Kamis, 16 Januari 2020

SEJARAH PENDIDIKAN DAN PEMIKIRAN POLITIK ERA RASULULLAH DI MEKAH


PENDIDIKAN POLITIK ISLAM
SEJARAH PENDIDIKAN DAN PEMIKIRAN POLITIK ERA RASULULLAH DI MEKAH

Oleh : Ahmad Hamdani dan Nurhidayah

A.     PENDAHULUAN
Kota Mekkah merupakan kota yang sangat bersejarah sepanjang lahirnya Islam hingga berjaya dan tersebarnya keseluruh penjuru dunia. Bagaimana tidak, dakwah Rasulullah SAW yang berbenderakan Islam, lahir dan mulai berkembang di dua kota tersebut.
Hadirnya Nabi Muhammad pada masyarakat Arab membuat terjadinya kristalisasi pengalaman baru dalam dimensi ketuhanan yang mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat, termasuk hukum-hukum yang digunakan pada masa itu. Berhasilnya Nabi Muhammad SAW dalam memenangkan kepercayaan yang dianut bangsa Arab. Dalam waktu yang relatif singkat beliau mampu memodifikasi jalan hidup orang-orang Arab. Hadirnya Nabi Muhammad, sedikit demi sedikit merubah budaya-budaya yang tidak memanusiakan manusia dalam artian budaya yang mengarah pada keburukan menjadi budaya-budaya yang mengarah kepada kebaikan dalam payung Islam. Budaya-budaya yang mengarah kebaikan yang dibawa Nabi Muhammad pada akhirnya menghasilkan peradaban yang luar biasa pada zamannya. Yang mana muara dari peradaban itu semua ialah Islam. Islam sangat berperan penting dalam menciptakan peradaban yang luar biasa yang tercipta pada masa zaman Nabi Muhammad. Dan aktor penting di balik itu semua tidak lain ialah Nabi Muhammad sendiri. Nabi Muhammad tidak hanya sebagai Nabi melainkan juga sebagai pengajar, pendidik, pemimpin, pemimpin militer, politikus, reformis, dan lain-lain.
Kebudayaan Islam periode Nabi Muhammad saw terbagi menjadi dua periode, yakni periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah dimulai dengan diangkatnya beliau menjadi Nabi dan Rasul.
Periode Mekkah, Rasulullah saw berdakwah menegakkan tauhid dan dasar-dasar islam. Karena kentalnya masyarakat Mekkah dengan agama nenek moyang mereka dan keengganan mereka meninggalkan sesembahan mereka. Sehingga Rasulullah banyak mendapatkan kecaman dan siksaan selama berdakwah di Mekkah.
Nabi Muhammad mendapatkan wahyu dari Allah SWT, yang isinya menyeru manusia untuk beribadah kepadanya, mendapat tantangan yang besar dari berbagai kalangan Quraisy. Hal ini terjadi karena pada masa itu kaum Quraisy mempunyai sesembahan lain yaitu berhala-berhala yang dibuat oleh mereka sendiri. Karena keadaan yang demikian itulah, dakwah pertama yang dilakukan di Makkah dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, terlebih karena jumlah orang yang masuk Islam sangat sedikit. Keadaan ini berubah ketika jumlah orang yang memeluk Islam semakin hari semakin banyak, Allah pun memerintah Nabi-Nya untuk melakukan dakwah secara terang-terangan.
Sejarah dan perjuangan dakwah Nabi SAW dalam menyampaikan risalah dari Allah SWT sejak diutusnya menjadi Rasul di usia 40 tahun di kota Makkah hingga wafatnya di usia 63 tahun di kota Madinah, mengandung banyak hikmah, pelajaran dan contoh bagi setiap umat, lebih-lebih bagi para penerus perjuangan dakwah Nabi SAW, yaitu para ulama dan  pejuang Islam.
B.      MEKKAH : KOTA PERDAGANGAN
Secara geografis, negara Arab digambarkan seperti empat persegi panjang (bujur sangkar) yang berakhir di Asia Selatan yang terletak di barat daya Asia.[1] Negara Arab dikelilingi berbagai negara; sebelah utara oleh syiria, sebelah timur oleh Nejd, sebelah selatan oleh Yaman, dan sebelah barat oleh Laut Erit.[2]
Bangsa Arab Kuno terbagi menjadi dua,[3] yaitu orang-orang kota (ahl al-hadarah/town people) dan orang-orang padang pasir (ahl al-badriyah/the desert dwellers). Orang Arab kuno dimulai pada masa-masa kuno Arab Modern. Lebih lanjut, Ahmad Hashori menjelaskan bahwa penduduk Arab kuno adalah penduduk fakir miskin yang hidup di pinggiran desa terpencil. Mereka senang berperang, membunuh, dan kehidupannya bergantung pada bercocok tanam dan turunnya hujan. Mereka juga berpegang pada aturan qabilah atau suku dalam kehidupan sosial. Adapun penduduk Arab Kota (Madani) adalah orang-orang yang melakukan perdagangan dan sibuk dengan bepergian. Mereka juga berpegang teguh pada aturan kabilah atau suku.[4]
Perdagangan merupakan unsur penting dalam perekonomian masyarakat Arab pra Islam. Mereka telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga dengan  non-Arab. Kemajuan perdagangan bangsa Arab pra Islam dimungkinkan antara lain karena pertanian yang telah maju. Kemajuan ini ditandai dengan adanya kegiatan ekspor-impor yang mereka lakukan. Para pedagang Arab Selatan dan Yaman pada 200 tahun menjelang Islam lahir telah mengadakan transaksi dengan Hindia, Afrika, dan Persia. Komoditas ekspor Arab Selatan dan Yaman adalah dupa, kemenyan, kayu gaharu, minyak wangi, kulit binatang, buah kismis, dan anggur. Sedangkan yang mereka impor dari Afrika adalah kayu, logam, budak; dari Hindia adalah gading, sutra, pakaian dan pedang; dari Persia adalah Intan.[5]
Faktor-faktor yang mendorong kemajuan perdagangan Arab Pra Islam adalah sebagai berikut :[6]
a)      Kemajuan produksi lokal serta kemajuan aspek pertanian.
b)      Adanya anggapan bahwa pedagang merupakan profesi yang paling bergengsi.
c)      Terjalinnya suku-suku ke dalam politik dan perjanjian perdagangan lokal maupun regional antara pembesar Hijaz di satu pihak dengan penguasa Syam, Persia dan Ethiopia di pihak lain.
d)      Letak geografis Hijaz yang sangat strategis di Jazirah Arab.
e)      Mundurnya perekonomian dua imperium besar, Byzantium dan Sasaniah, karena keduanya terlibat peperangan terus menerus.
f)       Jatuhnya Arab Selatan dan Yaman secara politis ke tangan orang Ethiopia pada tahun 535 Masehi dan kemudian ke tangan Persia pada Tahun 257 M.
g)      Dibangunnya pasar lokal dan pasar musiman di Hijaz, seperti Ukaz, Majna, Zu al-Majaz, pasar bani Qainuna, Dumat al-Jandal, Yamamah dan Pasar Wahat.
h)      Terblokadenya lalu lintas perdagangan Byzantium di Utara Hijaz dan Laut Merah.
i)       Terisolasinya perdagangan orang Ethiopia di Laut Merah karena diblokade tentara Yaman pada tahun 575 M.
