Karenanya,
sebagai orangtua kita harus memiliki nilai lebih. Baik dalam hal kesabaran,
kearifan maupun ketawadhu’an. Agar dihadapan anak-anaknya orangtua akan tetap
mempunyai kewibawaan. Baik kewibawaan akhlak atau budi pekerti maupun
kewibawaan dalam hal menjalankan perintah-perintah agama yang akan di anut oleh
anak-anaknya.
Sehingga
orangtua akan menjadi primadona atau menjadi idola bagi sang anak.
Dan insya Allah anak-anak pun akan selalu menghargai jerih payah orangtuanya
sampai kapanpun.
Beberapa
tahun yang lalu, ketika saya naik bus ke surabaya, disebelah saya duduk seorang
ibu yang sudah berumur enam puluh tahun. Badannya masih tampak sehat. Raut
mukanya selalu berseri. Sehingga beliau kelihatan lebih muda dibanding usianya.
Setelah
agak lama kami duduk bersebelahan, rasanya tidak enak juga kalau tidak saling
bertegur sapa. Akhirnya setelah berbasa basi, kami terlibat dalam perbincangan yang menarik. Sebagai seorang tua beliau
banyak bercerita tentang kehidupannya yang cukup sukses dalam mendidik
anak-anaknya.
Saya
menjadi semakin tertarik, apalagi waktu itu anak saya baru berumur satu tahun.
Sehingga cerita dan pengalaman tentang mendidik anak, sungguh akan sangat
mengesankan.
Dari
perbincangan sana sini itu ada beberapa point yang benar-benar merasuk dalam
hati saya, sehingga selalu saya ingat untuk seterunya.
Kata
beliau : “ Seorang anak itu, setinggi apapun ilmunya, apakah sudah lulus S1,
ataukah S2, atau bahkan sudah S3 ,ia tetap kalah dengan orang tua yang telah
mendidiknya sejak kecil”.
Lanjut beliau : “ Jika seorang anak
mengantongi ijazah S1 ,maka sebenarnya orang tuanya telah mengantongi ijazah
S2. Kalau sang anak sudah S2, orang tuanya minimal sudah pada tingkatan S3. Demikian
pula jika sang anak bisa selesai program S3 nya, sebenarnya orang tuanya telah
mencapai ‘Guru Besar’ saya cukup terkesima dengan pendapatnya yang sangat
brilian itu.
Sungguh
sangat masuk di akal. Tetapi memang agak aneh juga pendapat itu. Katanya
seterusnya, orang tua selalu lebih pintar, dan lebih tinggi ilmunya daripada
anaknya. Kalau ada orang tua yang berhasil menyekolahkan anaknya, maka
sebenarnya itulah ‘ijazah dari kepintarannya”.
Saya
bertambah tertarik dengan ungkapan-ungkapannya yang sangat dalam. Saya pun trenyuh dengan ucapannya.
Sebab saya sendiri menjadi mengenang masa lalu saya ketika masih ditunggui oleh
ayah ibunda. Begitulah masing-masing diri kita.
Kita
semua mungkin menyadari, bahwa ketika selesai menjadi sarjana, baik strata
satu, maupun strata dua, atau bahkan pada jenjang strata tiga, kiranya
ketinggalan ilmu yang kita dapatkan ternyata, ‘biasa-biasa’ saja. Tidak akan
melebihi ilmunya orang tua kita.
Mengapa?
Sebab para orang tua kita begitu hebat usahanya. Mereka berupaya tak kenal
lelah sepanjang umur kita. Jika kita berumur 10 tahun selama itu pula orang tua
kita berdoa dan berusaha demi kita. Jika kita berumur 40 tahun pun beliau tak
henti-hentinya tetap berdo’a dan berusaha demi keberhasilan anak-anak
tercintanya.
Usaha
yang dilakukan orangtua untuk
membuat kita sukses, sungguh di luar dugaan. Kita sebagai anak saat itu hanya
menjalani hidup dengan mengalir begitu saja. Padahal untuk itu, semua orangtua
kita mengorbankan apa yang bisa dilakukannya.
Mungking
berhutang, mungkin menggadaikan barang, atau mungkin akan menjual barang
meskipun terhadap barang yang dicintainya sekalipun.
Dan
yang lebih hebat, usahanya adalah usaha do’a yang tak kenal waktu. Kapan saja
ada waktu disitulah orangtua kita berdo’a untuk kita, bahkan juga untuk
anak-anak kita.
Perjuangan
tak kenal waktu itulah mungkin yang dikatakan oleh ibu di dalam bus tadi
sebagai usaha yang prestasinya lebih tinggi dari gelar akademik apapun.
Lalu
Sebagai anak. Apa yang bisa kita berikan kepada orangtua kita itu? Merekalah
guru-guru kita yang luarbiasa hebatnya. Yang luarbiasa cintanya. Yang luarbiasa
kepeduliannya. Dan yang luarbiasa bijaknya.
Sekarang
ini, kalaulah kita sudah menjadi orang tua yang memiliki keluarga dan anak,
ingatlah bahwa diri kita juga masih tetap sebagai seorang anak, yang tetap akan
didoa’kan oleh orangtua kita. Mungkin hari ini mereka sudah tua atau sedang
menunggu kita di alam keabadian sana. Dialah idola kita yang sesungguhnya.
Kalau
kita menginginkan anak-anak kita kelak akan menjadikan diri kita sebagai
idolanya, mari kita berbuat sebagai anak yang shalih, yang selalu berdo’a untuk
kedua orangtua kita...!
وَوَصَّيْنَا
الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ
كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ
وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ
الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا
تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ
الْمُسْلِمِينَ
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua
orang ibu bapaknya, ibunyamengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya
dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh
bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun
ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang
telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat
berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan
(memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau
dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".(Q.S
Al Ahqaf [46] : 15 ).
Sumber
: 24 Jam Bersama Allah
Oleh HM
Taufik Djafri

Tidak ada komentar:
Posting Komentar