Kamis, 17 Februari 2022

Pendidikan Politik Islam 

PENDIDIKAN POLITIK ISLAM

SEJARAH PEMIKIRAN DAN PENDIDIKAN POLITIK

ERA DAWLAH ‘ABBASIYAH

 

Oleh : Eri Rizaldi Dan Risna Agustina

 

“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'[1] Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim”.

Q.S. {Al-imran (3) : (140) }

 

 

A.        PENDAHULUAN

 

Pada tahun 132 H, pemerintahan Bani Umayyah jatuh. Lalu keturunan al-Abbas pun naik untuk menduduki kursi khilafah.[2]Dalam lintasan sejarah umat islam akan terlihat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayyah dengan bani Abbasiyah. Pemerintahan Bani Umayyah menguasai seluruh dunia islam dan berpusat didamaskus, karena mereka memegang politik kekeuasaan dan ekspansi. Sementara Bani Abbasiyah yang berpusat dibaghdad lebih mengutamakan pembinaan peradaban dan kebudayaan, tidak mengutamakan politik.

Pemerintahan Abbasiyah adalah berketurunan dari pada al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW pendiri kerajaan al-Abbas ialah Abdullah as-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas, ia adalah khalifah pertama. Dinasti Abbasiyah ini berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, yaitu selama lima abad.[3] Dan  pendirinya dianggap suatu kemenangan bagi idea yang dianjurkan oleh kalangan Bani Hasyim setelah kewafatan Rasulullah SAW, agar jabatan khalifah diserahkan kepada keluarga Rasul dan sanak saudaranya. Tetapi idea ini telah dikalahkan di zaman permulaan Islam, di mana pemikiran Islam yang sehat menetapkan bahwa jabatan khalifah itu adalah milik kepunyaan seluruh kaum Muslimin, dan mereka berhak melantik siapa saja antara kalangan mereka untuk menjadi ketua setelah mendapat dukungan. Tetapi orang-orang Parsi yang masih berpegang kepada prinsip tersebut, sehingga mereka berhasil membawah Bani Hasyim ke tampuk pemerintahan.Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.

Zaman pemerintahan Abbasiyah yang pertama merupakan puncak zaman sejarah Islam. Di zaman ini kaum Muslimin mulai berhubungan dengan kebudayaan-kebudayaan asing seperti kebudayaan parsia, kebudayaan hindu, dan kebudayaan Greek, dan telah menterjemahkan karya-karya penyelidikan yang terpenting kedalam bahasa arab. Walaupun banyak sumber-sumber asli yang diterjemahkan itu telah hilang, dan yang tertinggal hanya terjemahan-terjemahan dalam bahasa arab saja, namun terus terpelihara sebagai kebudayaan-kebudayaan yang amat tinggi tinggi nilainya.

 

B.        Sejarah Lahirnya Dinasti Abbasiyah

Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah melanjutkan kekuasaan Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah. pemerintahan abbasiyah adalah berketurunan dari pada al-abbas[4], paman Nabi SAW. Pendiri kerajaan al – abbas, ialah Abdullah as-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-abbas.[5] Secara kronologis, nama abasiyah menunjukakan nenek moyang dari al-Abbas, Ali bin Abi Thalib dan Nabi Muhammad.[6]Kemunculan pemerintahan Abbasiyah dianggap sebagai suatu kemenangan pemikiran dikalangan Bani Hasyim (Alawiyun) yang berpendapat setelah Rasulullah SAW wafat, keturunan beliau yang berhak diangkat untuk jabatan khalifah.

Menjelang akhir Daulah Umayyah 1, terjadi berbagai macam kekacauan, antara lain:

1.        Penindasan yang terus menerus terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim pada umumnya

2.       Merendahkan kaum muslimin yang bukan bangsa arab sehingga mereka tidak diberikan kesempatan dalam pemerintahan

3.       Pelanggaran terhadap ajaran islam dan HAM dengan cara terang-terangan.

Oleh karena itu, logis kalau Bani Hasyim mencari jalan keluar dengan mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Daulah Umayyah.[7] Pemikiran seperti itu mendapat tantangan diawal masa islam, yang berpendapat bahwa kekuasaan adalah hak semua kaum muslimin, siapapun berhak selama mampu memegang amanah sebagai khalifah.[8]Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,dari tahun 132 H (750 M) s. d 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.[9]

Peradaban dan kebudayaan islam berkembang dan tumbuh mencapai kejayaan pada masa Bani Abbcasiyah. Hal ini dikarenakan pada masa Dinasti Abbasiyah lebih menekankan pada perkembangan peradaban dan kebudayaan islam dari pada perluasan wilayah. Disinilah letak perbedaan pokok Dinasti Abbasiyah dengan Dinasti Umayyah. [10]

.Pada pandangan publik umumya, golongan alawiyun adalah lebih dekat kepada Rasulullah SAW, karena kedudukan Fatimah yang menjadi anak baginda, dan juga karena kedudukan Ali yang menjadi sepupu dan menantu baginda. Kemudian karena keutamaan Ali yang telah memeluk agam islam lebih dahulu dari yang lain – lain serta perjuangannya yang terkenal untuk menegakkan islam. Tetapi golongan Abbasiyah setelah berkuasa lantas mengumumkan bahwa mereka lebih utama dari Bani Hasyim untuk mewarisi Rasulullah SAW karena moyang mereka adalah paman baginda dan pusaka peninggalan tidak boleh diperoleh oleh pihak sepupu, jika ada paman dan keturunan dari anak perempuan tidak mewarisi pusaka datuk dengan adanya pihak ‘ashabah.

Pada tahun 656 H, kaum tatar melanggar dunia islam, membunuh khalifah Abbasiyah serta kaum keluarganya dan mengumumkan berakhirnya pemerintahan Abasiyah. tempo yang begitu lama dinikmati oleh golongan Abbasiyah ketika memegang tampuk pemerintahan, tidak bearti bahwa kekuasaan para khalifahnya sama sejajar. Sebaliknya kekuasaan tersebut adalah berbeda-beda yang menyebabkan para pengkaji membagikan tempo pemerintahan Abbasiyah kepada beberapa priode.[11]

Secara garis besar bani Abbasiyah terbagi atas empat priode yaitu :Priode pertama, pemerintahan berada ditangan khalifah yang terdiri dari orang-orang arab, pendiri abbasiyah (Arab):

1)       Abu Abbas al-Saffah 132-136 H/749-774M.

2)      Abu Ja’far al-Manshur 136-158H/753-774M.

3)      Abu Abdullah Muhammad al-Mahdi 158-169H/774-785M.

4)     Abu Musa al-Hadi 169 -170H/785-786M.

5)      Abu Ja’far Harun al-Rasyid 170-193H/786-808M.

6)      Abu Musa Muhammad al-Amin 193-198H/808-813M.

7)      Abu Ja’far Abdullah al-Ma’mun 198-218H/813-833M.

8)      Abu Ishak Muhammad al-Mu’tashim 218-227H/833-841M.

9)     Abu Ja’far Harun al-Watsiq 227-232H/841-846M.

10)   Abu Fadhl Ja’far al-Muttawakkil 232-247H/846-867M.[12]

 

Periode kedua, ini kekuasan politik berpindah dari tangan para khalifah kepada golongan ( kaum turki, Golongan Bani Buwaih dan Golongan Saljuq ).

1)       Abu Ja’far Muhammad al-Muntasir 247 H.

2)      Abu Abbas Ahmad al-Musta’in 248 H.

3)      Abu Abdullah Muhammad al-mu’taz 252 H.

4)     Abu Ishak Muhammad al-Muhtadi 255 H.

5)      Abu Abbas Ahmad al-Mu’tamid 256 H.

6)      Abu Abbas Ahmad al-Mu’tadhid 279 H.

7)      Abu Muhammad Ali al-Muktafi 289 H.

8)      Abdul  Fadhl Ja’far al-Muqtadir 295 H.

9)     Abu Mansur Muhammad al-Qahir 320 H.

10)   Abu Abbas Ahmad ar-Radhi 322 H.

11)    Abu Ishak Ibrahim Al-Muttaqi 329 H.

12)   Abu Qosim Abdullah al-Mustakfi 333 H.[13]

 

Periode ketiga, Apabila sultan-sultan bani Saljuq menjadi lemah, kerajaan mereka mulai mengalami keruntuhan dan pecah belah, dan segala urusan pemerintah diurus oleh sekelompok para pemerintah yang banyak diantaranya dikenali dengan gelar Syah dan Atbak. Adapun nama-nama khlaifaf pada priode ini ialah :

1)       Abu Qasim al-Mufadhdhal al-Muthi’ 333 H

2)      Abu Fadhl Abdul karim at-tha’I 334 H

3)      Abu Abbas Ahmad al-Qadir 381 H

4)     Abu Ja’far Abdulah al-Qa’im 422 H.[14]

 

Periode keempat, pemerintahan dikendalikan Saljuq, Khalifah hanya simbol, tidak memiliki kekuasaan sama sekali.