Ketika tanah Mekkah hanya merupakan tanah gersang berbatu yang tidak berair dan tidak ditumbuhi tanam-tanaman, maka penduduknya dikaruniai kelebihan atas bangsa-bangsa Arab yang lain dengan aktivitas pedagangan. Di samping itu penduduk Mekkah adalah masyarakat yang mempunyai tempat khusus di hati masyarakat bangsa-bangsa Arab yang lainnya, mengingat mereka adalah para pemelihara dan penjaga Ka’bah yang selalu dikunjungi oleh segenap bangsa Arab. Posisi ini ditunjang lagi dengan letak geografis kota Mekkah yang sangat strategis. Dengan demikian, maka kita pun tidak heran bila Mekkah sejak abad ke-6 M. Menjadi pusat perdagangan antara Yaman dengan Syam dan Habsyi. [7]
Pada mulanya Mekkah didirikan sebagai pusat perdagangan lokal di samping juga pusat kegiatan agama. Karena Mekkah merupakan tempat suci, maka para pengunjung merasa terjamin keamanan jiwanya dan mereka harus menghentikan segala permusuhan selama masih berada di daerah tersebut. Untuk menjamin keamanan dalam perjalanan suatu sistem keamanan di buan-bulan suci, ditetapkan oleh suku-suku yang ada di sekitarnya.[8] Keberhasilan sistem ini mengakibatkan berkembangnya perdagangan yang pada gilirannya menyebabkan munculnya tempat-tempat perdagangan baru.
Dengan posisi Mekkah yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan bertaraf Internasional, komoditas-komoditas yang diperdagangkan tentu saja barang-barang mewah seperti emas, perak, sutra, rempah-rempah, minyak wangi, kemenyan, dan lain-lain. Walaupun kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah pada mulanya para pedagang Quraisy merupakan pedagang eceran, tetapi dalam perkembangan selanjutnya orang-orang Mekkah memperoleh sukses besar, sehingga mereka menjadi pengusaha di berbagai bidang bisnis.[9]
Orang-orang Quraisy begitu besar menaruh perhatian terhadap aspek perdagangan. Secara teratur mereka mengadakan perjalanan dua kali pada setiap tahunnya, yakni perjalanan di musim dingin ke Yaman dan musim panas ke Syam. Keempat anak Abd. Manaf dengan aktif melakukan perjalanan niaga ke berbagai negeri; Hasyim selalu berdagang ke Syam; Abd. Syams ke Habsyi; Al Muthalib ke Yaman; dan Naufal ke Persia. Para pedagang Quraisy di bawah lindungan keempat anak Abd. Manaf ikut aktif mengikuti jejak mereka dan berkat lindungan tersebut mereka tidak ada yang berani mengganggu.[10] Masing-masing dari keempat bersaudara ini telah mendapat jaminan keamanan dari raja (penguasa) negeri tujuan, sehingga hal ini menyerupai hubungan dagang antara para pemimpin Mekkah dan para raja negeri-negeri asing. Hal tersebut adalah merupakan karunia yang dilimpahkan oleh Allah Ta’ala kepada kaum Quraisy, sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya :
É#»n=ƒ\} C·÷ƒtè% ÇÊÈ   öNÎgÏÿ»s9¾Î) s's#ômÍ Ïä!$tGÏe±9$# É#ø¢Á9$#ur ÇËÈ   (#rßç6÷èuù=sù ¡>u #x»yd ÏMøt7ø9$# ÇÌÈ   üÏ%©!$# OßgyJyèôÛr& `ÏiB 8íqã_ NßgoYtB#uäur ô`ÏiB ¤$öqyz ÇÍÈ  
Artinya : (1). Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (2). (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas (3). Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah).(4). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.[11]

C.     PEMBEBASAN KAUM MUSTADH’AFIN
Di antara misi terpenting Islam, bahkan di antara major themes of Al-Quran seperti disebutkan oleh Fazlur Rahman, adalah membela, menyelamatkan, membebaskan, melindungi dan memuliakan kelompok dhuafa atau mustadh’afin[12]. Istilah mustadh’af berasal dari akar kata dha’fun yang berarti lemah. Dalam Al-Quran, selain istilah ini, dipergunakan istilah lain yang sejenis, yaitu dhu’afa (dhaif), berarti orang yang lemah, baik karena dilemahkan orang lain maupun karena dirinya sendiri memang lemah.
Dalam terjemahan bahasa Inggris, mustadh’afin kadang-kadang diterjemahkan sebagai the oppressed (yang tertindas) Sedang dhu’afa biasa diterjemahkan dengan the weak (orang-orang yang lemah). [13]
Konsep kesalehan sosial dan advokasi terhadap orang kecil bukanlah sekedar doktrin. Sejarah awal penyebaran Islam di Mekkah oleh Rasul SAW menunjukkan bagaimana dakwah Islam sesungguhnya adalah perjuangan memanusiakan manusia, membebaskan manusia dari kungkungan yang tidak manusiawi, baik dari segi politik, ekonomi, sosial, dan spiritual.[14]
Kalimat syahadat merupakan inti dari perjuangan tersebut, yang diterjemahkan oleh Rasulullah sebagai jihad yang holistik. Tauhid yang dibawa dan diajarkan Nabi bukanlah sekedar perintah atau anjuran semata, melainkan sebuah slogan revolusioner yang menyerukan perubahan dan pembebasan umat manusia secara menyeluruh. Tauhid menggaungkan perubahan secara fundamental dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Secara spiritual, tauhid membebaskan manusia dari takhayul dan berbagai ketidakpastian dalam berkeyakinan, menjadi kepercayaan kepada pencipta yang tunggal, yaitu Allah SWT. Sehingga manusia bisa menjalankan kehendaknya secara bebas, karena ia tidak bergantung kepada hal-hal yang klenik, irrasional, dan tidak pasti.
Manifestasi terbesar dari pengertian ini adalah Tauhid menentang penghisapan dan eksploitasi sesama manusia oleh sesamanya, atau exploitation l’homme par homme. Inilah yang menjadi penyebab tumbuhnya penentangan terhadap Islam dari para pemuka dan petinggi suku Quraisy, karena mengancam posisi mereka.
Pengikut-pengikut awal Nabi juga banyak yang merupakan orang miskin atau budak, seperti Bilal (muadzin pertama dalam sejarah Islam). Nabi dan para sahabat juga berusaha keras untuk menghilangkan segala bentuk diskriminasi dan penghinaan atas harga diri manusia, misalnya, membeli dan membebaskan budak untuk menghapus perbudakan, serta mengangkat harkat dan derajat perempuan.
Apa yang dilakukan Rasulullah pada masa awal Islam adalah bukti bagaimana pembelaan dan keberpihakan Islam terhadap golongan yang termarginalkan baik secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya dari suatu masyarakat.[15]
Nabi Muhammad tidak hanya menjadi pendiri suatu agama yang baru, pencipta suatu bangsa baru, tetapi juga seorang pembaru (reformer) bagi suatu tatanan sosial yang besar. Sejak permulaan sejarah, dunia telah melihat banyak pembaru pada setiap tempat, tetapi tidak seorang pun yang menyamai Nabi di dalam melaksanakan perubahan-perubahan yang revolusioner dalam suatu masyrakat yang hampir mati dan dungu.[16]
Pada waktu munculnya Nabi Muhammad SAW, bangsa Arab sedang melewati suatu masa kebodohan. Seluruh kehidupan sosial Arab terjerumus ke dalam kenistaan dan pelanggaran-pelanggaran sosial. Penyembahan berhala dan politeisme merupakan tatanan-tatanan pada waktu itu. Mabuk, judi dan zina merupakan perbuatan yang umum dari bangsa itu. Pembunuhan bayi perempuan merupakan  mode yang digemari bangsa Arab, dan kaum wanita adalah kaum yang paling rendah derajatnya di dalam masyarakat Arab. Mereka tidak mempunyai hak sosial atau hak hukum.
