Pendidikan Politik Islam
PENDIDIKAN POLITIK ISLAM
SEJARAH
PEMIKIRAN DAN PENDIDIKAN POLITIK
ERA
DAWLAH ‘ABBASIYAH
Oleh : Eri Rizaldi Dan Risna
Agustina
“Jika kamu (pada perang Uhud)
mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar)
mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami
pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah
membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian
kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada' Dan
Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim”.
Q.S. {Al-imran (3) : (140) }
A.
PENDAHULUAN
Pada tahun 132 H, pemerintahan
Bani Umayyah jatuh. Lalu keturunan al-Abbas pun naik untuk menduduki kursi
khilafah.Dalam lintasan sejarah umat
islam akan terlihat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayyah dengan bani
Abbasiyah. Pemerintahan Bani Umayyah menguasai seluruh dunia islam dan berpusat
didamaskus, karena mereka memegang politik kekeuasaan dan ekspansi. Sementara
Bani Abbasiyah yang berpusat dibaghdad lebih mengutamakan pembinaan peradaban
dan kebudayaan, tidak mengutamakan politik.
Pemerintahan Abbasiyah adalah berketurunan dari pada
al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW pendiri kerajaan al-Abbas ialah Abdullah
as-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas, ia adalah khalifah
pertama. Dinasti Abbasiyah ini berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,
yaitu selama lima abad.
Dan pendirinya dianggap suatu kemenangan
bagi idea yang dianjurkan oleh kalangan Bani Hasyim setelah kewafatan
Rasulullah SAW, agar jabatan khalifah diserahkan kepada keluarga Rasul dan
sanak saudaranya. Tetapi idea ini telah dikalahkan di zaman permulaan Islam, di
mana pemikiran Islam yang sehat menetapkan bahwa jabatan khalifah itu adalah
milik kepunyaan seluruh kaum Muslimin, dan mereka berhak melantik siapa saja
antara kalangan mereka untuk menjadi ketua setelah mendapat dukungan. Tetapi
orang-orang Parsi yang masih berpegang kepada prinsip tersebut, sehingga mereka
berhasil membawah Bani Hasyim ke tampuk pemerintahan.Selama dinasti ini
berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, dan budaya.
Zaman pemerintahan Abbasiyah yang
pertama merupakan puncak zaman sejarah Islam. Di zaman ini kaum Muslimin mulai
berhubungan dengan kebudayaan-kebudayaan asing seperti kebudayaan parsia,
kebudayaan hindu, dan kebudayaan Greek, dan telah menterjemahkan karya-karya
penyelidikan yang terpenting kedalam bahasa arab. Walaupun banyak sumber-sumber
asli yang diterjemahkan itu telah hilang, dan yang tertinggal hanya
terjemahan-terjemahan dalam bahasa arab saja, namun terus terpelihara sebagai
kebudayaan-kebudayaan yang amat tinggi tinggi nilainya.
B.
Sejarah Lahirnya Dinasti Abbasiyah
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah
melanjutkan kekuasaan Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah. pemerintahan
abbasiyah adalah berketurunan dari pada al-abbas, paman Nabi SAW. Pendiri
kerajaan al – abbas, ialah Abdullah as-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-abbas. Secara
kronologis, nama abasiyah menunjukakan nenek moyang dari al-Abbas, Ali bin Abi
Thalib dan Nabi Muhammad.Kemunculan pemerintahan
Abbasiyah dianggap sebagai suatu kemenangan pemikiran dikalangan Bani Hasyim (Alawiyun)
yang berpendapat setelah Rasulullah SAW wafat, keturunan beliau yang berhak
diangkat untuk jabatan khalifah.
Menjelang akhir Daulah Umayyah 1,
terjadi berbagai macam kekacauan, antara lain:
1.
Penindasan yang terus menerus
terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim pada umumnya
2.
Merendahkan kaum muslimin yang
bukan bangsa arab sehingga mereka tidak diberikan kesempatan dalam pemerintahan
3.
Pelanggaran terhadap ajaran islam
dan HAM dengan cara terang-terangan.
Oleh karena itu, logis
kalau Bani Hasyim mencari jalan keluar dengan mendirikan gerakan rahasia untuk
menumbangkan Daulah Umayyah. Pemikiran
seperti itu mendapat tantangan diawal masa islam, yang berpendapat bahwa
kekuasaan adalah hak semua kaum muslimin, siapapun berhak selama mampu memegang
amanah sebagai khalifah.Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,dari tahun 132 H (750 M) s. d 656
H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
Peradaban dan kebudayaan islam
berkembang dan tumbuh mencapai kejayaan pada masa Bani Abbcasiyah. Hal ini
dikarenakan pada masa Dinasti Abbasiyah lebih menekankan pada perkembangan
peradaban dan kebudayaan islam dari pada perluasan wilayah. Disinilah letak
perbedaan pokok Dinasti Abbasiyah dengan Dinasti Umayyah.
.Pada pandangan publik umumya, golongan alawiyun adalah
lebih dekat kepada Rasulullah SAW, karena kedudukan Fatimah yang menjadi anak
baginda, dan juga karena kedudukan Ali yang menjadi sepupu dan menantu baginda.
Kemudian
karena keutamaan Ali yang telah memeluk agam islam lebih dahulu dari yang lain
– lain serta perjuangannya yang terkenal untuk menegakkan islam. Tetapi
golongan Abbasiyah setelah berkuasa lantas mengumumkan bahwa mereka lebih utama
dari Bani Hasyim untuk mewarisi Rasulullah SAW karena moyang mereka adalah
paman baginda dan pusaka peninggalan tidak boleh diperoleh oleh pihak sepupu,
jika ada paman dan keturunan dari anak perempuan tidak mewarisi pusaka datuk
dengan adanya pihak ‘ashabah.
Pada tahun 656 H, kaum tatar melanggar dunia islam,
membunuh khalifah Abbasiyah serta kaum keluarganya dan mengumumkan berakhirnya
pemerintahan Abasiyah. tempo yang begitu lama dinikmati oleh golongan Abbasiyah
ketika memegang tampuk pemerintahan, tidak bearti bahwa kekuasaan para
khalifahnya sama sejajar. Sebaliknya
kekuasaan tersebut adalah berbeda-beda yang menyebabkan para pengkaji
membagikan tempo pemerintahan Abbasiyah kepada beberapa priode.
Secara garis besar bani Abbasiyah
terbagi atas empat priode yaitu :Priode pertama, pemerintahan berada
ditangan khalifah yang terdiri dari orang-orang arab, pendiri abbasiyah (Arab):
1) Abu
Abbas al-Saffah 132-136 H/749-774M.
2) Abu
Ja’far al-Manshur 136-158H/753-774M.
3) Abu
Abdullah Muhammad al-Mahdi 158-169H/774-785M.
4) Abu
Musa al-Hadi 169 -170H/785-786M.
5) Abu
Ja’far Harun al-Rasyid 170-193H/786-808M.
6) Abu
Musa Muhammad al-Amin 193-198H/808-813M.
7) Abu
Ja’far Abdullah al-Ma’mun 198-218H/813-833M.
8) Abu
Ishak Muhammad al-Mu’tashim 218-227H/833-841M.
9) Abu
Ja’far Harun al-Watsiq 227-232H/841-846M.
10) Abu
Fadhl Ja’far al-Muttawakkil 232-247H/846-867M.
Periode kedua, ini kekuasan politik
berpindah dari tangan para khalifah kepada golongan ( kaum turki, Golongan Bani
Buwaih dan Golongan Saljuq ).
1) Abu
Ja’far Muhammad al-Muntasir 247 H.
2) Abu
Abbas Ahmad al-Musta’in 248 H.
3) Abu
Abdullah Muhammad al-mu’taz 252 H.
4) Abu
Ishak Muhammad al-Muhtadi 255 H.
5) Abu
Abbas Ahmad al-Mu’tamid 256 H.
6) Abu
Abbas Ahmad al-Mu’tadhid 279 H.
7) Abu
Muhammad Ali al-Muktafi 289 H.
8) Abdul Fadhl Ja’far al-Muqtadir 295 H.
9) Abu
Mansur Muhammad al-Qahir 320 H.