1)       Abul Qasim Abdullah al-Muqtadi 467-487 H/1075-1094 M.

2)      Abul Abbas Ahmad al-Mustazhir 487-512H/1094-1118 M.

3)      Abu Manshur al-fadl al-Mustarsyid 512-529 H/1118-1135 M.

4)     Abu Ja’far al-Mansur ar-Rasyid 529-530 H/1135-1136 M.

5)      Abu Abdullah Muhammad al-Muqtafi 503-555H/1136-1160M

6)      Abul Muzhaffar al-Mustanjid 555-566 H/1160-1170M.

7)      Abu Muhammad al-Hasan al-Mustadi’ 566-575H/1170-1179M

8)      Abu Abbas Ahmad an-Nashir 575-622 H/1179-1225M

9)     Abu Nasr Muhammad az-Zahir 622-623 H/1225-1226M

10)   Abu Ja’far al-Mansur al-Muntasir 623-640 H/1226-1242 M

11)    Abu Ahmad Abdullah al-Musta’shim 640-656H/1242-1258M.[15]

 

C.     Berdirinya Dinasti Abbasiyah

Al-mansur pendiri sejati Dinasti Abbasiyah, babak ketiga dalam drama besar politik islam dibuka dengan peran penting yang dimainkan oleh Khalifah Abû al-‘Abbâs (750-754). Irak menjadi panggung drama besar itu. Dalam khutbah penobatannya, yang disampaikan setahun sebelumnya dimasjid kufah, khalifah abbasiyah pertama itu menyebut dirinya al-saffâh. Penumpah darah yang kemudian menjadi julukannya. Julukan itu pertanda buruk, karena dinasti yang baru yang muncul ini mengisyaratkan bahwa mereka lebih mengutamakan kekuatan dalam menjalankan kebijakannya.[16]

Dalam menghancurkan lawan, al-Mansur tidak segan-segan membunuh sekutu yang membawa keluarganya pada kekuasaan. Abu Muslim karena dianggap akan menjadi saingan berbahaya di Khurasan, diundang datang kebaghdad tetapi kemudian diadili dan dijatuhi hukuman mati. Dalam usaha mempertahankan kekuasaan Bani Abbas, al-mansur memakai kekerasan.

Al-mansur kelihatannya merasa kurang aman ditengah-tengah orang arab, maka ia dirikan ibu kota baru sebagai ganti Damaskus. Baghdad didirikan didekat berkas ibu kota Persia, Ctesiphon, pada tahun 762 M. Bani Abbas sekarang berada ditengah-tengah bangsa Persia. Dalam soal pemerintahan al-mansur mengadakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir yang membawahi kepala-kepala departemen. Untuk memegang jabatan wazir itu ia pilih kholid ibn Barmak, seorang yang berasal dari Balkh (Bactra) di Persia.[17]

Untuk pertama kalinya dalam sejarah islam, disisi singgasana khalifah tergelar karpet yang digunakan sebagai tempat eksekusi. Al-saffâh menjadi pendiri dinasti arab islam ketiga setelah khulafâ al-Râsyidûn dan Dinasti Umayyah yang sangat besar dan berusia lama. Dari 750 M-1258 M, penerus abû al-‘Abbâs memegang pemerintahan, meskipun mereka selalu tidak berkuasa. Ketika berhasil merebut kekuasaan, orang abbasiyah mengklaim dirinya sebagai pengusung konsep sejati kekhalifahan, yaitu gagasan Negara teokrasi, yang menggantkan pemerintahan sekuler (Mulk) Dinasti Umayyah.[18]

Dalam satu hal, terdapat perbedaan yang sangat mendasar, Dinasti Umayyah terdiri atas orang arab, sementara Dinasti Abbasiyah lebih bersifat internasional. Dinasti Abbasiyah merupakan kerajaan orang islam baru, tempat orang arab hanya menjadi salah satu unsure dari berbagai bangsa yang membentuk kerajaan itu.[19] Al-saffâh meninggal (754) karena penyakit cacar air ketika berusia 30-an.

Saudaranya yang juga penerusnya, Abû ja’far (754-775) yang mendapat julukan al-Manshûr adalah khalifah terbesar dinasti ababsiyah, meskipun bukan seorang muslim yang saleh. Dialah sebenarnya, bukan al-saffâh, yang benar-benar membangun dinasti baru itu. Seluruh khalifah yang berjumlah 35 orang berasal dari garis keturunannya. Pamannya, ‘Abdullâh, pahlawan perang Zab yang menjadi gubernur suriah. Merebutkan kekhalifahan dengan keponakannya, tetapi berhasil dikalahkan oleh Abû Muslim diNisibis.[20]

Dinasti Abbasiyah, seperti halnya dinasti lain dalam sejarah islam, mencapai masa kejayaan politik dan intelektual mereka setelah didirikan. Kekhalifahan Baghdad yang didirikan oleh al-saffâh dan al-manshûr mencapai masa keemasannya antara masa khalifah ketiga, al-mahdî, dan khalifah kesembilan, al-wâtsiq dan lebih khusus lagi pada masa hârûn al-rasyîd dan anaknya, al-ma’mûn. Terutama kerena kedua khalifah yang itulah dinasti Abbasiyah memiliki kesan baik daam ingatan publik, dan menjadi dinasti paling terkenal dalam sejarah islam.[21]

 

D.       Kemajuan Dinasti Abbasiyah

Puncak kejayaan daulah Abbasiyah terjadi pada masa Khalifah Harun al-Rasyid dan putranya, al-Ma’mun serta khalifah-khalifah sesudahnya hingga sampai masa Al-Mutawakkil. Pada masa Harun al-Rasyid, kekayaan negara yang banyak sebagian besar dipergunakan untuk mendirikan rumah sakit, membiayai pendidikan kedoteran dan farmasi. Sementara pada masa al-Ma’mun, digunakan untuk menggaji penterjemah dari golongan Kristen, Sabi, dan bahkan penyembah binatang untuk menterjemahkan buku bahasa asing kedalam bahasa arab serta mendirikan Bait al-Hikmah sebagai pusat penterjemah dan akademi yang dilengkapi dengan perpustakaan.[22]

Kemajuan peradaban Islam sebagian disebabkan oleh stabilitas politik dan kemajuan ekonomi kerajaan yang pusat kekuasaannya terletak di Baghdad. Adapun kemajuan peradaban Islam yang dibuat oleh Dinasti Abbasiyah ialah :

1.        Bidang Politik dan Pemerintahan

Kemajuan politik dan pemerintahan yang dilakukan oleh dinasti Abbasiyah ialah memindahkan pusat pemerintahan dari damaskus ke Baghdad. Kemudian dijadikannya sebagai pusat kegiatan politik ,ekonomi, sosial dan kebudayaan.[23]

Pada masa pemerintahan Abbasiyah priode 1, kebijakan politik yang dikembangkan antara lain.

a.       Memindahkan ibu kota Negara dari Damaskus ke Baghdad

b.       Memusnahkan keturunan Bani Umayyah

c.       Merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik, memperkuat diri, Abbasiyah member peluang dan kesempatan yang besar kepada kaum Mawali.

d.       Menumpas pemberontakan-pemrontakan

e.        Menghapus politik kasta.[24]

 

2.       Ilmu Pengetahuan Dan Lembaga Pendidikan

Ilmu pengetahuan sangat berkembang pada masa Bani Abbasiyah. Ada dua kelompok ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa Bani Abbas, yaitu ilmu naqliyah dan ilmu aqliyah.[25]

Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase.Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid.Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq.Fase kedua, pada masa al-Makmun hingga tahun 300 H. Buku-buku dalam bidang filsafat dan kedokteran adalah yang paling banyak diterjemahkan.Fase ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas.Selanjutnya bidang-bidang ilmu lainnya yang diterjemahkan semakin meluas.[26]

Kemajuan ilmu pengetahuan pada masa dinasti Abbasiyah ialah ilmu pengetahuan agama.Maksudnya ialah ilmu-ilmu yang muncul ditengah-tengah suasana hidup keislaman berkaitan dengan agama dan bahasa Al-qur’an.Misalnya dalam bidang Ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu kalam dan ilm fiqh.[27]

a)      Ilmu Tafsir

Pada masa Abbasiyah ilmu tafsir mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan dilakukannya penafsiran secara sistematis, berangkai dan menyeluruh serta terpisah dari hadis.[28]

b)     Ilmu Hadis

Dizaman Abbasiyah juga muncul ulama-ulama hadis yang belum ada tandingannya sampai sekarang. Diantaranya ialah imam Al-Buqhari dan imam Muslim, terkenal sebagai seorang ulama hadis dengan bukunya shahih muslim.[29] Perlu diketahui bahwa pengkodifikasian hadis sebelum masa abbasiyah dilakukan tampa mengadakan penyaringan sehingga bercampur antara hadis Nabi saw dan yang bukan dari Nabi.