Akan tetapi, Nabi Allah itu bangkit terhadap keadaan itu dan melaksanakan misi kemanusiaannya di tengah-tengah adat istiadat dan pemikiran-pemikiran yang berlaku.
Nabi Muhammad memahami benar bahwa masyarakat Arab harus menghilangkan ketidakadilan sosial dan harus menghapuskan kelas-kelas yang mempunyai hak-hak istimewa di dalam masyarakat. Dia tidak dapat menemukan alasan mengapa harus ada perbedaan antara manusia yang satu dan manusia yang lain karena kelahirannya di dalam keluarga, suku, bangsa atau marga tertentu. Karena itulah dia menegakkan ajaran persamaan di antara manusia. Dia menganggap bahkan dirinya sendiri  pun sebagai aggota umat manusia yang biasa sebagaimana sabdanya : “Sesungguhnya aku adalah manusia biasa sebagaimana kamu semua. Laki-laki dan wanita, majikan dan hamba sahaya, serta raja dan rakyatnya mempunyai hak yang sama di hadapan Allah dan di hadapan hukum. Dengan kata lain, semuanya mempunyai hak-hak sosial yang sama. Hal ini cukup terlihat di dalam shalat yang biasa dilakukan sehari-hari ketika orang yang berkedudukan rendah dan tinggi, kaum kaya, kaum miskin, berdiri berdampingan di hadapan Zat Yang Maha Tinggi- tenaga persamaan yang kuat di atas bumi dan langit. Di bawah sistemnya seorang budak memperoleh hak yang sama sebagai warga negara, sebagai manusia yang merdeka. Zaid, seorag budak, kadang-kadang dipercayai memegang kekuasaan memimpin bangsa Quraisy yang angkuh itu.
Nabi suci itu dengan sungguh-sungguh percaya kepada prinsip persamaan manusia. Oleh karena itu, di samping itu pembaruan-pembaruan yang lainnya, dia memulai langkah-langkah emansipasi bagi kaum hamba sahaya. Perbudakan merupakan lembaga kuno yang kehadirannya merupakan suatu faktor yang tetap di dalam kehidupan ekonomi dan sosial dari Timur Tengah dan Eropa. Sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW tidak seorang pun yang berusaha menghapuskan sistem ini, tetapi dia memahami  kejahatan-kejahatan sistem ini dan dia segera mengambil tindakan-tindakan untuk cepat menghapuskannya. Dia membuat emansipasi budak menjadi suatu perbuatan yang sangat dihargai dan memerintahkan agar memperlakukan hamba sahaya dengan baik dan manusiawi, sebab, sebagai muslim, hamba dan majikan berdiri di atas pijakan yang sama. Budak-budak didizinkan menebus kebebasan mereka dengan cara mengumpulkan upah-upah mereka, dan budak-budak yang melarikan diri dibebaskan setelah mereka sampai negara Islam. Sejarah Islam penuh dengan gambaran tentang cara-cara budak-budak muncul memperoleh kedudukan yang paling tinggi di dalam negara.
Nabi Muhammad merupakan seorang sosialis yang bertujuan menjembatani kesenjangan-kesenjangan antara kaum kaya dan kaum miskin, orang yang berkedudukan tinggi dan orang yang berkedudukan rendah. Dia membayangkan suatu masyarakat yang tidak mengenal lagi pemerasan oleh kelompok yang satu terhadap kelompok yang lain. Untuk membantu kaum miskin dan yang menderita, dan untuk meratakan pembagian kemakmuran, dia memperkenalkan zakat, sedekah, dan fitrah di dalam masyarakat Islam. Di samping itu dia mengatur agar status sosial seseorang jangan didasarkan atas kedudukan ekonomi orang itu, tetapi atas dasar sejauh mana ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya.[17]
Sebelum menjadi rasul, Nabi Muhammad SAW sangat antipati terhadap kezaliman dan penindasan terhadap kaum yang lemah. Karena itu, beliau bersemangat sekali untuk turut serta dalam Hilful Fudhul, yaitu janji setia di kalangan bangsa Arab pada masa Jahiliyah. Latar belakang perjanjian tersebut adalah adanya seorang lelaki dari Zubaid, Yaman, yang menjual dagangannya kepada Al-‘Ash ibn Wail as-Suhaimi. Akan tetapi Al-‘Ash berlaku curang dalam soal harga. Lelaki itu kemudian menyenandungkan syair tentang kezaliman Al-‘Ash :[18]
                Wahai keluarga Fihr
                        Yang teraniaya perniagaannya di lembah Mekah
                        Bersembunyi di rumah dan berlari
Sewaktu mendengar hal ini, Bani Hasyim mengajak untuk mengadakan perjanjian yang kemudian disebut sebagai Hilful Fudhul. Dengan perjanjian tersebut, siapa saja yang teraniaya di Mekkah, baik pribumi ataupun pendatang, akan dibela. Pihak-pihak yang berbuat aniaya dan curang dituntut agar mengembalikan hak-hak mereka yang telah dirampas dari pemiliknya.[19]
Mengenai hal itu, Nabi Muhammad SAW setelah kelak menjadi rasul berkomentar, “Perjanjian di rumah Abdullah ibn Ju’dan lebih kusukai daripada unta yang bagus. Seandainya dalam Islam ini aku diundang untuk keperluan serupa, niscaya akan kupenuhi.”
Sepanjang hidupnya, Rasulullah selalu berpihak kepada kelompok-kelompok lemah. Kepada sahabat-sahabatnya yang menanyakan tempat yang paling baik untuk menemuinya, beliau menjawab: “Carilah aku di antara orang-orang yang lemah di antara kamu. Carilah aku di tengah-tengah kelompok kecil di antara kamu.” Rasulullah pun menasihatkan supaya para ulama melanjutkan para nabi – selalu berada di tengah-tengah kelompok dhu’afa dan mustadh’afin.[20]
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Qashash ayat  5,
߃̍çRur br& £`ßJ¯R n?tã šúïÏ%©!$# (#qàÿÏèôÒçGó$# Îû ÇÚöF{$# öNßgn=yèøgwUur Zp£Jͬr& ãNßgn=yèôftRur šúüÏOͺuqø9$# ÇÎÈ
Artinya : “Dan Kami bermaksud memberikan karunia kepada orang-orang yang ditindas di bumi. Akan Kami jadikan mereka pemimpin dan pewaris bumi ini.”
D.     DAKWAH-DAKWAH DI MEKKAH
Sebelum Hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad telah melakukan dakwah di Mekkah. Beliau melakukan dakwah setelah menerima wahyu pertama pada malam senin 17 Ramadhan tahun 13 sebelum Hijriah bertepatan dengan 06 Agustus 610 M. Pada saat itu Nabi Muhammad berkhalwat di Gua Hira dan Allah mengutus Jibril untuk menyampaikan wahyu pertama yaitu surat Al-Alaq. [21]
Ketika selesai menerima wahyu Nabi Muhammad pulang dengan menggigil ketakutan. Beliau meminta agar istrinya menyelimuti hbeliau kemudian menceritakan kejadian yang terjadi di Gua Hira. [22]
Sebagai seorang istri yang sholeha dalam kondisi apapun selalu berusaha menenangkan hati Rasulullah yang sangat mengalami kegalauan pada saat itu. Setelah menenangkan Rasulullah, Khadijah pergi untuk menemui Waraqah ibn Naufal. Waraqah adalah paman dari Siti Khadijah beliau adalah seorang Nasrani yang banyak mengetahui naskah-naskah kuno.
Siti Khadijah menceritakan kejadian yang dialami oleh suaminya kemudian Waraqah mengatakan bahwa yang datang itu adalah Namus (Jibril). Kemudian dia menjelaskan di suatu hari nanti beliau akan diusir oleh kaumnya sendiri. Ketika beliau tidur kemudian turun ayat Al-Muddatsir.