10) Abu
Abbas Ahmad ar-Radhi 322 H.
11) Abu
Ishak Ibrahim Al-Muttaqi 329 H.
12) Abu
Qosim Abdullah al-Mustakfi 333 H.
Periode ketiga, Apabila
sultan-sultan bani Saljuq menjadi lemah, kerajaan mereka mulai mengalami keruntuhan
dan pecah belah, dan segala urusan pemerintah diurus oleh sekelompok para
pemerintah yang banyak diantaranya dikenali dengan gelar Syah dan Atbak. Adapun nama-nama
khlaifaf pada priode ini ialah :
1) Abu
Qasim al-Mufadhdhal al-Muthi’ 333 H
2) Abu
Fadhl Abdul karim at-tha’I 334 H
3) Abu
Abbas Ahmad al-Qadir 381 H
4) Abu
Ja’far Abdulah al-Qa’im 422 H.
Periode keempat, pemerintahan
dikendalikan Saljuq, Khalifah hanya simbol, tidak memiliki kekuasaan sama
sekali.
1) Abul
Qasim Abdullah al-Muqtadi 467-487 H/1075-1094 M.
2) Abul
Abbas Ahmad al-Mustazhir 487-512H/1094-1118 M.
3) Abu
Manshur al-fadl al-Mustarsyid 512-529 H/1118-1135 M.
4) Abu
Ja’far al-Mansur ar-Rasyid 529-530 H/1135-1136 M.
5) Abu
Abdullah Muhammad al-Muqtafi 503-555H/1136-1160M
6) Abul
Muzhaffar al-Mustanjid 555-566 H/1160-1170M.
7) Abu
Muhammad al-Hasan al-Mustadi’ 566-575H/1170-1179M
8) Abu
Abbas Ahmad an-Nashir 575-622 H/1179-1225M
9) Abu
Nasr Muhammad az-Zahir 622-623 H/1225-1226M
10) Abu
Ja’far al-Mansur al-Muntasir 623-640 H/1226-1242 M
11) Abu
Ahmad Abdullah al-Musta’shim 640-656H/1242-1258M.
C. Berdirinya
Dinasti Abbasiyah
Al-mansur pendiri
sejati Dinasti Abbasiyah, babak ketiga dalam drama besar politik islam dibuka
dengan peran penting yang dimainkan oleh Khalifah Abû al-‘Abbâs (750-754). Irak
menjadi panggung drama besar itu. Dalam khutbah penobatannya, yang disampaikan
setahun sebelumnya dimasjid kufah, khalifah abbasiyah pertama itu menyebut
dirinya al-saffâh. Penumpah darah yang kemudian menjadi julukannya.
Julukan itu pertanda buruk, karena dinasti yang baru yang muncul ini
mengisyaratkan bahwa mereka lebih mengutamakan kekuatan dalam menjalankan
kebijakannya.
Dalam menghancurkan
lawan, al-Mansur tidak segan-segan membunuh sekutu yang membawa keluarganya
pada kekuasaan. Abu Muslim karena dianggap akan menjadi saingan berbahaya di
Khurasan, diundang datang kebaghdad tetapi kemudian diadili dan dijatuhi
hukuman mati. Dalam usaha mempertahankan kekuasaan Bani Abbas, al-mansur
memakai kekerasan.
Al-mansur kelihatannya
merasa kurang aman ditengah-tengah orang arab, maka ia dirikan ibu kota baru
sebagai ganti Damaskus. Baghdad didirikan didekat berkas ibu kota Persia,
Ctesiphon, pada tahun 762 M. Bani Abbas sekarang berada ditengah-tengah bangsa
Persia. Dalam soal pemerintahan al-mansur mengadakan tradisi baru dengan
mengangkat Wazir yang membawahi kepala-kepala departemen. Untuk memegang
jabatan wazir itu ia pilih kholid ibn Barmak, seorang yang berasal dari Balkh
(Bactra) di Persia.
Untuk pertama kalinya
dalam sejarah islam, disisi singgasana khalifah tergelar karpet yang digunakan
sebagai tempat eksekusi. Al-saffâh menjadi pendiri dinasti arab islam ketiga
setelah khulafâ al-Râsyidûn dan Dinasti Umayyah yang sangat besar dan berusia
lama. Dari 750 M-1258 M, penerus abû al-‘Abbâs memegang pemerintahan, meskipun
mereka selalu tidak berkuasa. Ketika berhasil merebut kekuasaan, orang
abbasiyah mengklaim dirinya sebagai pengusung konsep sejati kekhalifahan, yaitu
gagasan Negara teokrasi, yang menggantkan pemerintahan sekuler (Mulk)
Dinasti Umayyah.
Dalam satu hal,
terdapat perbedaan yang sangat mendasar, Dinasti Umayyah terdiri atas orang
arab, sementara Dinasti Abbasiyah lebih bersifat internasional. Dinasti
Abbasiyah merupakan kerajaan orang islam baru, tempat orang arab hanya menjadi
salah satu unsure dari berbagai bangsa yang membentuk kerajaan itu. Al-saffâh meninggal (754)
karena penyakit cacar air ketika berusia 30-an.
Saudaranya yang juga
penerusnya, Abû ja’far (754-775) yang mendapat julukan al-Manshûr adalah
khalifah terbesar dinasti ababsiyah, meskipun bukan seorang muslim yang saleh.
Dialah sebenarnya, bukan al-saffâh, yang benar-benar membangun dinasti baru
itu. Seluruh khalifah yang berjumlah 35 orang berasal dari garis keturunannya.
Pamannya, ‘Abdullâh, pahlawan perang Zab yang menjadi gubernur suriah.
Merebutkan kekhalifahan dengan keponakannya, tetapi berhasil dikalahkan oleh
Abû Muslim diNisibis.
Dinasti Abbasiyah,
seperti halnya dinasti lain dalam sejarah islam, mencapai masa kejayaan politik
dan intelektual mereka setelah didirikan. Kekhalifahan Baghdad yang didirikan
oleh al-saffâh dan al-manshûr mencapai masa keemasannya antara masa khalifah
ketiga, al-mahdî, dan khalifah kesembilan, al-wâtsiq dan lebih khusus lagi pada
masa hârûn al-rasyîd dan anaknya, al-ma’mûn. Terutama kerena kedua khalifah
yang itulah dinasti Abbasiyah memiliki kesan baik daam ingatan publik, dan
menjadi dinasti paling terkenal dalam sejarah islam.
D.
Kemajuan Dinasti Abbasiyah
Puncak kejayaan daulah Abbasiyah terjadi pada masa
Khalifah Harun al-Rasyid dan putranya, al-Ma’mun serta khalifah-khalifah
sesudahnya hingga sampai masa Al-Mutawakkil. Pada masa Harun al-Rasyid,
kekayaan negara yang banyak sebagian besar dipergunakan untuk mendirikan rumah
sakit, membiayai pendidikan kedoteran dan farmasi. Sementara pada masa
al-Ma’mun, digunakan untuk menggaji penterjemah dari golongan Kristen, Sabi,
dan bahkan penyembah binatang untuk menterjemahkan buku bahasa asing kedalam
bahasa arab serta mendirikan Bait al-Hikmah sebagai pusat penterjemah dan
akademi yang dilengkapi dengan perpustakaan.
Kemajuan peradaban Islam sebagian
disebabkan oleh stabilitas politik dan kemajuan ekonomi kerajaan yang pusat
kekuasaannya terletak di Baghdad. Adapun kemajuan peradaban Islam yang dibuat
oleh Dinasti Abbasiyah ialah :
1.
Bidang Politik dan Pemerintahan
Kemajuan politik dan pemerintahan yang
dilakukan oleh dinasti Abbasiyah ialah memindahkan pusat pemerintahan dari
damaskus ke Baghdad. Kemudian dijadikannya sebagai pusat kegiatan politik
,ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Pada masa pemerintahan Abbasiyah priode
1, kebijakan politik yang dikembangkan antara lain.
a.
Memindahkan ibu kota Negara dari
Damaskus ke Baghdad
b.
Memusnahkan keturunan Bani Umayyah
c.
Merangkul orang-orang Persia,
dalam rangka politik, memperkuat diri, Abbasiyah member peluang dan kesempatan
yang besar kepada kaum Mawali.
d.