Sebelum penyaringan hadis dilakukan, sebenarnya imam malik telah menyusun kitabnya yang terkenal, al-Muwaththa’ yang telah tersusun secara bab per bab. Namun masih bercampur antara hadis Rasulullah, perkataan sahabat dan fatwa tabiin. Pada abad ke-3 H, para ulama islam mulai berusaha secara maksimal untuk menyeleksi dan menyaring hadis dengan melakukan pemilahan antara hadis yang sahih dengan yang daif, serta menjelaskan kulitas perawi hadisnya.[30]

 

c)  Ilmu Kalam

Ilmu kalam terlahir karena dorongan untuk membela islam dengan pemikiran-pemikiran filsafat dari serangan orang-orang Kristen Yahudi yang mempergunakan senjata filsafat, dan untuk mmemecahkan persoalan-persoalan agama dengan kemampuan akal pikiran dan ilmu pengetahuan.

Perkembangan ilmu kalam pada masa ini telah berjasa besar dalam upaya memelihara dan membentengi aqidah islam dengan menggunakan argumentasi manthiqi dan filosofis rasional.[31] Kita mengenal Baitul Hikmah sebuah tempat kajian ilmu pengetahuan Bani Abbasiyah. Priode awal ini memiliki andil yang cukup besar terhadap peradaban islam dan sunia umumnya.[32]

 

d) Ilmu Fiqh

Diantara kebanggaan zaman pemerintahan Abbasiyah pertama adalah terdapatnya empat imam mazhab fiqh yang ulung. Mereka adalah Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Keempat imam mazhab ini adalah merupakan para ulama fiqh yang paling agung dan tiada tandinginya didunia islam.

 

E.        Kemunduran Bani Abbasiyah

Apapun yang ada didunia ini terbukti tidak ada yang langgeng ataupun abadi. Semua akan berjalan dari bawah sampai puncak dan akhirnya turun kembali. Seberapapun besarnya, seberapapun jayanya suatu Negara pasti akan mengalami suatu kemunduran. Begitu pula dengan Dinasti Abbasiyah yang mengalami berbagai kemajuan diberbagai bidang kehidupan. Pendiri Bani Abbas tahun 750-857 M akhirnya mengalami keunduran.

Segala sesuatu didunia ini berjalan menurut hukum sebab akibat, apa yang terjadi pastilah ada sebabnya. Dinasti Abbasiyah yang begitu maju dan besar akhirnya mengalami kemunduran yang begitu drastis. Namun, kemunduran Abbasiyah ini tidak terjadi begitu saja melainkan ada faktor penyebab terjadinya kemunduran. [33]

 

a.       Faktor Internal

 

1.        Perbedaan Paham Para Ahli Teologi

Intelektual dizaman daulah Abbasiyah diawali dengan berkembangnya perhatian pada dua sumber utama dalam islam yaitu Al-Qura’an dan Hadis. Dari dua sember utama inilah lalu lahir berbagai ilmu seperti halnya teologi.Teologi yang merupakan ilmu yang membahas tentang Tuhan, dan juga kedudukan manusia dalam kekuasaan mutlak Tuhan seperti kebebasan berkehendak, kedudukan akal dan lain-lain. Persoalan ini  melahirkan para ahli dengan berbagai ragam perbedaan-perbedaan pendapat mereka.

        Terbukti bahwa keberadaan berbagai macam pemikiran yang melahirkan aliran-aliran keagamaan menimbulkan polemik internal pada Pemerintahan Daulah Abbasiyah.Masing-masing para ahli dan ulama mengklaim bahwa pemikirannya adalah yang paling benar untuk dijadikan ideologi dalam pemerintahan.Seperti konflik yang terjadi antara Syi’ah dan Sunni.Pada masa Khalifah al-Mutawakkil (847-861M.),[34] beliau memerintahkan agar makam Husein di Karbela dihancurkan.Namun anaknya al-Muntashir (861-862 M.)kembali memperkenankan orang Syi’ah  menziarahi makam Husein tersebut.[35]Bahkan al-Muntashir turut membantu dalam pembunuhan ayahnya (al-Mutawakkil) agar dia dapat menduduki jabatan khalifah. Namun baru 6 bulan dia menjadi khalifah, ia mati diracun oleh para jenderalnya sendiri.

        Demikian juga aliran Muktazilah yang pernah menjadi ideologi pemerintahan pada masa al-Makmun, Khalifah ke tujuh Daulah Abbasiyah.[36]Muktazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bidah oleh golongan salaf.Pada masa al-Mutawakkil, aliaran Muktazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan digantikan oleh aliran Salaf.Akan tetapi pada masa pemerintahan dipimpin oleh Bani Buwaih (945-1055 M).Muktazilah kembali menjadi ideologi negara.Dan pada periode berikutnya ketika pemerintahan dikuasai oleh suku Seljuk (1055-1258 M).Aliran Asy’ariyah menjadi ideologi pemerintahan setelah menyingkirkan aliran Muktazilah dengan dukungan para penguasa yang berpaham Asy’ariyah.

        Demikian juga konflik yang terjadi antara orang beriman dengan golongan Zindiq (Tidak Bertuhan) berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti  polemik tentang ajaran sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di antara kedua belah pihak.[37]

 

2.       Perebutan Kekuasaan Di Pusat Pemerintahan

Perebutan kekuasaan keluarga Bani Abbasiyah dimulai sejak Al-ma’mun dengan Al-amin. Ditambah dengan masuknya unsur turki dan Persia. Setelah Al-mutawakkil wafat, pergantian khalifah terjadi secara tidak wajar. Dari kedua belas khalifah pada priode kedus dinasti abbasiyah, hanya empat orang khalifah yang wafat dengan wajar. Selebihnya para khalifah wafat karena dibunuh atau diracun dan diturunkan secara paksa.[38]

Sudah menjadi kewajiban bahwa setiap kekuasaan akan dipimpin oleh orang-orang yang berpengaruh secara bergantian, baik secara konstitusional ataupun pemberontakan bahkan pemaksaan. Daulah Abbasiyah, yang berkuasa sampai 5 abad, tak terlepas dari suksesi khalifah yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan dalam mengembangkan pemerintahan.

Pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah perebutan kekuasaan secara mencolok terlihat pada periode kedua dan seterusnya.Disini tidak ada usaha untuk merebut jabatan kekhalifahan dari Bani Abbas, yang ada adalah usaha merebut kekuasannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap di pegang oleh Bani Abbas.Hal ini terjadi karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi.[39]

 

3.       Gaya Hidup Mewah Para Penguasa

Puncak keemasan Daulah Abbasiyah terjadi pada periode pertama, kalaupun ada konflik politik yang terjadi tidaklah berakibat fatal bagi integritas pemerintahan karena para khalifah sebagai kepala pemerintahan dapat menyelesaikannya secara bijaksana. Masa keemasan ini terjadi dengan berkembangnya peradaban dan kebudayaan serta ilmu pengetahuan. Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang diraih oleh Dinasti Abbasiyah pada periode pertam ini telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah bahkan sering mencolok. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah dari pada pendahulunya. Kondisi ini berpeluang kepada tentara professional asal turki untuk mengambil alih kendali pemerintahan.[40]

        Pada periode selanjutnya terjadilah perubahan kebiasaan para khalifah ke arah kehidupan yang serba mewah dan  berfoya-foya bahkan cenderung mencolok. Gaya hidup ini ditiru oleh para pejabat dan keluarga istana.Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki untuk mengambil alih kendali pemerintahan. Dan secara bergantian kendali pemerintahan di pegang oleh suku-suku non arab yang bukan dari keturunan Bani Abbas.[41]

 

4.       Dinasti-dinasti kecil yang Memerdekakan Diri (Disintegrasi)

Berbagai kemelut yang terjadi di dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah, menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin.Perekonomian negara mengalami penurunan karena tidak seimbangnya pendapatan negara dengan pengeluaran yang disebabkan oleh para pejabat yang bergaya hidup mewah serta kurangnya pendapatan pajak dari daerah.

Kondisi ini memberi peluang  kepada tentara profesional yang berasal dari suku non arab mengambil kendali pemerintahan. Sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka.Silih berganti mereka mengendalikan pemerintahan selama ± 400 tahun.Hingga akhirnya kelemahan pemerintahan terjadi yang menyebabkan terjadinya disintegrasi dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah.[42]

Situasi ini menyebabkan lahirnya pemimpin yang berupaya mendirikan kerajaan baru di daerahnya dan terlepas dari pengaruh Abbasiyah seperti Daulah Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Marokko. Selain itu  gubernur yang awalnya merupakan jabatan yang diberikan khalifah, karena kedudukannya semakin kuat sementara khalifah di pusat pemerintahan semakin lemah, mengambil kesempatan untuk membuat kerajaan sendiri.

Disintegrasi memuncak pada daulah Abbasiyah ketika para khalifah menjadi boneka dalam tangan tentara pengawal.Daerah-daerah yang jauh letaknya dari pusat pemerintahan di Damaskus dan di Bagdad melepaskan diri dari kekuasaan khalifah di pusat dan bermunculanlah dinasti-dinasti kecil.