Kemudian beliau menyampaikan kepada istrinya tentang perintah Jibril untuk menyampaikan dakwahnya kepada umatnya. Ada berbagai metode dakwah yang dilakukan oleh beliau diantaranya :

1.        Dakwah secara sembunyi-sembunyi
Sebagaimana yang sudah diketahui, Mekkah merupakan sentral agama bangsa Arab. Di sana ada peribadatan terhadap Ka’bah dan penyembahan terhadap berhala dan patung-patung yang disucikan seluruh bangsa Arab. Cita-cita untuk memperbaiki keadaan mereka tentu bertambah sulit dan berat jika orang yang hendak mengadakan perbaikan jauh dari lingkungan mereka. Hal ini membutuhkan kemauan keras yang tidak dapat diguncang musibah dan kesulitan. Maka dalam menghadapi kondisi seperti ini, tindakan yang paling bijaksana adalah memulai dakwah dengan sembunyi-sembunyi, agar penduduk Mekkah tidak kaget karena tiba-tiba menghadapi sesuatu yang menggusarkan mereka.
Sangat lumrah jika Rasulullah SAW menampakkan Islam pada awal mulanya kepada orang yang paling dekat dengan beliau, anggota keluarga dan sahabat-sahabat karib beliau. Beliau menyeru mereka ini kepada Islam, juga menyeru kepada kebaikan, yang sudah beliau kenal secara baik dan mereka mengenal beliau secara baik. Mereka yang memang diketahui mencintai kebaikan dan kebenaran, dan mereka mengetahui kejujuran dan kelurusan beliau.
Pada periode ini, tiga tahun pertama, dakwah Islam dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Nabi Muhammad mulai melaksanakan dakwah Islam di lingkungan keluarga, mula-mula istri beliau sendiri, yaitu Khadijah, yang menerima dakwah beliau, kemudian Ali bin Abi Thalib. [23] kemudian dari kelompok yang mula pertama menerima Islam dari kalangan hamba sahaya yang telah dimerdekakan dan di adopsi oleh beliau ialah Zaid bin Haritsah.[24]
Dakwah yang diemban Rasulullah SAW tidak terbatas hanya bagi orang-orang yang mempunyai hubungan dekat dengan beliau dan para maula, melainkan meliputi sebahagian para tokoh masyarakat Quraisy, seperti Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai sahabat beliau yang paling tulus dan seorang yang memiliki sifat-sifat terpuji yang jarang dimiliki oleh orang banyak. Dia adalah seorang kaya raya dan ternama di lingkungan masyarakat Quraisy. Dengan menjadi pemeluk Islam pengaruhnya sangat besar, sehingga berkat jasanya lima orang dari kelompok pertama yang masuk Islam, di antara mereka adalah : Utsman bin ‘Affan, seorang pemuda yang belum genap berusia dua puluh tahun, Az Zubair bi Al ‘Awwam, salah seorang kerabat Nabi juga kerabat Khadijah yang baru menginjak usia dewasa. Kemudian Sa’d bin Abu Waqqas, penakluk Imperium Persia, Abdurrahman bin ‘Auf sang pedagang kaya yang pada mulanya bernama Abdul Umar, tetapi oleh Rasulullah SAW diubah menjadi Abdurrahman, dan Thalhah bin Ubaidillah, salah seorang di antara enam ahli surga yang dicalonkan oleh Umar bin Khattab agar dipilih menjadi khalifah sesudahnya oleh kaum Muslimin. [25]
Mereka diikuti pula oleh para tokoh Quraisy, seperti : Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah, Al-Arqam bin Abu Al Arqam, seorang yang rumahnya dijadikan markas dakwah Islamiah secara sembunyi-sembunyi yang sampai sekarang masih berdiri di Mekkah. Rumah ini terletak di bukit Shafa. Masa yang dilalui oleh Rasulullah SAW di rumah ini di anggap sebagai masa yang sangat penting dalam sejarah dakwah Islamnya mereka dengan hari-hari Rasulullah menyebarkan dakwahnya dari rumah milik Al Arqam ini.
Pada persiapan dakwah yang berat maka dakwah pertama beliau mempersiapkan mental dan moral. Oleh sebab itu beliau mengajak manusia atau umatnya untuk :[26]
a)      Mengesakan Allah,
b)      Mensucikan dan membersihkan jiwa dan hati,
c)      Menguatkan barisan,
d)      Meleburkan kepentingan diri di atas kepentingan jamaah.

2.       Dakwah Secara Terang-terangan
Selama tiga tahun Rasulullah SAW hanya berdakwah secara sembunyi-sembunyi dan dakwahnya disampaikan kepada orang yang diyakini akan menerima Islam. Selama ini pula beliau bersama para sahabatnya melaksanakan shalat dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak dipantau orang-orang Quraisy. Kemudian setiap kali kaum musyrikin melihat kaum Muslimin mengerjakan shalat, mereka mengejeknya dan tata cara peribadatan tersebut pun ikut diremehkan pula. Sehingga pada waktu jumlah orang-orang yang menerima Islam bertambah banyak dan orang-orang Quraisy pun mengkhawatirkan jumlah mereka akan terus bertambah, maka dengan berbagai cara mereka terus menghambatnya. Mereka menjadi penghambat bagi orang-orang untuk menerima Islam yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dan untuk itu mereka tidak segan-segan menghina keberadaan orang-orang yang telah masuk Islam. Akan tetapi Rasulullah SAW sesudah tiga tahun hanya berdakwah dengan cara sembunyi-sembunyi, kini beliau diperintah agar tidak memperdulikan sikap orang-orang yang menentang dan melecehkan dakwah mulia ini : [27]
÷íyô¹$$sù $yJÎ/ ãtB÷sè? óÚ̍ôãr&ur Ç`tã tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ÇÒÍÈ   $¯RÎ) y7»oYøxÿx. šúïÏäÌöktJó¡ßJø9$# ÇÒÎÈ  
Artinya : “(94). Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. (95). Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (kamu),” (Q.S. Al-Hijr : 94-95)
Dengan datang atau turunnya perintah itu Nabi mulai berdakwah secara terang-terangan, mula-mulanya Nabi mengundang dan menyeru pada kerabat karibnya dari Bani Abdul Muthalib. Ia mengatakan kepada mereka “saya tidak melihat seorang pun di kalangan Arab yang membawa sesuatu ke tengah-tengah mereka lebih baik dari apa yang saya bawa kepada kalian. Kubawakan kepadamu dunia dan akhirat yang terbaik. Tuhan memerintahkan saya mengajak kalian semua. Siapakah diantara kalian yang mau mendukung saya dalam hal ini ?”. tapi semua menolak kecuali Ali. [28]
Langkah berikutnya yang ditempuh Nabi adalah mulai menyeru pada masyarakat umum, maka Rasulullah naik ke bukit Shafa dan memanggil orang Mekkah, beliau bersabda “bagaimana bila aku mengatakan kepada kalian bahwa di lembah sana ada seekor kuda yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayai apa yang saya ucapkan ?” mereka menjawab “ya”, kami percaya karena kami belum pernah mendapatkan engkau berdusta” maka Rasulullah SAW bersabda “ketahuilah bahwa sesungguhnya aku memberi peringatan kepada kalian tentang siksa yang sangat pedih”. Lalu Rasul mengajak mereka untuk beriman kepada Allah.[29]
Jumlah pengikut Nabi yang pada awalnya hanya berjumlah belasan orang dan hanya dari kalangan kerabat dan sahabat semakin bertambah. Hampir setiap hari ada yang menyatakan diri sebagai seorang Islam dan mengislamkan diri serta keluarga mereka. Mereka kebanyakan adalah wanita, kaum budak, pekerja, kaum miskin dan lemah. Meskipun kebanykan dari pemeluk Islam adalah dari kaum lemah namun semangat Islam mereka sangat keras dan kuat, dan mereka berperan dalam perjuangan Islam dan mensosialisasikan Islam kepada kerabat dan keluarga masing-masing.