Menumpas pemberontakan-pemrontakan
e.
Menghapus politik kasta.
2.
Ilmu Pengetahuan Dan Lembaga
Pendidikan
Ilmu pengetahuan sangat berkembang
pada masa Bani Abbasiyah. Ada dua kelompok ilmu pengetahuan yang berkembang
pada masa Bani Abbas, yaitu ilmu naqliyah dan ilmu aqliyah.
Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase.Fase
pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid.Buku-buku
yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq.Fase
kedua, pada masa al-Makmun hingga tahun 300 H. Buku-buku dalam bidang
filsafat dan kedokteran adalah yang paling banyak diterjemahkan.Fase ketiga,
berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan
kertas.Selanjutnya bidang-bidang ilmu lainnya yang diterjemahkan semakin
meluas.
Kemajuan ilmu pengetahuan pada masa dinasti Abbasiyah
ialah ilmu pengetahuan agama.Maksudnya ialah ilmu-ilmu yang muncul
ditengah-tengah suasana hidup keislaman berkaitan dengan agama dan bahasa
Al-qur’an.Misalnya dalam bidang Ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu kalam dan ilm
fiqh.
a)
Ilmu Tafsir
Pada masa Abbasiyah ilmu tafsir
mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan dilakukannya penafsiran secara
sistematis, berangkai dan menyeluruh serta terpisah dari hadis.
b)
Ilmu Hadis
Dizaman Abbasiyah
juga muncul ulama-ulama hadis yang belum ada tandingannya sampai sekarang.
Diantaranya ialah imam Al-Buqhari dan imam Muslim, terkenal sebagai seorang
ulama hadis dengan bukunya shahih muslim. Perlu diketahui bahwa
pengkodifikasian hadis sebelum masa abbasiyah dilakukan tampa mengadakan
penyaringan sehingga bercampur antara hadis Nabi saw dan yang bukan dari Nabi.
Sebelum penyaringan hadis
dilakukan, sebenarnya imam malik telah menyusun kitabnya yang terkenal,
al-Muwaththa’ yang telah tersusun secara bab per bab. Namun masih bercampur
antara hadis Rasulullah, perkataan sahabat dan fatwa tabiin. Pada abad ke-3 H,
para ulama islam mulai berusaha secara maksimal untuk menyeleksi dan menyaring
hadis dengan melakukan pemilahan antara hadis yang sahih dengan yang daif,
serta menjelaskan kulitas perawi hadisnya.
c) Ilmu Kalam
Ilmu kalam terlahir karena dorongan untuk membela islam
dengan pemikiran-pemikiran filsafat dari serangan orang-orang Kristen Yahudi
yang mempergunakan senjata filsafat, dan untuk mmemecahkan persoalan-persoalan
agama dengan kemampuan akal pikiran dan ilmu pengetahuan.
Perkembangan ilmu kalam pada masa
ini telah berjasa besar dalam upaya memelihara dan membentengi aqidah islam
dengan menggunakan argumentasi manthiqi dan filosofis rasional. Kita mengenal Baitul
Hikmah sebuah tempat kajian ilmu pengetahuan Bani Abbasiyah. Priode awal ini
memiliki andil yang cukup besar terhadap peradaban islam dan sunia umumnya.
d) Ilmu
Fiqh
Diantara kebanggaan zaman
pemerintahan Abbasiyah pertama adalah terdapatnya empat imam mazhab fiqh yang
ulung. Mereka adalah Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad bin
Hanbal. Keempat imam mazhab ini adalah merupakan para ulama fiqh yang paling
agung dan tiada tandinginya didunia islam.
E.
Kemunduran Bani Abbasiyah
Apapun yang ada didunia ini
terbukti tidak ada yang langgeng ataupun abadi. Semua akan berjalan dari bawah
sampai puncak dan akhirnya turun kembali. Seberapapun besarnya, seberapapun
jayanya suatu Negara pasti akan mengalami suatu kemunduran. Begitu pula dengan
Dinasti Abbasiyah yang mengalami berbagai kemajuan diberbagai bidang kehidupan.
Pendiri Bani Abbas tahun 750-857 M akhirnya mengalami keunduran.
Segala sesuatu didunia
ini berjalan menurut hukum sebab akibat, apa yang terjadi pastilah ada
sebabnya. Dinasti Abbasiyah yang begitu maju dan besar akhirnya mengalami
kemunduran yang begitu drastis. Namun, kemunduran Abbasiyah ini tidak terjadi
begitu saja melainkan ada faktor penyebab terjadinya kemunduran.
a. Faktor Internal
1.
Perbedaan Paham Para Ahli
Teologi
Intelektual dizaman daulah Abbasiyah diawali dengan
berkembangnya perhatian pada dua sumber utama dalam islam yaitu Al-Qura’an dan
Hadis. Dari dua sember utama inilah lalu lahir berbagai ilmu seperti halnya
teologi.Teologi yang merupakan ilmu yang membahas tentang Tuhan, dan juga
kedudukan manusia dalam kekuasaan mutlak Tuhan seperti kebebasan berkehendak,
kedudukan akal dan lain-lain. Persoalan ini
melahirkan para ahli dengan berbagai ragam perbedaan-perbedaan pendapat
mereka.
Terbukti bahwa keberadaan berbagai
macam pemikiran yang melahirkan aliran-aliran keagamaan menimbulkan polemik
internal pada Pemerintahan Daulah Abbasiyah.Masing-masing para ahli dan ulama
mengklaim bahwa pemikirannya adalah yang paling benar untuk dijadikan ideologi
dalam pemerintahan.Seperti konflik yang terjadi antara Syi’ah dan Sunni.Pada
masa Khalifah al-Mutawakkil (847-861M.), beliau memerintahkan agar makam Husein di Karbela
dihancurkan.Namun anaknya al-Muntashir (861-862 M.)kembali memperkenankan orang
Syi’ah menziarahi makam Husein tersebut.Bahkan al-Muntashir turut membantu dalam pembunuhan
ayahnya (al-Mutawakkil) agar dia dapat menduduki jabatan khalifah. Namun baru 6
bulan dia menjadi khalifah, ia mati diracun oleh para jenderalnya sendiri.
Demikian
juga aliran Muktazilah yang pernah menjadi ideologi pemerintahan pada masa
al-Makmun, Khalifah ke tujuh Daulah Abbasiyah.Muktazilah
yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bidah oleh golongan salaf.Pada
masa al-Mutawakkil, aliaran Muktazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan
digantikan oleh aliran Salaf.Akan tetapi pada masa pemerintahan dipimpin oleh
Bani Buwaih (945-1055 M).Muktazilah kembali menjadi ideologi negara.Dan pada
periode berikutnya ketika pemerintahan dikuasai oleh suku Seljuk (1055-1258 M).Aliran
Asy’ariyah menjadi ideologi pemerintahan setelah menyingkirkan aliran
Muktazilah dengan dukungan para penguasa yang berpaham Asy’ariyah.
Demikian juga konflik yang
terjadi antara orang beriman dengan golongan Zindiq (Tidak Bertuhan) berlanjut
mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti
polemik tentang ajaran sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan
darah di antara kedua belah pihak.
2.
Perebutan Kekuasaan Di Pusat Pemerintahan
Perebutan kekuasaan keluarga Bani Abbasiyah dimulai
sejak Al-ma’mun dengan Al-amin. Ditambah dengan masuknya unsur turki dan
Persia. Setelah Al-mutawakkil wafat, pergantian khalifah terjadi secara tidak
wajar. Dari kedua belas khalifah pada priode kedus dinasti abbasiyah, hanya
empat orang khalifah yang wafat dengan wajar. Selebihnya para khalifah wafat
karena dibunuh atau diracun dan diturunkan secara paksa.
Sudah menjadi kewajiban bahwa setiap kekuasaan akan
dipimpin oleh orang-orang yang berpengaruh secara bergantian, baik secara
konstitusional ataupun pemberontakan bahkan pemaksaan. Daulah Abbasiyah, yang
berkuasa sampai 5 abad, tak terlepas dari suksesi khalifah yang masing-masing
mempunyai kelebihan dan kelemahan dalam mengembangkan pemerintahan.
Pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah perebutan
kekuasaan secara mencolok terlihat pada periode kedua dan seterusnya.Disini
tidak ada usaha untuk merebut jabatan kekhalifahan dari Bani Abbas, yang ada
adalah usaha merebut kekuasannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap di
pegang oleh Bani Abbas.Hal ini terjadi karena khalifah sudah dianggap sebagai
jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi.
3.
Gaya Hidup Mewah Para Penguasa
Puncak keemasan Daulah Abbasiyah terjadi pada periode
pertama, kalaupun ada konflik politik yang terjadi tidaklah berakibat fatal
bagi integritas pemerintahan karena para khalifah sebagai kepala pemerintahan
dapat menyelesaikannya secara bijaksana. Masa keemasan ini terjadi dengan
berkembangnya peradaban dan kebudayaan serta ilmu pengetahuan. Perkembangan
peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang diraih oleh Dinasti
Abbasiyah pada periode pertam ini telah mendorong para penguasa untuk hidup
mewah bahkan
sering mencolok. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah dari pada
pendahulunya. Kondisi ini berpeluang kepada tentara professional asal turki
untuk mengambil alih kendali pemerintahan.
Pada periode selanjutnya
terjadilah perubahan kebiasaan para khalifah ke arah kehidupan yang serba mewah
dan berfoya-foya bahkan cenderung
mencolok. Gaya hidup ini ditiru oleh para pejabat dan keluarga istana.Kondisi
ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki untuk mengambil alih
kendali pemerintahan. Dan secara bergantian kendali pemerintahan di pegang oleh
suku-suku non arab yang bukan dari keturunan Bani Abbas.
4.
Dinasti-dinasti kecil yang
Memerdekakan Diri (Disintegrasi)
Berbagai kemelut yang
terjadi di dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah, menyebabkan roda pemerintahan
terganggu dan rakyat menjadi miskin.Perekonomian negara mengalami penurunan
karena tidak seimbangnya pendapatan negara dengan pengeluaran yang disebabkan
oleh para pejabat yang bergaya hidup mewah serta kurangnya pendapatan pajak
dari daerah.
Kondisi ini memberi
peluang kepada tentara profesional yang
berasal dari suku non arab mengambil kendali pemerintahan. Sehingga kekuasaan
sesungguhnya berada di tangan mereka.Silih berganti mereka mengendalikan
pemerintahan selama ± 400 tahun.Hingga akhirnya kelemahan pemerintahan terjadi
yang menyebabkan terjadinya disintegrasi dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah.
Situasi ini menyebabkan lahirnya pemimpin yang berupaya
mendirikan kerajaan baru di daerahnya dan terlepas dari pengaruh Abbasiyah
seperti Daulah Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Marokko. Selain itu gubernur yang awalnya merupakan jabatan yang
diberikan khalifah, karena kedudukannya semakin kuat sementara khalifah di
pusat pemerintahan semakin lemah, mengambil kesempatan untuk membuat kerajaan
sendiri.
Disintegrasi memuncak pada daulah Abbasiyah ketika para
khalifah menjadi boneka dalam tangan tentara pengawal.Daerah-daerah yang jauh
letaknya dari pusat pemerintahan di Damaskus dan di Bagdad melepaskan diri dari
kekuasaan khalifah di pusat dan bermunculanlah dinasti-dinasti kecil.
Golongan Syi’ah yang pada mulanya sekutu Bani Abbas,
mulai melancarkan aksi penentangan terhadap pemerintahan.Di tahun 869 M timbul
pemberontakan kaum Zanj di bawah pimpinan Ali Ibn Muhammad.Kaum Zanj adalah
budak-budak yang didatangkan dari Afrika untuk bekerja di pertambangan di
Irak.Dari tahun 870 M sampai 883 M kekuasaan Bani Abbas dikacau oleh
pemberontakan Zanj ini.
Gerakan lain adalah gerakan
Qaramitah yang dimulai tahun 874 M oleh Hamdan Qarmat, seorang penganut faham
Syi’ah Ismailiyah di Irak. Mereka
membentuk negara merdeka di Teluk Persia, yang kemudian menjadi pusat kegiatan
mereka dalam menentang pemerintahan Daulah Abbasiyah.Di tahun 930 serangan
mereka meluas sampai ke Mekkah. Sewaktu pulang mereka membawa lari al-Hajr
al-Aswad yang dikembalikan baru 20
tahun kemudian.
Sementara itu ada pula pemuka-pemuka syi’ah yang dapat membentuk dinasti yang
menguasai daerah-daerah tertentu. Salah satu diantaranya ialah Ahmad Ibn
Buwaihi yang dapat menguasai as-fahan, Syiraz dan Kirman diPersia. Ditahun 945
M, ia mengadakan serangan kebaghdad dan dinasti buwaihi menguasai ibu kota Bani
Abbas. Khalifah-khalifahnya tetap diakui, tetapi kekuasaan dipegang oleh
sultan-sultan Buwaihi.
5.
Faktor militer
Hidup dalam keadaan ekonomi
yang makmur, membuat kaum elit Bani Abbasiyah enggan lagi berperang. Kaum elit
hidup bermewah-mewahan. Penguasa Bani Abbasiyah amat bergantung kepada tentara
turki. Terabainya membangun kesatuan militer membuat Bani Abbas keropos dari
pertahanan.
6.
Kemerosotan Ekonomi
Sejalan
dengan kemunduran di bidang politik, Daulah Abbasiyah juga mengalami
kemerosotan di bidang ekonomi. Pada periode awal Daulah Abbasiyah adalah
kerajaan yang kaya dan yang masuk lebih besar dari dana yang keluar sehingga
Bait al-Mal penuh dengan harta. Yang berasal dari Pajak daerah kekuasaan dan
pajak hasil bumi.
Setelah khalifah memasuki
periode kemunduran, pendapatan negara menurun, sementara pengeluran meningkat
lebih besar.gejolak –gejolak terjadi di tengah masyarakat akibat pembebanan
pajak yang tinggi. Hal ini
disebabkan oleh makin sempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi
pemberontakan yang mengganggu perekonomian, dan banyaknya dinasti-dinasti yang
memerdekakan diri sehingga mereka tidak lagi membayar pajak ke pemerintahan.
Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat
semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan
korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara
morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan
politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini salingberkaitan dan tak
terpisahkan. Munculnya aliran-aliran sesat dan fanatisme kesukuan.
Fanatisme
keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang
Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka
mempropagandakan ajaran Manuisme Zoroasterime dan Mazdakisme. Munculnya gerakan
yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah.
Al-Mansur berusaha keras memberantasnya, bahkan Al-Mahdi merasa perlu
mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan
melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak
menghentikan kegiatan mereka.
Konflik
antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang
sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik
bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan
Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata Pada saat gerakan ini mulai
tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga
banyak aliran Syi'ah yang dipandangghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang
oleh penganut Syi'ah sendiri.
Aliran
Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islamyang berhadapan dengan
paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang
juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam
Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862
M.), kembali memperkenankan orang syi’ah menziarahi makam Husein tersebut.
Syi'ah
pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari
seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir
adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad dan sunni.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim
dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran dalam
Islam. Mu'tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh
golongan salafy. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh
al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan
Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa
al-Mutawakkil (847-861 M).
Aliran
Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan Sunni kembali naik
daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali terhadap Mu'tazilah yang rasional
dipandang oleh tokoh-tokoh ahli filsafat telah menyempitkan horizon intelektual
padahal para salaf telah berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam secara murni
sesuai dengn yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
Aliran
Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa Dinasti
Seljuk yang menganut paham Sunni, penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai
dilakukan secara sistematis.
Dengan didukung penguasa aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya.
Pikiran-pikiran al-Ghazali yang mendukung aliran ini menjadi ciri utama paham
Ahlussunnah. Pemikiran-pemikiran tersebut mempunyai efek yang tidak
menguntungkan bagi pengembangan kreativitas intelektual Islam konon sampai
sekarang.
Faktor-faktor internal ini
lebih banyak berperan sebagai faktor penyebab kehancuran kekhalifahan ketimbang
faktor eksternal. Serangan bangsa Mongol kendati begitu dahsat nyatanya cuma berperan sebagai senjata pamungkas yang meruntuhkan kekhalifahan.
b. Faktor Eksternal
1.