Golongan Syi’ah yang pada mulanya sekutu Bani Abbas, mulai melancarkan aksi penentangan terhadap pemerintahan.Di tahun 869 M timbul pemberontakan kaum Zanj di bawah pimpinan Ali Ibn Muhammad.Kaum Zanj adalah budak-budak yang didatangkan dari Afrika untuk bekerja di pertambangan di Irak.Dari tahun 870 M sampai 883 M kekuasaan Bani Abbas dikacau oleh pemberontakan Zanj ini.[43]

Gerakan lain adalah gerakan Qaramitah yang dimulai tahun 874 M oleh Hamdan Qarmat, seorang penganut faham Syi’ah Ismailiyah di Irak.  Mereka membentuk negara merdeka di Teluk Persia, yang kemudian menjadi pusat kegiatan mereka dalam menentang pemerintahan Daulah Abbasiyah.Di tahun 930 serangan mereka meluas sampai ke Mekkah. Sewaktu pulang mereka membawa lari al-Hajr al-Aswad  yang dikembalikan baru 20 tahun kemudian.[44] Sementara itu ada pula pemuka-pemuka syi’ah yang dapat membentuk dinasti yang menguasai daerah-daerah tertentu. Salah satu diantaranya ialah Ahmad Ibn Buwaihi yang dapat menguasai as-fahan, Syiraz dan Kirman diPersia. Ditahun 945 M, ia mengadakan serangan kebaghdad dan dinasti buwaihi menguasai ibu kota Bani Abbas. Khalifah-khalifahnya tetap diakui, tetapi kekuasaan dipegang oleh sultan-sultan Buwaihi.[45]

 

5.       Faktor militer

Hidup dalam keadaan ekonomi yang makmur, membuat kaum elit Bani Abbasiyah enggan lagi berperang. Kaum elit hidup bermewah-mewahan. Penguasa Bani Abbasiyah amat bergantung kepada tentara turki. Terabainya membangun kesatuan militer membuat Bani Abbas keropos dari pertahanan.[46]

 

6.       Kemerosotan Ekonomi

        Sejalan dengan kemunduran di bidang politik, Daulah Abbasiyah juga mengalami kemerosotan di bidang ekonomi. Pada periode awal Daulah Abbasiyah adalah kerajaan yang kaya dan yang masuk lebih besar dari dana yang keluar sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Yang berasal dari Pajak daerah kekuasaan dan pajak hasil bumi.

        Setelah khalifah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun, sementara pengeluran meningkat lebih besar.gejolak –gejolak terjadi di tengah masyarakat akibat pembebanan pajak yang tinggi.[47] Hal ini disebabkan oleh makin sempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi pemberontakan yang mengganggu perekonomian, dan banyaknya dinasti-dinasti yang memerdekakan diri sehingga mereka tidak lagi membayar pajak ke pemerintahan.

        Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini salingberkaitan dan tak terpisahkan. Munculnya aliran-aliran sesat dan fanatisme kesukuan.[48]

Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme Zoroasterime dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Mansur berusaha keras memberantasnya, bahkan Al-Mahdi merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka.

Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandangghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. [49]

Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islamyang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang syi’ah menziarahi makam Husein tersebut.

Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad dan sunni. Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran dalam Islam. Mu'tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh golongan salafy. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M).[50]

Aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan Sunni kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali terhadap Mu'tazilah yang rasional dipandang oleh tokoh-tokoh ahli filsafat telah menyempitkan horizon intelektual padahal para salaf telah berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam secara murni sesuai dengn yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa Dinasti Seljuk yang menganut paham Sunni, penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. [51] Dengan didukung penguasa aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya. Pikiran-pikiran al-Ghazali yang mendukung aliran ini menjadi ciri utama paham Ahlussunnah. Pemikiran-pemikiran tersebut mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas intelektual Islam konon sampai sekarang.

Faktor-faktor internal ini lebih banyak berperan sebagai faktor penyebab kehancuran kekhalifahan ketimbang faktor eksternal. Serangan bangsa Mongol kendati begitu dahsat  nyatanya cuma berperan sebagai senjata  pamungkas yang meruntuhkan kekhalifahan. [52]

 

b.       Faktor Eksternal

 

1.        Perang Salib

Terjadinya perang salib adalah dipicu oleh rasa kebencian ummat kristen kepada ummat Islam. Puncak kebencian itu adalah ketika Daulah Abbasiyah di kuasai oleh bani Seljuk.Ketika Bani Seljuk berhasil merebut Bait al-Maqdis dari dinasti Fatimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan beberpa peraturan bagi ummat kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan ini dirasakan sangat menyulitkan mereka. Maka untuk mengambil kembali keleluasaan untuk berziarah ke tanah suci mereka itu, pada tahun 1095 M Paus Urbanus II berseru kepada ummat kristen di eropa supaya melakukan perang suci. Perang ini kemudian dikenal dengan nama Perang Salib.

Disebutkan bahwa Hulagu Khan sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen, Gereja-gereja kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam. Tentara Mongol setelah menghancur leburkan pusat-pusat  Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.

Akibat dari perang salib ini adalah kerugian yang dialami ummat Islam besar sekali karena perang salib terjadi di wilayah kekuasaan ummat Islam.Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik ummat Islam menjadi lemah.Dalam kondisi demikian, mereka bukannya bersatu tapi malah terpecah belah.Banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Daulah Abbasiyah di Baghdad.[53]

 

2.        Serangan Bangsa Mongol   

Sebagai mana biasanya bangsa nomad, bangsa Mongol mempunyai watak yang kasar, suka berperang, dan berani menghadapi maut dalam mencapai keinginannya.Akan tetapi mereka sangat patuh kepada pimpinannya.Mereka menganut agama Syamaniah menyembah binatang-binatang dan sujut kepada matahari yang sedang terbit. Mereka menjadikan posisi wanita sama dengan laki-laki dalam tugas di medan perang. Kemajuan bangsa Mongol secara besar-besaran terjadi pada masa kepemimpinan Yasugi Bahadur Khan.[54]

Pada tahun 656H/1258M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad, khalifah al-Mu’tashim, penguasa terakhir Daulah Abbasiyah di Baghdad betul-betul tidak mampu membendung tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Pada saat krisis tersebut wazir khalifah Abbasiyah Ibnu al-Aqlami ingin mengambil kesempatan denganmenipu khalifah. Ia mengatakan kepada khalifah:”Saya telah menemui mereka untuk perjanjian damai. Raja Hulagu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakr putra khalifah. Dengan demikian Hulagu Khan akan menjamin posisimu. Ia tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap sultan-sultan Seljuk.[55]

Dengan pembunuhan yang kejam ini , berakhirlah kekuasaan Abbasiyah  di Baghdad. Kota Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan tanah. Akan tetapi walaupun sudah hancur Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun sebelum melanjutkan gerakannya ke Mesir dan Syiria.

 

F.      Kehidupan keluargaDan gaya Kehidupan Masyarakat

Pada awal Dinasti Abbasiyah, kaum wanita cenderung menikmati tingkat kebebasan yang sama dengan kaum pria. Tapi menjelang abad ke-10, pada masa Dinasti Buwayhi, sistem pemingitan ketat perempuan sudah menjadi fenomena umum. Pada masa kemundurannya, yang ditanadai perseliran yang berlebihan, merosotnya moralitas seksual, dan berpoya-poya dalam kemewahan, posisi perempuan menukik tajam seperti yang disebutkan dalam kisah seribu satu malam. Di mana perempuan dianggap sebagai perwujudan dari sikap licik dan khianat, serta wadah dari bagi semua perilaku tercela dan pemikiran tidak berguna.

Pernikahan dipandang sebagai kewajiban yang positif, yang meniscayakan hukukan keras bagi siapa yang mengabaikannya. Tugas wanita ialah, melayani suaminya, memelihara anaknya, serta mengatur urusan rumah tangga, sementara waktu luang biasanya dipakai untuk memintal dan menenun.

Di rumah-rumah orang berada, nampan-nampan terbuat dari perak, meja kayu yang dilapisi eboni, dan kulit kerang mutiara. Lalu memuaskan selera makan mereka dengan menu-menu dari negri-negri peradaban tinggi. Orang yang berbudaya adalah orang yang memiliki prilaku sopan, menjaga wibawa, berprilaku elegan, tidak senang bergurau, bersahabat dengan orang yang tepat, memiliki intergritas tinggi, menepati janji, memelihara kerahasiaan, tidak memakai pakaian kotor dan bertambal, lalu ketika makan, tidak menyuap makanan secara berlebihan, sedikit bicara dan tertawa, mengunyah makanan dengan pelan, tidak menjilati jarinya, menghindari bawang, dan tidak menggunakan siwak saat di kamar kecil, ruang pertemuan, dan jalanan.