Pada masa dakwah secara terang-terangan inilah Nabi mendapatkan perlakuan yang buruk dari umatnya. Karena setelah dakwah terang-terangan itu, pemimpin Quraisy mulai berusaha menghalangi dakwah Rasul. Karena mereka juga melihat semakin bertambahnya jumlah pengikut Nabi, maka semakin keras melancarkan serangan-serangan, baik pada Nabi ataupun pada para pengikut Nabi.[30]
Sebelum itu sebenarnya Quraisy memang tidak pernah mengenal hidup tenteram. Bahkan setiap kabilah langsung menyerbu kaum Muslimin yang ada di kalangan mereka; disiksa dan dipaksa melepaskan agamanya, sehingga di antara mereka ada yang mencampakkan Bilal, budak Abisinia itu, ke atas pasir di bawah terik matahari yang membara, dadanya ditindih dengan batu dan akan dibiarkan begitu sampai mati. Soalnya karena ia teguh bertahan dalam Islam. Dalam kekerasan semacam itu Bilal hanya berkata : “Ahad, Ahad – Allah Maha Esa !” Ia memikul segala penderitaan itu demi agamanya.
Ketika pada suatu hari oleh Abu Bakr dilihatnya Bilal mengalami siksaan begitu rupa, ia dibeli lalu dibebaskan. Tidak sedikit budak yang mengalami kekerasan serupa itu oleh Abu Bakr dibeli- diantaranya budak perempuan milik Umar bin Khattab, dibelinya dari Umar sebelum ia masuk Islam. Ada pula seorang perempuan yang disiksa sampai mati karena ia tidak mau meninggalkan Islam kembali kepada kepercayaan leluhurnya.
Kaum Muslimin di luar budak-budak itu dipukuli dan dihina dengan berbagai cara. Muhammad juga tidak terkecuali. Ia mengalami gangguan-gangguan, meskipun sudah dilindungi oleh Bani Hasyim dan Bani Al-Muthalib. Um Jamil, istri Abu Lahab, melemparkan najis ke depan ia sedang shalat, oleh Abu Jahal dilempari isi perut kambing yang sudah disembelih untuk sesajen kepada berhala-berhala. Ditanggungnya semua gangguan itu dan ia meminta kepada Fatimah, putrinya, supaya mencucikan dan membersihkannya kembali. Ditambah lagi, disamping semua itu, kaum Muslimin harus menerima kata-kata biadab dan keji ke mana saja mereka pergi.[31]
Cukup lama hal serupa itu berjalan. Tetapi Muslimin tetap tabah dan berpegang teguh pada agama mereka. Dengan dada terbuka mereka menerima siksaan dan kekerasan itu, demi akidah mereka.
Di kota Mekkah telah kita ketahui bahwa bangsa Quraisy dengan segala upaya akan melumpuhkan gerakan Muhammad SAW. Hal ini dibuktikan dengan pemboikotan yang dilakukan mereka kepada Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Di antara pemboikotan tersebut adalah :
a.       Memutuskan hubungan perkawinan
b.       Memutuskan hubungan jual beli
c.       Memutuskan hubungan ziarah dan menziarah dan lain-lain.
Pemboikotan tersebut tertulis di kertas shahifah atau plakat yang digantungkan di Ka’bah dan tidak akan dicabut sebelum Nabi Muhammad SAW menghentikan gerakannya.
Sehingga kemudian Nabi memutuskan untuk menyebarkan dakwahnya di wilayah lain dengan harapan dakwahnya akan berkembang dengan pesat. Alasan lainnya adalah untuk menghindari serangan dari pemuka-pemuka Quraisy saat itu.[32]
Periode Mekah berlangsung selama 12 tahun beberapa bulan beliau dibangkitkan sebagai Rasul sampai waktu hijrahnya. Pada fase ini, jumlah umat Islam masih sedikit dan posisinya pun masih lemah belum menyatu sebagai satu umat dan belum mempunyai pemerintahan. Ciri-ciri masyarakat Islam pada fase Mekkah adalah (a) jumlahnya masih sangat sedikit; (b) karena jumlahnya sedikit, Nabi hanya memperoleh sekitar 200 orang, itupun kebanyakan dari kalangan lemah, mereka tidak memiliki kekuatan apa pun jika dibandingkan dengan para penentang Islam; (c) karena lemah, mereka dikucilkan oleh masyarakat penentang Islam, misalnya kegiatan ekonominya diblokade.[33]
Masyarakat Islam yang dibimbing oleh Nabi Muhammad SAW. Di Mekkah adalah masyarakat yang baru memeluk Islam. Sebagai muallafin yang bertahun-tahun sebelumnya menjadi penyembah berhala, tentu mereka masih sangat memerlukan bimbingan akidah dari Nabi. Oleh karena itu, perhatian Rasul pada fase ini diarahkan pada penyebaran dakwah dan pembinaan keimanan. Rasul berusaha memalingkan umat manusia dari menyembah berhala dan patung untuk beribadah hanya kepada Allah Pencipta langit dan bumi, menjaga diri dari gangguan orang-orang yang sengaja menghalangi dakwah, yakni orang-orang yang menzalimi orang-orang yang beriman. Bagi Nabi, fase ini belum ada kesempatan untuk membina dan mengembangkan hukum (tasyri’) yang bersifat ‘amali , dan belum dibentuk peraturan ketat pemerintah, perdagangan, dan lain-lain. Oleh karena itu surat-surat makkiyah dalam Al-Qur’an, seperti Yunus, Al-Ra’du, Al-Furqan, Yasin, dan Al-Hadid bukan merupakan ayat-ayat hukum yang ‘amali, bahkan kebanyakan ayatnya khusus membahas masalah akidah, akhlak, dan tamsil perjalanan hidup umat manusia pada masa lampau.[34]
Program pokok dalam misi Mekah adalah memperkenalkan dan mengajarkan kepada keluarga dan kerabat dekatnya serta kepada orang-orang Mekah tentang ketauhidan, bahwa tiada Tuhan selain Allah (La Ilaha Illallah), dan penyembahan berhala yang dilakukan mereka merupakan kemusyrikan dan kezaliman yang amat besar.[35]
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dakwah beliau banyak mendapat tantangan yaitu sebagai berikut ;[36]
a.       Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan Nabi Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib.
b.       Nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya.
c.       Para pemimpin Quraisy tidak mau percaya ataupun mengakui serta tidak menerima ajakan tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat.
d.       Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat akar pada bangsa Arab, sehingga sangat berat bagi mereka untuk meninggalkan agama nenek moyang dan mengikuti agama Islam.
e.        Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.




E.      KETELADANAN DAN SIFAT NABI DALAM BERDAKWAH
Nabi Muhammad SAW merupakan perwujudan semua  kebajikan. Dia tidak hanya merupakan orang yang terbaik, tetapi juga Nabi yang terbesar. Akhlaknya adalah Qur’an demikian kata Aisyah, istri Nabi. Dengan kata lain, kehidupan sehari-harinya merupakan gambaran yang benar dan ajaran-ajaran Al-Qur’an. Karena Kitab Allah merupakan kitab undang-undang yang mengandung moral-moral yang tinggi bagi pengembangan kemampuan manusia yang berbeda-beda, kehidupan Nabi memperlihatkan semua moral itu dalam kenyataan.