Perang Salib
Terjadinya perang salib
adalah dipicu oleh rasa kebencian ummat kristen kepada ummat Islam. Puncak
kebencian itu adalah ketika Daulah Abbasiyah di kuasai oleh bani Seljuk.Ketika
Bani Seljuk berhasil merebut Bait al-Maqdis dari dinasti Fatimiyah yang
berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan beberpa peraturan bagi ummat
kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan ini dirasakan sangat
menyulitkan mereka. Maka untuk mengambil kembali keleluasaan untuk berziarah ke
tanah suci mereka itu, pada tahun 1095 M Paus Urbanus II berseru kepada ummat
kristen di eropa supaya melakukan perang suci. Perang ini kemudian dikenal
dengan nama Perang Salib.
Disebutkan bahwa Hulagu
Khan sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha
dan Kristen, Gereja-gereja kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang
anti Islam. Tentara Mongol setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.
Akibat dari perang salib
ini adalah kerugian yang dialami ummat Islam besar sekali karena perang salib
terjadi di wilayah kekuasaan ummat Islam.Kerugian-kerugian ini mengakibatkan
kekuatan politik ummat Islam menjadi lemah.Dalam kondisi demikian, mereka
bukannya bersatu tapi malah terpecah belah.Banyak dinasti kecil yang
memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Daulah Abbasiyah di Baghdad.
2.
Serangan Bangsa Mongol
Sebagai mana biasanya
bangsa nomad, bangsa Mongol mempunyai watak yang kasar, suka berperang, dan
berani menghadapi maut dalam mencapai keinginannya.Akan tetapi mereka sangat
patuh kepada pimpinannya.Mereka menganut agama Syamaniah menyembah binatang-binatang
dan sujut kepada matahari yang sedang terbit. Mereka menjadikan posisi wanita
sama dengan laki-laki dalam tugas di medan perang. Kemajuan bangsa Mongol
secara besar-besaran terjadi pada masa kepemimpinan Yasugi Bahadur Khan.
Pada tahun 656H/1258M, tentara
Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad,
khalifah al-Mu’tashim, penguasa terakhir Daulah Abbasiyah di Baghdad
betul-betul tidak mampu membendung tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu
Khan. Pada saat krisis tersebut wazir khalifah Abbasiyah Ibnu al-Aqlami ingin
mengambil kesempatan denganmenipu khalifah. Ia mengatakan kepada khalifah:”Saya
telah menemui mereka untuk perjanjian damai. Raja Hulagu Khan ingin mengawinkan
anak perempuannya dengan Abu Bakr putra khalifah. Dengan demikian Hulagu Khan
akan menjamin posisimu. Ia tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan,
sebagaimana kakek-kakekmu terhadap sultan-sultan Seljuk.
Dengan pembunuhan yang kejam ini , berakhirlah
kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Kota Baghdad
sendiri dihancurkan rata dengan tanah. Akan tetapi walaupun sudah hancur Hulagu
Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun sebelum melanjutkan
gerakannya ke Mesir dan Syiria.
F.
Kehidupan
keluargaDan
gaya Kehidupan
Masyarakat
Pada
awal Dinasti Abbasiyah, kaum wanita cenderung menikmati tingkat kebebasan yang
sama dengan kaum pria. Tapi menjelang abad ke-10, pada masa Dinasti Buwayhi,
sistem pemingitan ketat perempuan sudah menjadi fenomena umum. Pada masa
kemundurannya, yang ditanadai perseliran yang berlebihan, merosotnya moralitas
seksual, dan berpoya-poya dalam kemewahan, posisi perempuan menukik tajam
seperti yang disebutkan dalam kisah seribu satu malam. Di mana perempuan
dianggap sebagai perwujudan dari sikap licik dan khianat, serta wadah dari bagi
semua perilaku tercela dan pemikiran tidak berguna.
Pernikahan
dipandang sebagai kewajiban yang positif, yang meniscayakan hukukan keras bagi
siapa yang mengabaikannya. Tugas wanita ialah, melayani suaminya, memelihara
anaknya, serta mengatur urusan rumah tangga, sementara waktu luang biasanya
dipakai untuk memintal dan menenun.
Di
rumah-rumah orang berada, nampan-nampan terbuat dari perak, meja kayu yang
dilapisi eboni, dan kulit kerang mutiara. Lalu memuaskan selera makan mereka
dengan menu-menu dari negri-negri peradaban tinggi. Orang yang berbudaya adalah
orang yang memiliki prilaku sopan, menjaga wibawa, berprilaku elegan, tidak
senang bergurau, bersahabat dengan orang yang tepat, memiliki intergritas
tinggi, menepati janji, memelihara kerahasiaan, tidak memakai pakaian kotor dan
bertambal, lalu ketika makan, tidak menyuap makanan secara berlebihan, sedikit
bicara dan tertawa, mengunyah makanan dengan pelan, tidak menjilati jarinya,
menghindari bawang, dan tidak menggunakan siwak saat di kamar kecil, ruang
pertemuan, dan jalanan.
Sistem
kesukuan premitif yang menjadi pola organisasi sosial arab paling mendasar
runtuh pada masa dinasti Abbasiyah, yang didirikan dari berbagai unsur asing.
Bahkan dalam persoalan memilih istri dan ibu untuk anak-anak mereka, para
khalifah tidak menjadikan darah keturunan arab sebagai patokan Di antara keluarga Abbasiyah hanya tiga khalifah yang terlahir dari ibu
yang merseka yaitu Abu al-Abbas,al-Mahdi, dan al-Amin yang terakhir memiliki
keistimewaan karena ayah dan ibunya keturunan nabi.
Minuman
beralkohol sering dikonsumsi bersama ataupun sendiri-sendiri. Hukum Islam
tentang keharaman arak tidak berlaku lagi. Bahkan para khalifah, wazir, putra
mahkota, dan para hakim tidak lagi peduli akan hukum agama. Para sarjana,
penyair, musisi, dan penyanyi sering berkumpul bersama. Khamr, yang dibuat dari
kurma merupakan minuman favorit. Ibn Khaldum berargumen bahwa tokoh seperti
al-Rasyid dan al-Ma’mun hanya meminum nabidz-perasaan anggur atau kurma yang
mengalami fermentasi alami- yang dianggap itu halal oleh mazhab Hanafi.
Salah satu gaya hidup dan kebiasaan
masyarakat pada priode abasiyah adalah berendam ditempat pemandian umum.
Tempat pemandian umum (hammâm) telah sedemikian populer, bukan saja
untuk bersuci, tapi juga sebagai tempat untuk bersenang-senang dan bagian dari
kemewahan.
Hal lain yang bisa menunjukkan tingkat
kemakmuran dan peradaban dimasa itu adalah pemanfaatan waktu luang. Misalnya
catur (Syitranjâ) yang dimasyarakatkan pertama kali oleh al-Rasyîd
dimasa kekhalifahannya. Begitupun panahan, polo ( juka>m, dari bahasa
persia, Chawgan, yang berarti tongkat bengkok), bola dan pemukul (Sawlajân,
mirip kriket dan hokey), lempar lembing (Jarîd), memelihara
sekaligus melatih elang dan cheetah untuk berburu,lomba berkuda dan berburu.
Al-Mu’tashim adalah salah seorang khalifah yang senang bermain polo.
Pada masa kemundurannya, praktik
perseliran secara berlebihan banyak dilakukan petinggi-petinggi pemerintahan,
merosotnya moralitas seksual, berpoya-poya dalam kemewahan, posisi perempuan
menukik tajam seperti yang disebutkan dalam kisah seribu satu malam, dan
Minuman beralkohol sering disajikan dalam perjamuan-perjamuan.
F. Perbudakan dan Perseliran diera Bani Abbasiyah
Ada dua hal yang sangat dibenci
islam, tetapi diharuskan terjadi, yaitu :
a. perceraian
( talaq ) dan
b. perbudakkan
( ar – riqqu )
Kaum
budak yang paling awal dikenal sebagai Ghilman (istilah lain dari budak) dan
dibeli oleh para khalifah awal Abbasiyah.