Sistem kesukuan premitif yang menjadi pola organisasi sosial arab paling mendasar runtuh pada masa dinasti Abbasiyah, yang didirikan dari berbagai unsur asing. Bahkan dalam persoalan memilih istri dan ibu untuk anak-anak mereka, para khalifah tidak menjadikan darah keturunan arab sebagai patokan Di antara keluarga Abbasiyah hanya tiga khalifah yang terlahir dari ibu yang merseka yaitu Abu al-Abbas,al-Mahdi, dan al-Amin yang terakhir memiliki keistimewaan karena ayah dan ibunya keturunan nabi. [56]

Minuman beralkohol sering dikonsumsi bersama ataupun sendiri-sendiri. Hukum Islam tentang keharaman arak tidak berlaku lagi. Bahkan para khalifah, wazir, putra mahkota, dan para hakim tidak lagi peduli akan hukum agama. Para sarjana, penyair, musisi, dan penyanyi sering berkumpul bersama. Khamr, yang dibuat dari kurma merupakan minuman favorit. Ibn Khaldum berargumen bahwa tokoh seperti al-Rasyid dan al-Ma’mun hanya meminum nabidz-perasaan anggur atau kurma yang mengalami fermentasi alami- yang dianggap itu halal oleh mazhab Hanafi.

Salah satu gaya hidup dan kebiasaan masyarakat pada priode abasiyah adalah berendam ditempat pemandian umum.  Tempat pemandian umum (hammâm) telah sedemikian populer, bukan saja untuk bersuci, tapi juga sebagai tempat untuk bersenang-senang dan bagian dari kemewahan.[57]

Hal lain yang bisa menunjukkan tingkat kemakmuran dan peradaban dimasa itu adalah pemanfaatan waktu luang. Misalnya catur (Syitranjâ) yang dimasyarakatkan pertama kali oleh al-Rasyîd dimasa kekhalifahannya. Begitupun panahan, polo ( juka>m, dari bahasa persia, Chawgan, yang berarti tongkat bengkok), bola dan pemukul (Sawlajân, mirip kriket dan hokey), lempar lembing (Jarîd), memelihara sekaligus melatih elang dan cheetah untuk berburu,lomba berkuda dan berburu. Al-Mu’tashim adalah salah seorang khalifah yang senang bermain polo.[58]

Pada masa kemundurannya, praktik perseliran secara berlebihan banyak dilakukan petinggi-petinggi pemerintahan, merosotnya moralitas seksual, berpoya-poya dalam kemewahan, posisi perempuan menukik tajam seperti yang disebutkan dalam kisah seribu satu malam, dan Minuman beralkohol sering disajikan dalam perjamuan-perjamuan.

 

F. Perbudakan dan Perseliran diera Bani Abbasiyah

Ada dua hal yang sangat dibenci islam, tetapi diharuskan terjadi, yaitu :

a.     perceraian ( talaq ) dan

b.    perbudakkan ( ar – riqqu )

Kaum budak yang paling awal dikenal sebagai Ghilman (istilah lain dari budak) dan dibeli oleh para khalifah awal Abbasiyah.[59] Pada pertengahan abad ke-9, budak-budak tersebut telah menjadi unsur dominan didalam militer. Hingga terjadinya konflik antara ghilman dan penduduk Baghdad mendorong khalifah al-Mu'tashim untuk memindahkan ibukota ke kota Samarra, namun hal ini tetap tidak berhasil menenangkan ketegangan yang terjadi; khalifah al-Mutawakkil dibunuh oleh beberapa budak militer ini di tahun 861.

Penggunaan tentara mamluk (budak) memberikan penguasa'an pasukan dimana tentara tersebut ( mamluk ) tidak memiliki akses ke setiap struktur kekuasaan yang didirikan. Prajurit local yang non-mamluk (yang bukan dari budak) seringkali lebih setia kepada ketua suku mereka, keluarga mereka, atau Bangsawan daripada kepada sultan atau kepada khalifah. Jika seorang komandan berkomplot melawan penguasa, hal itu sering kali tidak memungkinkan untuk bekonspirasi, tanpa menimbulkan keresahan di kalangan bangsawan. Pasukan Budak mamluk adalah orang asing dari status terendah yang tidak akan bisa berkomplot melawan penguasa dan yang dengan mudah bisa dihukum jika mereka menimbulkan masalah, sehingga menjadi aset militer yang besar. Itu sebabnya dinasti abbasiyah memelihara prajurit dan pengawal dari para budak-budak.[60]

Diantara keluaga Abbasiyah, hanya tiga khalifah yang terlahir dari ibu yang merdeka : Abû al-Abbâs,al-Mahdî dan al-Amîn.Ibu al-Manshûr adalah seorang budak Berber,ibu al-Ma’mûn adalah budak persia,ibu al-Watsîq dan al-Muhtadî berasal dari yunani,ibu al-muktafi dan muqtadir adalah budak dari turki dan ibu al-Mustadhi berasal dari armenia,ibu harun juga budak dari negri lain .

Asal mulanya perbudakkan, yaitu karena terjadi perperangan antara kerajaan (Daulah) islam dengan Negara non islam. Orang – orang tawanan (pria, wanita, dan anak-anak) dianggap sama dengan harta rampasan, yang boleh diperjual-belikannya karena kebanyakan wanita-wanita tawanan dari Persia dan Romawi adalah cantik-cantik, maka mereka dikawini oleh para pembesar islam, sehingga istana – istana atau rumah-rumah gedung mereka penuh dengan jariyah-jariyah yang cantik jelita, yang kemudian pada suatu waktu rumah tempat para jariyah itu dinamakan harem.[61]

Maka terjadilah perdagangan budak sangat ramai pada saat itu, tidak saja dalam daulah islamiyah, tapi juga dalam kerajaan - kerajaan lain, dan dikota bagdad terdapat satu jalan yang bernama syari Daar ar-Raqiq (jalan gedung budak). Oleh karena budak wanita yang akan diperjual-belikannya akan mendapat harga yang lebih tinggi kalau mereka bernyanyi, pandai menari, pandai merayu dan pandai serba pekerjaan sulam dan lukis, maka oleh para saudagar budak, diajarlah mereka dengan pengetahuan atau keahlian-keahlian tersebut. Dan terjadilah tempat-tempat pendidikan khusus bagi mereka.Dengan sebab itu, maka berkembanglah dalam kalangan para jariyah itu berbagai macam cabang kesenian campuran.Yang kemudian menjelma menjadi satu bentuk (corak) kesenian yang indah tersendiri.[62]

Para pembantu itu hampir semuanya budak yang direkrut secara paksa dari kalangan non muslim. Baik yang ditawan pada masa perang atau pada masa damai. Beberapa diantaranya adalah orang negro, dan ada juga orang kulit putih dan turki. Budak berkulit putih (mamâlik) kebanyakan kebangsaan yunani, Slavia, Armenia, dan Berber.Budak-budak yang bekerja di keputren adalah laki – laki yang telah dikebiri (khishyân).Budak – budak lainnya yang juga dikebiri, yang dikenal dengan sebutan Ghilmân.Yang menjadi kesayangan bagi tuannya, mengenakan busana yang mahal dan menarik, dan sering berhias dan mengahrumkan tubuh mereka mirip dengan prempuan.Para ghilmân ini muncul pada masa al-Rasyid.[63]

Gadis-gadis muda (jawâri) dalam kelompok budak biasanya menjadi penyanyi, penari, dan selir. Beberapa diantara mereka memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap khalifah yang menjadi tuan mereka. Dzât al-khâl (sang mata-mata) merupakan contoh budak semacam itu, yang dibeli oleh al-Rasyîd seharga 70.000 dirham dan dieserahkan kepadapembantu laki-lakinya. Setelah bersumpah akan memenuhi apapun permintaan prempuan itu, al-Rasyîd diriwayatkan mengangkat suami prempuan itu sebagai gubernur diparis selama tujuh tahun.

Agar tidak lagi tertarik dengan biduanita lain, istri al-Rasyîd, Zubaydah menghadiahi suaminya 10 gadis muda, yang salah seorang diantaranya menjadi ibu al-Ma’mûn, dan yang lainnya menjadi ibu al-Mu’tashim, kisah legendaris tentang Tawaddud, yaitu seorang budak prempuan yang cantik dan berbakat dalam kisah seribu satu malam ( malam ke437-462) yang hendak dibeli seharga 100.000 dinar oleh al-Rasyîd setelah ia lulus dengan sangat memuaskan didepan para sarjana kedokteran, hukum, astronomi, filsafat musik dan matematika, termasuk retorika, tata bahas, puisi, sejarah, dan al-qur’an melukiskan betapa tingginya peradaban para gadis muda itu.[64]

Gagasan tentang maraknya praktik perbudakkan bisa dilihat dari tingginya budak yang dimiliki oleh keluarga kerajaan. Diriwayatkan bahwa istana al-Mitaqdir (908-932) memiliki 11.000 laki-laki yunani dan sudan yang dikebiri. Al-Mutawakkil diriwayatkan memiliki 4.000 orang selir yang semuanya diajak tidur menemaninya.Pda suatu kesempatan al-Mutawakkil menerima sebuah hadiah sebanyak 100 budak dari salah satu jendralnya.