Kesederhanaan merupakan inti akhlak Nabi. Dia mencintai kebajikan-kebajikan untuk kepentingan akhlak itu sendiri. Moral-moral yang tinggi, yang merupakan gambaran yang menarik dari akhlaknya, bukan suatu kemahiran yang ada pada dirinya, melainkan merupakan hal yang melekat di dalam sifatnya.
Nabi sangat mencintai sahabat-sahabatnya. Dia menemui setiap orang dengan wajah ceria. Kadang-kadang dia menyukai gurauan yang baik bersama sahabat-sahabatnya. Dia akan berbicara dengan bebas, tidak pernah menarik diri untuk mengesankan orang yang lebih tinggi.
Rasulullah SAW telah menempuh semua jalan yang lurus untuk menyampaikan dakwah Allah SWT secara sempurna. Sebaliknya, banyak orang yang menempuh pelbagai macam jalan yang terbaik dalam hati mereka untuk menghalang-halangi dan memalingkan beliau dari dakwah, tetapi beliau tetap tegak di jalan dakwah dan tidak berpaling sedikit pun.[37]
Dalam menyampaikan dakwah, Rasulullah saw menggunakan berbagai cara, diantaranya dengan menghubungi orang-orang secara pribadi, menampakkan dirinya secara terang-terangan di hadapan kabilah-kabilah Arab, melakukan perjalanan, mendatangi tempat-tempat berkumpulnya orang-orang, serta mengirim utusan mewakili dirinya. Beliau juga menerima utusan-utusan kabilah supaya mereka mengambil ajaran Islam dan kembali untuk berdakwah di kaumnya, mengirim surat kepada raja-raja dan para pemimpin dunia berisi ajakan beriman kepada Allah, menugaskan semua manusia untuk belajar dan mengajarkan ajaran Islam, dan memerintahkan kepada seluruh umat Islam untuk menyampaikan ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia sampai seluruh manusia mendengar dakwah Islam tanpa kecuali.
Mereka, musuh-musuh dakwah itu, menggunakan cara-cara penyiksaan yang kejam pada beliau dan pengikutnya. Mereka menggunakan bujukan dan iming-iming, mengintimidasi beliau dan keluarganya, menyerang beliau secara psikologis dengan penghinaan dan tuduhan-tuduhan, lalu menerapkan cara paling keji yang dikenal manusia, yaitu memboikot dan mengisolir beliau serta orang-orang yang menolongnya secara total dari kehidupn normal manusia. Semua itu mereka lakukan untuk meghentikan dan memalingkan beliau dari dakwah. Karena semua cara di atas gagal menghentikan dan memalingkan beliau dari dakwah, tetapi cara ini pun gagal.
Keadaan seperti ini berlangsung cukup lama, yang menyambut dakwah beliau masih sedikit, semua orang berusaha membuat beliau putus asa, tetapi beliau tetap terus berdakwah. Lalu, mereka memerangi beliau habis-habisan untuk membinasakan beliau dan memusnahkan dakwahnya, tetapi beliau terus bersabar dan berdakwah.[38]
Nabi Muhammad SAW telah diciptakan sebagai makhluk yang agung sebelum beliau menerima wahyu dan menjadi Rasul. Sejak kecil beliau tidak mau menyembah berhala-berhala yang dipertuhankan oleh nenek moyangnya dan menjadi sumber kebanggaan mereka di seluruh dataran Arab. Sejak kecil pula beliau telah terkenal sebagai orang yang jujur dan setia, dicintai dan menarik hati kaumnya. Mereka bahkan memberinya gelar “Al-Amin” yang berarti orang yang terpercaya.[39]
Keutamaannya telah nampak sejak beliau masih kanak-kanak sehingga seorang wanita Quraisy kaya raya serta memiliki kedudukan dan keturunan terpandang tertarik untuk menikahinya. Meskipun wanita ini mengetahui bahwa Muhammad adalah orang yang sederhana.[40]
Adapun keteladanan dan sifat-sifat Nabi ketika berdakwah ialah :
  • Nabi Muhammad berdakwah dengan keteladanan. Sebelum beliau menyampaikan sesuatu, maka beliau terlebih dahulu melaksanakannya. Jadi, disamping dakwah dengan lisan, dakwah juga dilakukan dengan perbuatan, sikap, dan keteladanan dalam kehidupan sehari-hari.
  • Disampaikan dengan penuh kehati-hatian, sabar, dan menggunakan bahasa yang halus dan lemah lembut serta dengan bahasa yang mudah dipahami.
  • Rasulullah saw. memposisikan para pengikutnya sebagai sahabat, hal ini tercermin dalam sebutan para pengikutnya yakni dengan sebutan ‘sahabat’. Cara seperti ini menimbulkan rasa simpati yang luar biasa, karena di dalam Islam nyata-nyata diterapkan kesetaraan.
  • Rasulullah saw. selalu bersama para sahabat-sahabatnya baik dalam keadaan suka maupun duka, dengan demikian terjalin persatuan, kesatuan, dan solidaritas umat Islam yang sangat kuat. Dalam berdakwah Rasulullah saw. tidak pernah memaksakan kehendak, Rasulullah saw hanya menyampaikan ajaran dari Allah SWT, dan memberikan pemahaman secara rasional dan dengan hati yang jernih. Mengikuti atau tidak hal itu menjadi hak pribadi masing-masing. Dengan kata lain, dalam berdakwah Rasulullah saw tidak pernah menggunakan cara-cara kekerasan.[41]
F.       PERSIAPAN HIJRAH DAN MAKNA HIJRAH
1.        Persiapan Hijrah
Setelah Khadijah meninggal dunia, begitu juga paman pelindungnya, Abu Thalib, cacian, hinaan, teror, bahkan ancaman pembunuhan dari orang-orang Quraisy semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya kemungkinan terburuk dari mereka, beliau memutuskan untuk mencari tempat lain yang lebih aman untuk mengembangkan ajarannya. Pergilah beliau ke Thaif, sebuah kota di daerah pegunungan yang jaraknya kira-kira 70 mil dari kota Mekah, dengan harapan mudah-mudahan penduduk Thaif lebih dapat menerima seruan Islam. Akan tetapi, penduduk Thaif pun tidak lebih baik dari penduduk Mekah. Mereka mengejek dan menghinanya, bahkan tanpa belas kasihan, mereka melemparinya dengan batu sampai beliau terluka.[42]
Nabi Muhammad ke madinah, bukan hanya menghindari tekanan dari masyarakat Quraisy Mekah, melainkan bertujuan untuk menyebarkan ajaran Islam. Di Mekah masyarakat Quraisy sangat menentang ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad, karena tidak sesuai dengan kepercayaan yang mereka anut. Tantangan dari masyarakat Quraisy semakin meningkat, setelah melihat pengikut Nabi Muhammad, maka mereka bersepakat untuk memboikot perkembangan Islam.[43]