Pada pertengahan abad ke-9, budak-budak tersebut telah menjadi unsur dominan
didalam militer. Hingga terjadinya konflik antara ghilman dan penduduk Baghdad
mendorong khalifah al-Mu'tashim untuk memindahkan ibukota ke kota Samarra,
namun hal ini tetap tidak berhasil menenangkan ketegangan yang terjadi;
khalifah al-Mutawakkil dibunuh oleh beberapa budak militer ini di tahun 861.
Penggunaan
tentara mamluk (budak) memberikan penguasa'an pasukan dimana tentara tersebut (
mamluk ) tidak memiliki akses ke setiap struktur kekuasaan yang didirikan.
Prajurit local yang non-mamluk (yang bukan dari budak) seringkali lebih setia
kepada ketua suku mereka, keluarga mereka, atau Bangsawan daripada kepada
sultan atau kepada khalifah. Jika seorang komandan berkomplot melawan penguasa,
hal itu sering kali tidak memungkinkan untuk bekonspirasi, tanpa menimbulkan
keresahan di kalangan bangsawan. Pasukan Budak mamluk adalah orang asing dari
status terendah yang tidak akan bisa berkomplot melawan penguasa dan yang
dengan mudah bisa dihukum jika mereka menimbulkan masalah, sehingga menjadi
aset militer yang besar. Itu sebabnya dinasti abbasiyah memelihara prajurit dan
pengawal dari para budak-budak.
Diantara keluaga Abbasiyah, hanya tiga khalifah yang
terlahir dari ibu yang merdeka : Abû al-Abbâs,al-Mahdî dan al-Amîn.Ibu
al-Manshûr adalah seorang budak Berber,ibu al-Ma’mûn adalah budak persia,ibu
al-Watsîq dan al-Muhtadî berasal dari yunani,ibu al-muktafi dan muqtadir adalah
budak dari turki dan ibu al-Mustadhi berasal dari armenia,ibu harun juga budak
dari negri lain .
Asal mulanya perbudakkan, yaitu
karena terjadi perperangan antara kerajaan (Daulah) islam dengan Negara non
islam. Orang – orang tawanan (pria, wanita, dan anak-anak) dianggap sama dengan
harta rampasan, yang boleh diperjual-belikannya karena kebanyakan wanita-wanita
tawanan dari Persia dan Romawi adalah cantik-cantik, maka mereka dikawini oleh
para pembesar islam, sehingga istana – istana atau rumah-rumah gedung mereka
penuh dengan jariyah-jariyah yang cantik jelita, yang kemudian pada
suatu waktu rumah tempat para jariyah itu dinamakan harem.
Maka terjadilah perdagangan budak
sangat ramai pada saat itu, tidak saja dalam daulah islamiyah, tapi juga dalam
kerajaan - kerajaan lain, dan dikota bagdad terdapat satu jalan yang bernama
syari Daar ar-Raqiq (jalan gedung budak). Oleh karena budak wanita yang akan
diperjual-belikannya akan mendapat harga yang lebih tinggi kalau mereka
bernyanyi, pandai menari, pandai merayu dan pandai serba pekerjaan sulam dan
lukis, maka oleh para saudagar budak, diajarlah mereka dengan pengetahuan atau
keahlian-keahlian tersebut. Dan terjadilah tempat-tempat pendidikan khusus bagi
mereka.Dengan sebab itu, maka berkembanglah dalam kalangan para jariyah itu
berbagai macam cabang kesenian campuran.Yang kemudian menjelma menjadi satu
bentuk (corak) kesenian yang indah tersendiri.
Para pembantu itu hampir semuanya
budak yang direkrut secara paksa dari kalangan non muslim. Baik yang ditawan
pada masa perang atau pada masa damai. Beberapa diantaranya adalah orang negro,
dan ada juga orang kulit putih dan turki. Budak berkulit putih (mamâlik)
kebanyakan kebangsaan yunani, Slavia, Armenia, dan Berber.Budak-budak yang
bekerja di keputren adalah laki – laki yang telah dikebiri (khishyân).Budak
– budak lainnya yang juga dikebiri, yang dikenal dengan sebutan Ghilmân.Yang
menjadi kesayangan bagi tuannya, mengenakan busana yang mahal dan menarik, dan
sering berhias dan mengahrumkan tubuh mereka mirip dengan prempuan.Para ghilmân
ini muncul pada masa al-Rasyid.
Gadis-gadis muda (jawâri) dalam
kelompok budak biasanya menjadi penyanyi, penari, dan selir. Beberapa diantara
mereka memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap khalifah yang menjadi tuan
mereka. Dzât al-khâl (sang mata-mata) merupakan contoh budak semacam itu, yang
dibeli oleh al-Rasyîd seharga 70.000 dirham dan dieserahkan kepadapembantu
laki-lakinya. Setelah bersumpah akan memenuhi apapun permintaan prempuan itu,
al-Rasyîd diriwayatkan mengangkat suami prempuan itu sebagai gubernur diparis
selama tujuh tahun.
Agar tidak lagi tertarik dengan
biduanita lain, istri al-Rasyîd, Zubaydah menghadiahi suaminya 10 gadis muda,
yang salah seorang diantaranya menjadi ibu al-Ma’mûn, dan yang lainnya menjadi
ibu al-Mu’tashim, kisah legendaris tentang Tawaddud, yaitu seorang budak
prempuan yang cantik dan berbakat dalam kisah seribu satu malam ( malam
ke437-462) yang hendak dibeli seharga 100.000 dinar oleh al-Rasyîd setelah ia
lulus dengan sangat memuaskan didepan para sarjana kedokteran, hukum,
astronomi, filsafat musik dan matematika, termasuk retorika, tata bahas, puisi,
sejarah, dan al-qur’an melukiskan betapa tingginya peradaban para gadis muda
itu.
Gagasan tentang maraknya praktik
perbudakkan bisa dilihat dari tingginya budak yang dimiliki oleh keluarga
kerajaan. Diriwayatkan bahwa istana al-Mitaqdir (908-932) memiliki 11.000
laki-laki yunani dan sudan yang dikebiri. Al-Mutawakkil diriwayatkan memiliki
4.000 orang selir yang semuanya
diajak tidur menemaninya.Pda suatu kesempatan al-Mutawakkil menerima sebuah
hadiah sebanyak 100 budak dari salah satu jendralnya.
Telah menajdi tradisi bagi para
gubernur dan jendral untuk mengirim hadiah, termasuk didalamnya para gadis yang
direkrut secara suka rela atau paksa dari para penduduk, kepada khalifah atau
wazir.Tidak member hadiah dinilai sebagai tanda pembrontakan. Al-Ma’mûn
menggunakan para budak memata-matai penerimaanya yang ia curigai atau untuk
menghabisinya jika diperlukan.
soal kepemilikan selir (járiyah)
merupakan salah satu aspek yang terkait erat dengan sistem perbudakkan kala
itu. Perlu diingat, tatkala islam datang, sistem perbudakan sudah merupakan
bagian penting dari kehidupan bangsa arab. Islam tidak hadir untuk melarang
maupun membenarkannya. Namun islam sangat menyarankan praktik pembebasan
terhadap mereka (‘itqh raqabah).
Jumlah gundik-gundik ini semakin
berkembang dalam sejarah imperium islam. Menjadi puluhan pada masa umayyah,
mencapai ratusan pada masa Yazid bin Abdul Malik, dan menembus angka ribuan
pada masa Abbasiyah. Bahkan menembus angka ribuan pada masa Abbasiyah.Yaitu
mencapai angka 4.000 orang sebagaimana kita singgung dalam pembahasan tentang
al-Mutawakkil.Khalifah ini konon meniduri 4.000 gundik selama seperempat abad
masa kepemimpinannya tentu ini merupakan rekor tertinggi kepemimpinan gundik yang
pernah tercatat dalam sejarah.
G. Citra Negatif Khalifah-Khalifah Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah tidak perlu diperkenalkan lagi.karena
ia telah
memperkenalkan dirinya dengan sendirinya lewat figur pendirinya
al-Saffah(SiPenjagal).