Telah menajdi tradisi bagi para gubernur dan jendral untuk mengirim hadiah, termasuk didalamnya para gadis yang direkrut secara suka rela atau paksa dari para penduduk, kepada khalifah atau wazir.Tidak member hadiah dinilai sebagai tanda pembrontakan. Al-Ma’mûn menggunakan para budak memata-matai penerimaanya yang ia curigai atau untuk menghabisinya jika diperlukan.[65]

soal kepemilikan selir (járiyah) merupakan salah satu aspek yang terkait erat dengan sistem perbudakkan kala itu. Perlu diingat, tatkala islam datang, sistem perbudakan sudah merupakan bagian penting dari kehidupan bangsa arab. Islam tidak hadir untuk melarang maupun membenarkannya. Namun islam sangat menyarankan praktik pembebasan terhadap mereka (‘itqh raqabah). [66]

Jumlah gundik-gundik ini semakin berkembang dalam sejarah imperium islam. Menjadi puluhan pada masa umayyah, mencapai ratusan pada masa Yazid bin Abdul Malik, dan menembus angka ribuan pada masa Abbasiyah. Bahkan menembus angka ribuan pada masa Abbasiyah.Yaitu mencapai angka 4.000 orang sebagaimana kita singgung dalam pembahasan tentang al-Mutawakkil.Khalifah ini konon meniduri 4.000 gundik selama seperempat abad masa kepemimpinannya tentu ini merupakan rekor tertinggi kepemimpinan gundik yang pernah tercatat dalam sejarah.

 

G. Citra Negatif Khalifah-Khalifah Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah tidak perlu diperkenalkan lagi.karena ia telah memperkenalkan dirinya dengan sendirinya lewat figur pendirinya al-Saffah(SiPenjagal). Sebagai khalifah yang baru, musuh-musuh ingin menjatuhkannya sebelum ia bertambah kuat terutama golongan Bani Umayyah, golongan khawarij, bahkan juga aum syiah. Kaum syiah, setelah melihat bahwa Bani Abbas memonopoli kekuasaan mulai mengambil sikap menentang.[67]

khalifah pertama Bani Abbasiyah.al-Saffah sungguh layak menyebut dirinya “Si Penjagal”.kepemimpinannya bermula bermula dari dua keputusan penting yang tidak ada taranya dalam sejarah.Tak ada orang setelah al-Saffah yang mampu menandingi apalagi melampaui “prestasi” kebengisannya.yaitu titahnya untuk mencari kuburan dan memburu apa yang tersisa dari jenazah para pemimpin bani Umayyah,melecut,menyalib,membakar,dan menabur abunya ke udara.sejarah mencatatkan apa yang berhasil ia temukan.[68]Kita mulai kisah ini dengan babak sinopsis sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Atsir.Disaat al-Saffah sedang melakukan perjamuan yang ramah terhadap Sulaiman bin Hisyam bin Abdul Malik,Sudaif sang penyair datang sembari melantunkan syairnya :

 

Jangan silau akan tampilan seorang Jika sumsum simpan penyakit mematikan Hunuskan pedang,sediakan lecutan sampai tak tersisa keluarga Umayyah pun seorang

 

Kontan ,Sulaiman tertegun seketika,lalu berkata :” Anda benar-benar telah membunuhku,wahai Syekh (Sudaif) ! “ al-Saffah pun beranjak masuk ke ruang pribadinya sambil menarik Sulaiman. Ia menghabisi nyawanya.

Riwayat lain diawali tentang jaminan keamanan yang diberikan al-Saffah kepada Umayyah yang berjumlah lebih dari 90 orang. seting peristiwa masih tetap berada di tempat perjamuan makan yang sama.Dan sepanjang pembuat acara adalah khalifah,kemurahan hati dipastikan akan terjaga.Rasa aman pun tak pantas di sangka-sangka.tapisecaramengejutkan,seorangpenyair datang,memprovokasi pembalasan dendam.

al-saffah lalu memerintahkan untuk menghantam kepala semua mereka dengan pentungan besi.sebagian pecah kepala,tapi jasadnya tetap bernyawa,dalam kondisi yang mengenaskan.Tatkala al-Saffah menyaksikan sekitar 90 orang yang sedang meregang nyawa,ia meninggikan suara sambil menuturkan titah “ Gelar permadaniku untuk bersantap secara lesehan diatas mereka! Ia dan orang-orangnya memulai santapan malam,sementara permadani menari kekanan dan ke kiri.Tatkala permadani tidak lagi bergerak,mereka pun selesai dari kunyahan mereka sambil mengucap alhamdulillah dan tahniah kepada tentara dan kerabatnya.[69]

As-Suyuthi menyebutnya dengan gelar fasik al-Khalifah al-Fasiq Abu al-Abbas. Fakta ini tak hanya diutarakan oleh pengarang kitab al-Itqan fi `Ulum al-Quran tersebut. Imam ad-Dzahabi dalam Tarik al-Islam mengungkapkan penyimpangan seksual al-Walid. Ia menulis dengan kalimat yang sangat terang-benderang, "Al-Walid terkenal pemabuk dan gay," tulis ad-Dzahabi. Al-Walid akhirnya dibunuh oleh saudaranya Sulaiman bin Yazid.[70]

Pemandangan serupa juga dengan mudahnya kita jumpai pada masa Dinasti Abbasiyah. Dalam kitabnya Tarikh, At-Thabari menggambarkan praktik LGBT di kalangan khalifah Abbasiyah adalah fenomena yang nyaris umum. Khalifah al- Amin, misalnya, meminta remaja-remaja laki-laki dan berani membeli mereka mahal untuk memenuhi hasratnya siang dan malam. Ia menolak perempuan merdeka atau budak. Ibunya pernah mencoba mengalihkan kebiasaan buruknya itu dengan menyuruh perempuan berpura- pura sebagai pria, tetapi usahanya gagal.

Pun demikian dengan khalifah al- Mutawakkil. Al-Mas'udi dalam Mirwaj ad-Dzhahab wa Ma'adin al-Jauhar meng- ung kapkan, khalifah Abbasiyah ter sebut memiliki pasangan gay bernama Sya- hik. Sedangkan, al-Mu'tashim konon sangat menyukai budak pria asal Turki dan rela membelinya dari tuan-tuan mereka. Jumlahnya fantastis (meski perlu diverifikasi validitasnya) mencapai 4.000 orang. Para pria tersebut dipaksa menjadi pasangan gay dengan mengenakan baju- baju indah mewah berbalut emas.

Minum-minuman beralkohol sering dikonsumsi bareng-bareng atau sendiri-sendiri.berdasarkan kisah-kisah yang tidak terhitung jumlahnyatentang perjamuan dalam berbagai karya seperti Aghânî dan seribu satu malam,dan dari berbagai nyanyian,dan puisi yang memuji-muji arak minuman anggur (khamrîyát) oleh Abu Nuwas,khalifah sehari,Ibn al-Mu’tazz dan para penyair semasanya. Hukum haram yang menjadi salah satu ciri khas hukum islam,tidak lagi diterapkan seperti halnya amandemen konstitusi Amerika abad ke-18.Bahkan para khalifah,wazir,putra mahkota,dan para hakim tidak lagi peduli dengan ketentuan agama.para sarjana,penyair,penyanyi,dan musisi sering berkumpul bersama. Praktik ini, yang berasal dari persia,telah melembaga pada masa awal Dinasti Abbasiyahdan menjadi profesi pada masa harun al-rasyîd.selain al-Rasyid, al-Hadi,al-Amîn,al-Ma’mûn,al-Mu’tasim al-Watsîq,dan al-Mutawakkil terbiasa meminum arak.[71]

Pesta persahabatan yang menyajikan arak dan nyanyian menjadi hal yang lazim di jumpai.para biduanita yang berpartisipasi dalam perjamuan semacam itu kebanyakan adalah para budak tuna susila.gambaran tentang sebuah rumah khusus di kufah selama pemerintahan  al-Manshûr terdengar mirip sebuah cafe chantant,dengan Sallâma al-Zarqâ (bermata biru) sebagai ratunya.

Gagasan tentang maraknya praktik perbudakkan bisa dilihat dari tingginya budak yang dimiliki oleh keluarga kerajaan. Diriwayatkan bahwa istana al-Mitaqdir (908-932) memiliki 11.000 laki-laki yunani dan sudan yang dikebiri. Al-Mutawakkil diriwayatkan memiliki 4.000 orang selir yang semuanya diajak tidur menemaninya.Pda suatu kesempatan al-Mutawakkil menerima sebuah hadiah sebanyak 100 budak dari salah satu jendralnya.