Cobaan berat yang dirasakan Nabi selama mengungsi di Thaif serasa menyuramkan semangat perjuangannya. Kalau bukan seorang Nabi, mungkin beliau sudah putus asa. Akan tetapi, karena sebagai pilihan Allah, Muhammad tidak patah arang apalagi sampai harus berputus asa. Karena memang itulah resiko perjuangan yang harus dipikul oleh setiap pejuang kebenaran. Mungkin juga beliau teringat pada ucapan Waraqah, paman istrinya yang pernah dikunjunginya beberapa waktu lalu, bahwa : “Belum pernah ada seseorang yang membawa ajaran seperti yang kamu bawa, kecuali dia dimusuhi.” Perkataan ini merupakan gambaran bahwa setiap perubahan selalu ada tantangan dan hambatan.[44]
Pada saat demikian, tiba-tiba terbersit seberkas harapan dalam pikiran Nabi bersama dengan datangnya musim haji. Ketika upacara haji sampai selesai, Nabi menaruh perhatian terhadap suatu kerumunan yang terdiri atas 6 orang pemuda yang tampak seperti orang asing. Ternyata mereka adalah anak-anak muda dari Yatsrib. Kepada mereka, Nabi menyampaikan dasar-dasar akidah Islam dan menganjurkan agar mereka mengikuti seruan-seruan Tuhan dan menyampaikan pula perihal cobaan dan penganiayaan kafir Quraisy Mekah terhadap dirinya. Nabi bertanya kepada mereka, “Apakah mereka bersedia menerima dan melindungi Nabi seandainya pindah ke Yatsrib ?” Keenam pemuda tersebut dengan tegas menyatakan diri memeluk agama Muhammad, namun saat itu mereka belum bersedia menjamin perlindungan atas diri Nabi. Sebab, mereka sedang terlibat permusuhan di negerinya. Setibanya di Yatsrib, keenam pemuda tersebut menyebarkan berita tentang telah datangnya seorang rasul di tengah-tengah masyarakat Mekah untuk mengajak manusia ke jalan lurus dan menyelamatkan mereka dari jalan kehidupan yang sesat. Sebagian pengikut Yahudi Yatsrib yang menanti-nanti kedatangan Rasul terakhir sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab suci mereka, dengan gembira menyambut tersiarnya kabar tersebut.[45]
Sejumlah orang Yatsrib datang ke Mekah setiap musim haji. Sebagian dari mereka yang telah menerima seruan nabi menyatakan keimanannya kepada ajaran Islam. Ketika musim haji yang tiba, Nabi mendatangi tempat pertemuan yang telah disepakati sebelumnya. Dua belas pemuda Yatsrib yang telah beriman bertemu dengan Nabi di Aqabah. Di hadapan Nabi mereka menyatakan kesaksiannya memeluk agama Islam, dan secara bersama-sama mengangkat tangan Nabi seraya bersumpah bahwa mereka tidak akan menyembah sesuatu selain Allah. Sumpah inilah yang dalam dikenal sebagai perjanjian Aqabah I (Bai’atul Aqabah al-Ula). Semenjak itulah, harapan Nabi untuk menyiarkan agama Islam jelas, dan dengan penuh kesabaran Nabi menanti undangan dari Yatsrib. Tak lama setelah terjadi perjanjian Aqabah I,  terjadilah peristiwa Isra’ Mi’raj. Dalam peristiwa ini, Nabi menjumpai Yang Maha Pencipta, dan menerima perintah untuk menjalankan shalat lima kali sehari semalam.[46]
Pada musim haji berikutnya, tahun 622 M. Jemaah haji dari Yatsrib praktis jumlahnya banyak sekali, terdiri dari 75 orang, 73 pria dan 2 wanita,[47] berkunjung ke Mekah dan bersumpah di hadapan Nabi bahwa mereka akan menolong dan melindungi Nabi. Inilah yang disebut dengan perjanjian Aqabah II (Bai’at  Al-‘Aqabah Ats- Tsaniyah). Mereka juga mengundang Nabi untuk singgah ke kota mereka. Saat itu, Nabi belum bersedia menerima undangan mereka, tetapi mengirimkan seorang utusan, yaitu Mus’ab untuk menyebarkan Islam di sana. Suatu saat, Nabi meminta kepada Mus’ab untuk pulang ke Mekah dan meminta laporan perkembangan pemeluk Islam disana. Mus’ab pun menyampaikan kepada Nabi bahwa pemeluk Islam di sana semakin hari semakin pesat. Laporan yang cukup menggembirakan dari Mus’ab tersebut menambah motivasi bagi Nabi untuk segera merealisasikan niat hijrahnya ke Madinah.[48]
Berita-berita yang disampaikan oleh Mus’ab ini membuat Muhammad berpikir lebih lama lagi. Pengikut-pengikutnya di Yatsrib kini semakin hari makin berkuasa dan bertambah kuat juga. Dari orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik mereka tidak mendapat gangguan seperti yang dialami oleh kawan-kawannya di Mekah karena gangguan Quraisy. Di samping itu Yatsrib lebih makmur daripada Mekkah ada pertanian, ada kebun kurma, ada anggur.  Bukankah lebih baik sekali apabila Muslimin Mekkah itu hijrah saja ke tempat saudara-saudara mereka di sana, yang akan terasa leih aman ? mereka akan bebas dari Quraisy yang selalu memfitnah agama mereka. [49]
Perintah Hijrah
Rencana Quraisy akan membunuh Muhammad pada malam hari, karena dikuatirkan ia akan hijrah ke Madinah dan memperkuat diri disana serta segala bencana yang mungkin menimpa Mekah dan memperkuat diri disana serta segala bencana yang mungkin menimpa Mekah dan menimpa perdagangan mereka dengan Syam sebagai akibatnya, beritanya sudah sampai kepada Muhammad. Memang tak ada orang yang menyangsikan, bahwa Muhammad akan menggunakan kesempatan ini untuk hijrah. Akan tetapi karena begitu kuat ia dapat menyimpan rahasia itu, sehingga tiada seorang pun yang mengetahui, juga Abu Bakr, orang yang pernah menyiapkan dua ekor unta kendaraan tatkala ia meminta izin kepada Nabi akan hijrah, yang lalu ditangguhkan, hanya sedikit mengetahui soalnya. Muhammad sendiri memang masih tinggal di Mekah ketika ia sudah mengatahui keadaan Quraisy itu dan ketika kaum Muslimin sudah tidak ada lagi yang tinggal kecuali sebagian kecil. Dalam ia menantikan perintah Tuhan yang akan mewahyukan kepadanya supaya hijrah, ketika itulah ia pergi ke rumah Abu Bakr dan memberitahukan, bahwa Allah telah mengizinkan ia hijrah. Dimintanya Abu Bakr supaya menemaninya dalam hijrahnya itu, yang lalu diterima baik oleh Abu Bakr.[50]

Ali di Tempat Tidur Nabi
Pemuda-pemuda yang sudah disiapkan Quraisy untuk membunuhnya malam itu sudah mengepung rumahnya, karena dikuatirkan ia akan lari. Pada malam akan hijrah itu pula Muhammad membisikkan kepada Ali bin Abi Thalib supaya memakai mantelnya yang hijau dari Hadzramaut dan supaya berbaring di tempat tidurnya. Dimintanya supaya sepeninggalannya nanti ia tinggal dulu di Mekah menyelesaikan barang-barang amanat orang yang dititipkan kepadanya. Dalam pada itu pemuda-pemuda yang sudah disiapkan Quraisy, dari sebuah celah mengintip ke tempat tidur itu dan mereka pun puas bahwa dia belum lari.
Tetapi, menjelang larut malam waktu itu, dengan tidak setau mereka Muhammad sudah keluar menuju ke rumah Abu Bakr. Kedua orang itu kemudian keluar dari jendela pintu belakang, dan terus bertolak ke arah selatan menuju gua Thaur. Bahwa tujuan kedua orang itu melalui jalan sebelah kanan adalah di luar dugaan. [51]
2.       Makna Hijrah
Peristiwa hijrah adalah peristiwa historis-sosiologis. Yaitu peristiwa yang terjadi dengan mengikuti Sunnatullah. Peristiwa hijrah juga dapat disebut sebagai peristiwa kesejarahan karena dampaknya yang demikian besar dan dahsyat pada perubahan sejarah umat manusia. [52]
Dari sudut tinjauan historis-sosiologis, peristiwa Hijrah adalah puncak dari rentetan berbagai peristiwa yang panjang, sepanjang masa perjuangan Nabi SAW menegakkan kebenaran di Mekkah. Sebab-sebab peristiwa-peristiwa itu mengawali kepindahan Nabi dari Mekkah ke Yatsrib, merupakan pendahuluan atau penyiapan terjadinya peristiwa bersejarah itu. [53]
Peristiwa Hijrah, paling tidak, memberikan makna sebagai berikut:  [54]
Pertama: pemisah antara kebenaran dan kebatilan; antara Islam dan kekufuran; serta antara Darul Islam dan darul kufur. Paling tidak, demikianlah menurut Umar bin al-Khaththab ra. ketika beliau menyatakan: Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. (HR Ibn Hajar).
Kedua: tonggak berdirinya Daulah Islamiyah (Negara Islam) untuk pertama kalinya. Dalam hal ini, para ulama dan sejarahwan Islam telah sepakat bahwa Madinah setelah Hijrah Nabi saw. telah berubah dari sekadar sebuah kota menjadi sebuah negara Islam; bahkan dengan struktur yang menurut cendekiawan Barat, Robert N. Bellah terlalu modern untuk ukuran zamannya. Saat itu, Muhammad Rasulullah saw. sendiri yang menjabat sebagai kepala negaranya.
Ketiga: awal kebangkitan Islam dan kaum Muslim yang pertama kalinya, setelah selama 13 tahun sejak kelahirannya, Islam dan kaum Muslim terus dikucilkan dan ditindas secara zalim oleh orang-orang kafir Makkah.[55]








KESIMPULAN
Pokok pembinaan pendidikan Islam di kota Mekkah adalah pendidikan tauhid, titik beratnya adalah menanamkan nilai-nilai tauhid ke dalam jiwa setiap individu muslim. Hal ini ditanamkan Rasulullah Saw, karena pada saat itu kondisi masyarakat Mekkah masih dalam keadaan jahiliyah dan masih banyak yang menyembah berhala. Tujuan penanaman nilai-nilai tauhid ini adalah agar jiwa mereka terpancar sinar tauhid dan tercermin dalam perbuatan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan Islam Mekkah merupakan Islam terberat bagi Nabi Muhammad SAW. Karena di Mekkah Nabi banyak mengalami kesulitan dan tantangan dari masayarakat Mekkah yang masih belum menerima adanya agama Islam. Hal ini dapat dilihat pada tahap awal Pendidikan Islam yang dilakukan Rasulullah yang dilakukan secara tersembunyi dan hanya berkisar pada kerabat dekatnya saja.
Hijrah dari Mekkah ke Madinah bukan hanya sekedar berpindah dan menghindari diri dari tekanan dan ancaman kaum Quraisy dan penduduk mekkah yang tidak ingin menghadapi pembaharuan terhadap ajaran nenek moyang mereka, tetapi juga mengandung maksud untuk mengatur potensi dan menyusun kekuatan dalam menghadapi tantangan-tantangan lebih lanjut, sehingga nanti akhirnya terbentuk masyarakat baru yang nantinya bersinar kembali mutiara tauhid warisan Ibrahim yang akan disempurnakan oleh Muhammad SAW melalui wahyu Allah.









DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Azzam, The Greatest Leader, Jakarta : Qisthi Press, 2008
Ahmad Mujahidin, Arab Pra Islam : Hubungan Ekonomi dan Politik dengan Negara-negara Sekitarnya, Jurnal Akademika, Volume 12, Nomor 2. Maret. 2003
Al-Alusi : Sabaik Adz Dzahab Fi Ma’rifah Qabail Al ‘Arab , Baghdad, thal. 1280
Arifudin, Sejarah Peradaban Islam, Pekanbaru : Benteng Media, 2014
Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2011
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2007
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2001
K.Ali, A. Study of Islamic History, Diterjemahkan oleh Ghufran A. Mas’adi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996
Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta : Litera AntarNusa, 1992
Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban; Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta : Paramadina, 1995
Philip K.Hitti, History of The Arabs, Cet X, Landon : The Macmillan Press Ltd, 1974 M
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011
Syafiq A. Mughni, Masyarakat Arab Pra Islam dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam I, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002
Said Hawwa, Ar Rasul Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam,  daarus salam :  jakarta : gema insani press, 2003




[1] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2001), Hal. 5
[2] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2007), Hal. 43
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Syafiq A. Mughni, Masyarakat Arab Pra Islam dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam I, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), Hal. 15
[6] Arifudin, Sejarah Peradaban Islam, (Pekanbaru : Benteng Media, 2014), Hal. 20
[7] Hasan Ibrahim Hasan, Hal. 108
[8] Ahmad Mujahidin, Arab Pra Islam : Hubungan Ekonomi dan Politik dengan Negara-negara Sekitarnya, Jurnal Akademika, Volume 12, Nomor 2. Maret. 2003. Hal. 12-13
[9] Ibid
[10] Al-Alusi : Sabaik Adz Dzahab Fi Ma’rifah Qabail Al ‘Arab (Baghdad, thal. 1280), Hal. 69
[11] (Q.S. 106 :  1-4)
[12] http://metroislam.com/memerdekakan-kaum-mustadhafin-sudahkah-jadi-perhatian-dua-muktamar/
[13] Ibid
[14] https://iqraanugrah.wordpress.com/tag/al-mustadhafin/
[15] Ibid
[16]  Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011), Hal. 103
[17] Ibid, Hal. 104
[18] Abdurrahman Azzam, The Greatest Leader, (Jakarta : Qisthi Press, 2008), Hal. 6
[19] Ibid, Hal.7
[20] Loc Cit
[21] Arifuddin, Hal. 173
[22] Ibid, Hal. 174
[23] Ibid, Hal. 175
[24] Hasan Ibrahim Hasan, Hal. 147
[25] Ibid, Hal. 148
[26] Arifuddin, Hal. 175
[27] Hasan Ibrahim Hasan, Hal. 149
[28] Arifuddin, Hal. 176
[29] Ibid
[30] Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta : Litera AntarNusa, 1992), Hal.100
[31] Ibid, Hal. 101
[32] Op Cit
[33] Dedi Ismatullah, Hal. 156
[34] Ibid, Hal. 157
[35] Ibid
[36] Op Cit
[37] Said Hawwa, Ar Rasul Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam,  daarus salam :  (jakarta : gema insani press, 2003), hal. 96
[38] Ibid, Hal. 97
[39] Abdurrahman Azzam, Hal. 6
[40] Ibid, Hal. 7
[41] Ibid
[42] Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam,(Bandung : Pustaka Setia, 2011), Hal. 158
[43]  Philip K.Hitti, History of The Arabs, Cet X, (Landon : The Macmillan Press Ltd, 1974 M), Hal. 36
[44] Ibid
[45] K.Ali, A. Study of Islamic History, Diterjemahkan oleh Ghufran A. Mas’adi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), Hal. 37
[46] Op Cit, Hal. 159
[47] Muhammad Husain Haikal,Hal. 170
[48] Dedi Ismatullah, Hal. 160
[49] Muhammad Husain Haikal, Hal. 168
[50] Muhammad Husain Haikal,  Hal. 179
[51] Ibid, Hal. 180
[52] Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban; Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta : Paramadina, 1995), Hal. 29
[53] Ibid
[54] https://www.facebook.com/notes/marilah-sholat-stop-fesbuk-saat-adzan/selamat-tahun-baru-1434-hijrah-makna-hakiki-hijrah-nabi/522354784444346/
[55] Ibid