Sebagai khalifah yang baru, musuh-musuh ingin menjatuhkannya sebelum ia
bertambah kuat terutama golongan Bani Umayyah, golongan khawarij, bahkan juga
aum syiah. Kaum syiah, setelah melihat bahwa Bani Abbas memonopoli kekuasaan
mulai mengambil sikap menentang.
khalifah pertama Bani Abbasiyah.al-Saffah sungguh layak
menyebut dirinya “Si Penjagal”.kepemimpinannya bermula bermula dari dua
keputusan penting yang tidak ada taranya dalam sejarah.Tak ada orang setelah
al-Saffah yang mampu menandingi apalagi melampaui “prestasi” kebengisannya.yaitu
titahnya untuk mencari kuburan dan memburu apa yang tersisa dari jenazah para
pemimpin bani Umayyah,melecut,menyalib,membakar,dan menabur abunya ke
udara.sejarah mencatatkan apa yang berhasil ia temukan.Kita mulai kisah ini
dengan babak sinopsis sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Atsir.Disaat al-Saffah
sedang melakukan perjamuan yang ramah terhadap Sulaiman bin Hisyam bin Abdul
Malik,Sudaif sang penyair datang sembari melantunkan syairnya :
“Jangan silau akan tampilan seorang Jika sumsum
simpan penyakit mematikan
Hunuskan pedang,sediakan lecutan sampai tak tersisa keluarga Umayyah pun seorang”
Kontan ,Sulaiman tertegun seketika,lalu berkata :” Anda
benar-benar telah membunuhku,wahai Syekh (Sudaif) ! “ al-Saffah pun beranjak
masuk ke ruang pribadinya sambil menarik Sulaiman. Ia menghabisi nyawanya.
Riwayat lain diawali tentang jaminan keamanan yang
diberikan al-Saffah kepada Umayyah yang berjumlah lebih dari 90 orang. seting
peristiwa masih tetap berada di tempat perjamuan makan yang sama.Dan sepanjang
pembuat acara adalah khalifah,kemurahan hati dipastikan akan terjaga.Rasa aman
pun tak pantas di sangka-sangka.tapisecaramengejutkan,seorangpenyair
datang,memprovokasi pembalasan dendam.
al-saffah lalu memerintahkan untuk menghantam kepala
semua mereka dengan pentungan besi.sebagian pecah kepala,tapi jasadnya tetap
bernyawa,dalam kondisi yang mengenaskan.Tatkala al-Saffah menyaksikan sekitar
90 orang yang sedang meregang nyawa,ia meninggikan suara sambil menuturkan
titah “ Gelar permadaniku untuk bersantap secara lesehan diatas mereka! Ia dan
orang-orangnya memulai santapan malam,sementara permadani menari kekanan dan ke
kiri.Tatkala permadani tidak lagi bergerak,mereka pun selesai dari kunyahan
mereka sambil mengucap alhamdulillah dan tahniah kepada tentara dan kerabatnya.
As-Suyuthi menyebutnya dengan
gelar fasik al-Khalifah al-Fasiq Abu al-Abbas. Fakta ini tak hanya diutarakan
oleh pengarang kitab al-Itqan fi `Ulum al-Quran tersebut. Imam ad-Dzahabi dalam
Tarik al-Islam mengungkapkan penyimpangan seksual al-Walid. Ia menulis dengan
kalimat yang sangat terang-benderang, "Al-Walid terkenal pemabuk dan
gay," tulis ad-Dzahabi. Al-Walid akhirnya dibunuh oleh saudaranya Sulaiman
bin Yazid.
Pemandangan serupa juga dengan
mudahnya kita jumpai pada masa Dinasti Abbasiyah. Dalam kitabnya Tarikh,
At-Thabari menggambarkan praktik LGBT di kalangan khalifah Abbasiyah adalah
fenomena yang nyaris umum. Khalifah al- Amin, misalnya, meminta remaja-remaja
laki-laki dan berani membeli mereka mahal untuk memenuhi hasratnya siang dan
malam. Ia menolak perempuan merdeka atau budak. Ibunya pernah mencoba
mengalihkan kebiasaan buruknya itu dengan menyuruh perempuan berpura- pura
sebagai pria, tetapi usahanya gagal.
Pun demikian dengan khalifah al-
Mutawakkil. Al-Mas'udi dalam Mirwaj ad-Dzhahab wa Ma'adin al-Jauhar meng- ung
kapkan, khalifah Abbasiyah ter sebut memiliki pasangan gay bernama Sya- hik.
Sedangkan, al-Mu'tashim konon sangat menyukai budak pria asal Turki dan rela
membelinya dari tuan-tuan mereka. Jumlahnya fantastis (meski perlu diverifikasi
validitasnya) mencapai 4.000 orang. Para pria tersebut dipaksa menjadi pasangan
gay dengan mengenakan baju- baju indah mewah berbalut emas.
Minum-minuman beralkohol sering dikonsumsi bareng-bareng
atau sendiri-sendiri.berdasarkan kisah-kisah yang tidak terhitung
jumlahnyatentang perjamuan dalam berbagai karya seperti Aghânî dan seribu
satu malam,dan dari berbagai nyanyian,dan puisi yang memuji-muji arak
minuman anggur (khamrîyát) oleh Abu Nuwas,khalifah sehari,Ibn al-Mu’tazz
dan para penyair semasanya. Hukum haram yang menjadi salah satu ciri khas hukum
islam,tidak lagi diterapkan seperti halnya amandemen konstitusi Amerika abad
ke-18.Bahkan para khalifah,wazir,putra mahkota,dan para hakim tidak lagi peduli
dengan ketentuan agama.para sarjana,penyair,penyanyi,dan musisi sering
berkumpul bersama. Praktik ini, yang berasal dari persia,telah melembaga pada
masa awal Dinasti Abbasiyahdan menjadi profesi pada masa harun al-rasyîd.selain
al-Rasyid, al-Hadi,al-Amîn,al-Ma’mûn,al-Mu’tasim al-Watsîq,dan al-Mutawakkil
terbiasa meminum arak.
Pesta persahabatan yang menyajikan arak dan nyanyian
menjadi hal yang lazim di jumpai.para biduanita yang berpartisipasi dalam
perjamuan semacam itu kebanyakan adalah para budak tuna susila.gambaran tentang
sebuah rumah khusus di kufah selama pemerintahan al-Manshûr terdengar mirip sebuah cafe
chantant,dengan Sallâma al-Zarqâ (bermata biru) sebagai ratunya.
Gagasan tentang maraknya praktik
perbudakkan bisa dilihat dari tingginya budak yang dimiliki oleh keluarga
kerajaan. Diriwayatkan bahwa istana al-Mitaqdir (908-932) memiliki 11.000
laki-laki yunani dan sudan
yang dikebiri. Al-Mutawakkil diriwayatkan memiliki 4.000 orang selir yang semuanya diajak tidur
menemaninya.Pda suatu kesempatan al-Mutawakkil menerima sebuah hadiah sebanyak
100 budak dari salah satu jendralnya.
Didalam kerajaan para pembantu hampir semuanya budak yang
direkrut secara paksa dari kalangan non muslim,baik yang ditawan pada masa
perang atau dibeli pada masa damai.budak-budak yang bekerja di keputren adalah
laki-laki yang telah dikebiri (khishyân)budak-budak lainya yang juga
dikebiri,yang dikenal dengan sebutan ghilmân menjadi kesayangan para
tuannya,mengenakan busana yang mahal dan menarik,dan sering berhias dan
mengharumkan tubuh mereka mirip perempuan.Dari sumber bacaan yang kita
miliki,para ghilmân ini muncul pada masa harun al-Rasyid,namun al- Amîn
adalah khalifah pertama yang mengikuti tradisi persia,dengan memperkenalkan
praktik ghilmân ke dunia Arab untuk menyalurkan kebiasaan seksual yang
tidak wajar.
Kontribusi al- Amîn di antara nya adalah memperkenalkan
korps pembantu perempuan,yang para anggotanya menampilkan rambut bergaya
bob,berpakaian seperti laki-laki,dan mengenakan sorban sutera.Inovasi tersebut
kemudian menjadi populer di kalangan masyarakat kelas tinggi maupun kelas
rendah.seorang saksi mata melaporkan bahwa pada pesta minggu ketika ia memenuhi
undangan al-Ma’mûn,ia menyaksikan 20 orang gadis muda Yunani,semuanya memakai
hiasan,sedang menari mengenakan kalung salib emas dan melambaikan tangkai pohon
zaitun dan daun kurma.uang sebesar 3.000 dinar untuk para penari itu menjadikan
atraksi tersebut memikat hingga akhir.