Didalam kerajaan para pembantu hampir semuanya budak yang direkrut secara paksa dari kalangan non muslim,baik yang ditawan pada masa perang atau dibeli pada masa damai.budak-budak yang bekerja di keputren adalah laki-laki yang telah dikebiri (khishyân)budak-budak lainya yang juga dikebiri,yang dikenal dengan sebutan ghilmân menjadi kesayangan para tuannya,mengenakan busana yang mahal dan menarik,dan sering berhias dan mengharumkan tubuh mereka mirip perempuan.Dari sumber bacaan yang kita miliki,para ghilmân ini muncul pada masa harun al-Rasyid,namun al- Amîn adalah khalifah pertama yang mengikuti tradisi persia,dengan memperkenalkan praktik ghilmân ke dunia Arab untuk menyalurkan kebiasaan seksual yang tidak wajar.[72]

Kontribusi al- Amîn di antara nya adalah memperkenalkan korps pembantu perempuan,yang para anggotanya menampilkan rambut bergaya bob,berpakaian seperti laki-laki,dan mengenakan sorban sutera.Inovasi tersebut kemudian menjadi populer di kalangan masyarakat kelas tinggi maupun kelas rendah.seorang saksi mata melaporkan bahwa pada pesta minggu ketika ia memenuhi undangan al-Ma’mûn,ia menyaksikan 20 orang gadis muda Yunani,semuanya memakai hiasan,sedang menari mengenakan kalung salib emas dan melambaikan tangkai pohon zaitun dan daun kurma.uang sebesar 3.000 dinar untuk para penari itu menjadikan atraksi tersebut memikat hingga akhir.

Termaktub pula dalam Tarikh al-Khulafa’, bahwa Al-Amin ibn Harun ar-Rasyid (yang berperang melawan saudaranya, Al-Ma’mun ibn Harun ar-Rasyid, untuk memperebutkan takhta kerajaan) menyukai lelaki yang menjadi pembantunya, namanya Kautsar dan Syunaif. Al-Amin juga gemar meminum khamr sembari bercinta bersama kedua pembantunya itu.

Termaktub pula dalam Tarikh al-Khulafa’, bahwa Raja Dinasti Abbasiyah, Al-Watsiq ibn al-Mu’tashim ibn Harun ar-Rasyid menyukai lelaki yang menjadi pembantunya. Namanya Muhaj. Dan Al-Watsiq, yang juga seorang pujangga, kerap menyenandungkan syair asmara kepada si Muhaj itu.Termaktub pula dalam Tarikh al-Khulafa’, bahwa Raja Dinasti Abbasiyah, Al-Mutawakkil ‘Alallah, yang membabat Mu’tazilah dari lingkaran kuasa kerajaan, memiliki 4000 selir, dan semuanya pernah ia setubuhi.[73]

 

H. Citra positif khalifah Abbasiyah

Dari wacana tentang banyaknya citra negatif para khalifah Abbasiyah, tentu pasti terdapat kepribadian yang positif yang ada pada diri khalifah yaitu diantanya Harun al-Râsyid.Ketika khalifah Harun ar-Rasyid selesai membangun salah satu istana yang megah, ia mengundang seorang penyair bernama Abul ‘Atahiyah datang ke istananya untuk membacakan syair-syairnya yang indah. Maka Abul ‘Atahiyah membacakan sebuah syair[74]:

 

Hiduplah sesuka hatimu di bawah naungan megahnya istanamu; Engkau mendapatkan apa yang engkau senangi di waktu pagi maupun sore hari;
Namun jika tiba waktu sekaratnya jiwa karena sempitnya nafas di dalam dada; Saat itu barulah engkau sadari bahwa engkau dalam kelalaian selama ini.”

 

Setelah mendengar syair tersebut, Harun ar-Rasyid langsung menangis tersedu-sedu. Di lain kesempatan Harun ar-Rasyid memanggil Abul ‘Atahiyah lalu berkata : “Nasihatilah saya dengan sebuah syair.” Maka Abul ‘Atahiyah berkata[75] :

 

Janganlah engkau merasa selamat sekejap pun dari kematian Walaupun engkau mempunyai para penjaga dan para pasukan; Ketahuilah bahwa panah kematian pasti akan tepat sasaran Meskipun seseorang berada dalam benteng perlindungan.”

 

Setelah mendengar syair itu, Harun ar-Rasyid langsung pingsan.
Demikianlah beberapa episode kehidupan Harun ar-Rasyid. Tidak seperti yang diceritakan dalam kisah-kisah dusta dalam buku dongeng berjudul Alfu Lailatin wa Lailah (cerita 1001 malam) yang menggambarkan Harun ar-Rasyid seorang yang gemar berfoya-foya dan bermaksiat.

Al-Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya al-Bidayah wan Nihayah Jilid 14 menceritakan tentang khalifah Harun ar-Rasyid :

 

Perjalanan bidupnya sangat mulia.Beliau seorang raja yang paling banyak berjihad dan menunaikan ibadah haji.Setiap hari beliau bersedekah dengan hartanya sendiri sebanyak seribu dirham. Jika beliau pergi haji maka ia juga menghajikan seratus ulama dan anak-anak mereka. Jika beliau tidak pergi haji maka ia menghajikan tiga ratus orang. Beliau sangat gemar bersedekah.Beliau mencintai ulama dan pujangga.Cincin beliau bertuliskan La ilaha Ilallah.”

 

Khalifah Harun ar-Rasyid wafat dalam peperangan di Khurasan pada tahun 193 Hijriah dalam usia 45 tahun. Ketika kabar kematiannya sampai ke telinga seorang ahli ibadah bernama Fudhail bin 'Iyadh, maka beliau berkata : “Tidak ada kematian seorang pun yang memuatku sangat terpukul melebihi kematian amirul mukminin Harun ar-Rasyid. Sungguh aku ingin seandainya Allah menambah umurnya dengan sisa umurku”. Perkataan Fudhail tadi.[76]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KESIMPULAN

 

Pemerintahan dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari pemerintahan sebelumya yaitu dinasti Umayyah yang telah digulingkannya. Hasil besar yang telah dicapai oleh Dinasti Abbasiyah kemungkinan karena landasannya telah dipersiapkan oleh Dinasti Umayyah dan Abbasiyah memanfaatkannya.[77] Menjelang runtuhnya dinasti Umayyah ini para khalifah dan pejabat negara lainnya melakukan kekeliruan dan kesalahan yang menyebabkan runtuhnya dinasti tersebut. Dinamakan dinasti Abbasiyyah karena para pendiri dan penguasanya merupakan keturunan Abbas bin Abdul Mutholib, paman Rasulullah. Nama Abbasiyyah berasal dari kata Al-Abbas dan Abbas itu adalah nama seorang keturunan Bani Hasyim.[78]

Pemerintahan Dinasti Abbasiyah dapat dibagi dalam dua periode. Periode I adalah masa antara tahun 750-945 M, yaitu mulai pemerintahan Abu Abbas sampai al-Mustakfi. Periode II adalah masa 945-1258 M, yaitu masa al-Mu’ti sampai al-Mu’tasim.pembagian priodesasi ini diasumsikan bahwa pada priode pertama perkembangan diberbagai bidang menunjukkan grafik vertikal, stabil dan dinams. Sedangkan pada priode kedua kejayaan terus merosot sampai datangnya pasukan tartar yang berhasil menghancurkn dinasti abbasiyah.[79]Faktor-faktor yang menjadi sebab kemunduran Dinasti Abbasiyah adalah: 1. Faktor internal, dari keluarga khalifah, untuk merebutkan kekuasaan. 2. Kehilangan kendali dan munculnya dinasti-dinasti kecil. Dengan ketidak seimbangnya kekuasaan dalam negeri maka tibalah pasukan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan, menumbangkan Dinasti Abbasiyah. Sehingga runtuhlah Dinasti yang telah berkibar selama lima Abad.