Termaktub pula dalam Tarikh al-Khulafa’,
bahwa Al-Amin ibn Harun ar-Rasyid (yang berperang melawan saudaranya, Al-Ma’mun
ibn Harun ar-Rasyid, untuk memperebutkan takhta kerajaan) menyukai lelaki yang
menjadi pembantunya, namanya Kautsar dan Syunaif. Al-Amin juga gemar
meminum khamr sembari bercinta bersama kedua pembantunya itu.
Termaktub pula dalam Tarikh
al-Khulafa’, bahwa Raja Dinasti Abbasiyah, Al-Watsiq ibn
al-Mu’tashim ibn Harun ar-Rasyid menyukai lelaki yang menjadi pembantunya.
Namanya Muhaj. Dan Al-Watsiq, yang juga seorang pujangga, kerap menyenandungkan
syair asmara kepada si Muhaj itu.Termaktub pula dalam Tarikh al-Khulafa’, bahwa
Raja Dinasti Abbasiyah, Al-Mutawakkil ‘Alallah, yang membabat Mu’tazilah dari
lingkaran kuasa kerajaan, memiliki 4000 selir, dan semuanya pernah ia setubuhi.
H. Citra positif khalifah Abbasiyah
Dari wacana tentang banyaknya citra negatif para khalifah
Abbasiyah, tentu pasti terdapat kepribadian yang positif yang ada pada diri
khalifah yaitu diantanya Harun al-Râsyid.Ketika khalifah Harun ar-Rasyid selesai membangun salah
satu istana yang megah, ia mengundang seorang penyair bernama Abul ‘Atahiyah
datang ke istananya untuk membacakan syair-syairnya yang indah. Maka Abul
‘Atahiyah membacakan sebuah syair:
“Hiduplah sesuka hatimu di bawah naungan megahnya istanamu; Engkau
mendapatkan apa yang engkau senangi di waktu pagi maupun sore hari;
Namun jika tiba waktu sekaratnya jiwa karena sempitnya nafas di dalam
dada; Saat itu barulah engkau sadari bahwa engkau dalam kelalaian
selama ini.”
Setelah mendengar syair tersebut, Harun
ar-Rasyid langsung menangis tersedu-sedu. Di lain
kesempatan Harun ar-Rasyid memanggil Abul ‘Atahiyah lalu berkata : “Nasihatilah
saya dengan sebuah syair.” Maka Abul ‘Atahiyah berkata
:
“Janganlah engkau merasa selamat sekejap pun dari
kematian Walaupun engkau mempunyai
para penjaga dan para pasukan; Ketahuilah bahwa panah kematian pasti akan tepat sasaran
Meskipun seseorang berada dalam benteng
perlindungan.”
Setelah mendengar syair itu, Harun
ar-Rasyid langsung pingsan.
Demikianlah beberapa episode kehidupan Harun ar-Rasyid. Tidak seperti yang
diceritakan dalam kisah-kisah dusta dalam buku dongeng berjudul Alfu
Lailatin wa Lailah (cerita 1001 malam) yang menggambarkan Harun ar-Rasyid
seorang yang gemar berfoya-foya dan bermaksiat.
Al-Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya al-Bidayah
wan Nihayah Jilid 14 menceritakan tentang khalifah Harun ar-Rasyid :
“Perjalanan bidupnya sangat mulia.Beliau seorang raja yang paling banyak berjihad dan menunaikan ibadah
haji.Setiap hari beliau bersedekah dengan hartanya sendiri sebanyak seribu dirham. Jika beliau pergi
haji maka ia juga menghajikan seratus ulama dan anak-anak mereka. Jika beliau
tidak pergi haji maka ia menghajikan tiga ratus orang. Beliau sangat gemar
bersedekah.Beliau mencintai ulama dan pujangga.Cincin beliau bertuliskan La
ilaha Ilallah.”
Khalifah Harun ar-Rasyid wafat dalam
peperangan di Khurasan pada tahun 193 Hijriah dalam usia 45 tahun. Ketika kabar
kematiannya sampai ke telinga seorang ahli ibadah bernama Fudhail bin 'Iyadh,
maka beliau berkata : “Tidak ada kematian seorang pun yang memuatku sangat
terpukul melebihi kematian amirul mukminin Harun ar-Rasyid. Sungguh aku ingin
seandainya Allah menambah umurnya dengan sisa umurku”. Perkataan Fudhail tadi.
KESIMPULAN
Pemerintahan dinasti Abbasiyah
merupakan kelanjutan dari pemerintahan sebelumya yaitu dinasti Umayyah yang
telah digulingkannya. Hasil besar yang telah dicapai oleh Dinasti Abbasiyah kemungkinan
karena landasannya telah dipersiapkan oleh Dinasti Umayyah dan Abbasiyah
memanfaatkannya. Menjelang
runtuhnya dinasti Umayyah ini para khalifah dan pejabat negara lainnya
melakukan kekeliruan dan kesalahan yang menyebabkan runtuhnya dinasti tersebut.
Dinamakan dinasti Abbasiyyah karena para pendiri dan penguasanya merupakan
keturunan Abbas bin Abdul Mutholib, paman Rasulullah. Nama Abbasiyyah berasal
dari kata Al-Abbas dan Abbas itu adalah nama seorang keturunan Bani Hasyim.
Pemerintahan Dinasti Abbasiyah
dapat dibagi dalam dua periode. Periode I adalah masa antara tahun 750-945 M,
yaitu mulai pemerintahan Abu Abbas sampai al-Mustakfi. Periode II adalah masa
945-1258 M, yaitu masa al-Mu’ti sampai al-Mu’tasim.pembagian priodesasi ini
diasumsikan bahwa pada priode pertama perkembangan diberbagai bidang
menunjukkan grafik vertikal, stabil dan dinams. Sedangkan pada priode kedua
kejayaan terus merosot sampai datangnya pasukan tartar yang berhasil
menghancurkn dinasti abbasiyah.Faktor-faktor yang menjadi sebab kemunduran Dinasti Abbasiyah adalah: 1.
Faktor internal, dari keluarga khalifah, untuk merebutkan kekuasaan. 2.
Kehilangan kendali dan munculnya dinasti-dinasti kecil. Dengan ketidak
seimbangnya kekuasaan dalam negeri maka tibalah pasukan Tartar yang dipimpin
oleh Hulagu Khan, menumbangkan Dinasti Abbasiyah. Sehingga runtuhlah Dinasti
yang telah berkibar selama lima Abad.
Bani Abbasiyah tiada
lain adalah ranting dari sebuah pohon. Ranting tersebut mengering, mati, dan
akhirnya jatuh. Namun, akar pohon tersebut senantiasa hidup. Ia mampu
menumbuhkan ranting lain yang telah binasa. Inilah yang menyebabkan kelahiran
Turki Utsmani yang pernah gemilang selama beberapa abad. Negara yang pernah
menguasai bumi dan mengalahkan banyak musuh.
DAFTAR PUSTAKA
Munthoha,
Pemikiran dan Peradaban Islam, UII Press:Yogyakarta, 1998
http://wadulwae.blogspot.co.id/2014/11/dinasty-abbasiah.html
http://www.sejarah-negara.com/faktor-intern-dan-ekstern-kemunduran-dinasti-abbasiyah/
http://cacingpadangpasir.blogspot.co.id/2013/06/perbudakan-di-dunia-islam.html
https://azisaf.wordpress.com/2013/10/20/cherry-picking-khilafah/
http://www.republika.co.id/berita/koran/islam-digest-koran/16/01/31/o1t0ud1-mari-bersama-jaga-peradaban
http://faidah-ilmu.blogspot.co.id/2011/01/harun-ar-rasyid-khalifah-yang-berhatilembut.html
http://faidah-ilmu.blogspot.co.id/2011/01/harun-ar-rasyid-khalifah-yang-berhati.html
http://faidah-ilmu.blogspot.co.id/2011/01/harun-ar-rasyid-khalifah-yang-berhati.html