Bani Abbasiyah tiada lain adalah ranting dari sebuah pohon. Ranting tersebut mengering, mati, dan akhirnya jatuh. Namun, akar pohon tersebut senantiasa hidup. Ia mampu menumbuhkan ranting lain yang telah binasa. Inilah yang menyebabkan kelahiran Turki Utsmani yang pernah gemilang selama beberapa abad. Negara yang pernah menguasai bumi dan mengalahkan banyak musuh.[80]

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Abdullah Taufik, Ensiklopedi Tematis Duania Islam : Khilafah, PT Ichtiyar Baru Van Hoeve, 2003

 

Al-Isy Yusuf, Dinasti Abbasiyah, Jakarta:al-kautsar, 2007

 

Fouda Faraq, Kebenaran Yanga Hilang, Dar wa Matabi’ al-Mustaqbal, Aleksandria : Mesir, 2003

 

Hitti Philip, History Of  The Arabs, From the Earliest Times to the Present (cet. X; New York: Palgrave Macmillan, 2002), ter: R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, History of The Arabs, PT Serambi Ilmu Semesta, 2014

 

Koto Alaidin ,sejarah peradilan islam, Jakarta:Rajawali Pers, 2011

 

 Lapidus ira, Sejarah Sosialt Islam, Rajawali Press: Jakarta, 1999

 

Munthoha, Pemikiran dan Peradaban Islam, UII Press:Yogyakarta, 1998

 

Nasution Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya ; Jilid I, UI Press: Jakarta, 1985

 

Siregar Hidayat, Sejarah Peradaban Islam Klasik, Citapustaka Media Perintis:Bandung, 2010

 

Supriadi Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Seti: Bandung, 2008

 

Susanti Listiawati , Sejarah Peradaban Islam, Pekanbaru:Suska Pers, 2013

 

Sunanto Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta:Kencana, 2007

 

Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1 PT. Al Husna : Jakarta, 1997

 

Thohir Thohir, Perkembangan Peradaban Dikawasan Dunia Islam, Jakarta:Rajawali Pers, 2009

 

Yatim Badri Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1998

 

http://faidah-ilmu.blogspot.co.id/2011/01/harun-ar-rasyid-khalifah-yang-berhati.html

http://wadulwae.blogspot.co.id/2014/11/dinasty-abbasiah.html

http://www.sejarah-negara.com/faktor-intern-dan-ekstern-kemunduran-dinasti-abbasiyah/

http://cacingpadangpasir.blogspot.co.id/2013/06/perbudakan-di-dunia-islam.html

https://azisaf.wordpress.com/2013/10/20/cherry-picking-khilafah/

 

http://www.republika.co.id/berita/koran/islam-digest-koran/16/01/31/o1t0ud1-mari-bersama-jaga-peradaban

 

 

 



[1] Syuhada' di sini ialah orang-orang Islam yang gugur di dalam peperangan untuk menegakkan agama Allah. Sebagian ahli tafsir ada yang mengartikannya dengan menjadi saksi atas manusia sebagai tersebut dalam ayat 143 surat Al Baqarah.

[2] Yusuf Al-Isy , Dinasti Abbasiyah, (Jakarta:al-kautsar, 2007), 9

[3] Listiawati Susanti, Sejarah Peradaban Islam, (Pekanbaru:Suska Pers, 2013), 45

[4] Dinasti Abbasiyah didirikan oleh abu al-abbas bin abdul muthalib bin hasyim. Para pemimpinnya disebut khalifah, tetapi derajatnya lebih tinggi dari gelar khalifah dizaman dinasti umayyah. Khalifah-khalifah menempatkan diri mereka sebagai zhilullah fi al-ardh (baying-bayang Allah dibumi).

[5]Syalabi. A, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1 (PT. Al Husna : Jakarta, 1997), 1

[6] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Dikawasan Dunia Islam, (Jakarta:Rajawali Pers, 2009), 46

[7] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta:Kencana, 2007), 47

[8] Hidayat Siregar, Sejarah Peradaban Islam Klasik, (Citapustaka Media Perintis:Bandung, 2010),  90

[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 49

[10] Listiawati Susanti, Sejarah Peradaban Islam, 45

[11]Syalabi. A, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1 (PT. Al Husna : Jakarta, 1997), 2

[12] Hidayat Siregar, Sejarah Peradaban Islam Klasik, (Citapustaka Media Perintis:Bandung, 2010), 91

[13]Syalabi. A, Sejarah dan Kebudayaan Islam, 4

[14]Syalabi. A, Sejarah dan Kebudayaan Islam , 5

[15] Hidayat Siregar, Sejarah Peradaban Islam Klasik, (Citapustaka Media Perintis:Bandung, 2010), 92

[16] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 67

[17] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 68

[18] Philip K. Hitti, History Of  The Arabs, From the Earliest Times to the Present (cet. X; New York: Palgrave Macmillan, 2002), ter: R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, History of The Arabs (Cet I, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2014), 358

[19] Philip K. Hitti, History Of  The Arabs, 359

[20] Philip K. Hitti, History Of  The Arabs, 360

[21] Philip K. Hitti, History Of  The Arabs, 369

[22] Munthoha, Pemikiran dan Peradaban Islam, ( UII Press:Yogyakarta,1998), 41-42

[23] Ira Lapidus, Sejarah Sosialt Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 1999), 193

[24] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Dikawasan Dunia Islam, (Jakarta:Pers, 2009), 53

[25] Listiawati Susanti, Sejarah Peradaban Islam,  (Pekanbaru: Suska press,2013), 49

[26]Dr. Badri Yatim M.A, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 55-56.

[27] Munthoha, Pemikiran dan Peradaban Islam, ( UII Press:Yogyakarta,1998), 49

[28]Munthoha, Pemikiran dan Peradaban Islam, 50

[29] Listiawati Susanti, Sejarah Peradaban Islam, 50

[30]Munthoha, Pemikiran dan Peradaban Islam, 52

[31]Munthoha, Pemikiran dan Peradaban Islam,, 53-54

[32] Listiawati Susanti, Sejarah Peradaban Islam, 51

 

[34] Taufik Abdullah, Dkk.,Ensiklopedi Tematis Duania Islam : Khilafah, (PT Ichtiyar Baru Van Hoeve, 2003), 84.

[35] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), 83.

[36] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 84

[37] Taufik Abdullah, Dkk., Ensiklopedi Tematis Duania Islam : Khilafah, (PT Ichtiyar Baru Van Hoeve, 2003), 84-85

[41] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia,2008), 137

[42] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 75

[43] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya ; Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1985), 75

[44] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 76

[45] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 77

[46] Listiawati susanti,Sejarah peradaban Islam, 53

[47] Listiawati susanti,Sejarah peradaban Islam,53

[53] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), 111

[54]  Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,), 112

[55] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam , 114

[56]Philip K. Hitti, History Of  The Arabs, 415

[57]Philip K. Hitti, History Of  The Arabs, 422

[58]Philip K. Hitti, History Of  The Arabs, 424

[59] Orang orang turki ini memiliki beberapa kelebihan pertama, ketika mereka menjadi orang luar mereka tidak memikirkan tentang kesetiaan local atau tekanan disekitar mereka, adapun kesetiaan mereka adalah para khalifah. Kedua mereka merupakan pemanah yang unggul dan sangat jago dalam hat tersebut. Terakhir adalah status mereka sebagai budak turki, walaupun mereka telah masuk islam dan sering dibebaskan bukan berarti mereka dapat kedalam politik kekhalifahan.

[60] contoh kesetian para budak yang diambil dari perang saudara antara Khalifah al-Amin dan saudaranya al-Ma'mun, yang tampil sebagai pemenang sebagai penguasa yang tak perlu dari negara. Gubernur mantan di provinsi Ahwaz di barat daya Iran, Muhammad b. Yazid al-Muhallabi, menemukan dirinya dalam pertempuran kalah, dan mengatakan kepada Mawali untuk melarikan diri. Mereka menolak, menjawab: "Demi Allah! Jika kita melakukannya, kita akan menyebabkan Anda menderita. Anda telah membebaskan kita dari perbudakan, dan mengangkat kita dari posisi rendah dan membangkitkan kita dari kemiskinan menuju kekayaan. Dan setelah semua itu, bagaimana kita bisa meninggalkan Anda Anda dalam keadaan seperti itu. Oh tidak! Alih-alih bahwa kita akan maju di depan Anda dan mati di bawah kuda Anda. Semoga Tuhan mengutuk dunia ini dan kehidupan setelah kematian sama sekali Anda. "para Mawali kemudian melumpuhkan kuda mereka (sehingga mereka tidak bisa mengubah pikiran mereka) dan berjuang bersama-sama dengan pelindung mereka sampai mereka semua mati.

[61] Syalabi. A, Sejarah dan Kebudayaan Islam, 247

[62]Syalabi. A, Sejarah dan Kebudayaan Islam, 248

[63]Philip K. Hitti, History Of  The Arabs, 426

[64]Philip K. Hitti, History Of  The Arabs , 427

[65]Philip K. Hitti, History Of  The Arabs 428

[66] Faraq Fouda, Kebenaran Yanga Hilang, 144

[67] Harun Nasution, Islam Ditinja Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta:Bulan Bintang, 1974), 67

[68]Faraq Fouda, Kebenaran Yanga Hilang, (Dar wa Matabi’ al-Mustaqbal, Aleksandria : Mesir, 2003),117

[69] Faraq Fouda, Kebenaran Yanga Hilang, 118

[71]Philip K. Hitti, History Of  The Arabs, 420

[72]Philip K. Hitti, History Of  The Arabs,426

[74]http://faidah-ilmu.blogspot.co.id/2011/01/harun-ar-rasyid-khalifah-yang-berhatilembut.html

[75]http://faidah-ilmu.blogspot.co.id/2011/01/harun-ar-rasyid-khalifah-yang-berhati.html

 

[76] http://faidah-ilmu.blogspot.co.id/2011/01/harun-ar-rasyid-khalifah-yang-berhati.html

[77] Ajid Thohir, Perkembangan peradaban dikawasan dunia islam, 44

[79] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Dikawasan Dunia Islam, 53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar